Bhyllabus l'énigme

A Cahya Legawa's Les pèlerins au-dessus des nuages


Dialog Dengan Diri Sendiri

Aku menyadari cinta tidak dapat ada apabila ada rasa cemburu; cinta tak dapat ada apabila ada keterikatan. Nah, apakah mungkin bagiku untuk hidup bebas dari kecemburuan dan keterikatan? Aku menyadari bahwa aku tidak mencintai. Itu sebuah fakta. Aku tak akan menipu diriku sendiri, aku tak akan berpura-pura mencintai istriku. Aku tak tahu apa cinta itu. Tetapi aku tahu bahwa aku cemburu dan aku tahu bahwa aku terikat sekali pada istriku dan bahwa dalam keterikatan itu ada ketakutan, ada kecemburuan, rasa waswas: ada rasa ketergantungan. Aku tak mau tergantung tetapi aku tergantung karena aku kesepian; di kantor dan di pabrik aku di suruh-suruh terus, lalu pulang dan ingin merasa nyaman dan mendapatkan teman, untuk Ian dari diriku sendiri.

Sekarang aku bertanya pada diriku Sendiri: bagaimana aku bisa bebas dari keterikatan? Itu sebagai sebuah contoh saja. Mula-mula aku ingin lari dari pertanyaan itu. Aku tak tahu bagaimana hubungan dengan istriku akan berakhir. Apabila aku betul-betul tidak terikat padanya, hubunganku dengan dia mungkin berubah. Dia mungkin terikat padaku dan aku mungkin tidak terikat padanya ataupun pada perempuan lain.

Tetapi aku akan menyelidikinya. Maka aku tak akan lari dari apa yang kubayangkan akan menjadi akibat dari kebebasan total dari keterikatan. Aku tak tabu apa cinta itu, tetapi aku melihat jelas sekali, dengan pasti, tanpa keraguan sedikit pun, bahwa keterikatan pada istriku berarti kecemburuan, rasa memiliki, rasa takut, rasa khawatir dan aku ingin bebas dari semuanya itu. Maka aku mulai menyelidiki; aku mencari sebuah metode dan aku terjebak dalam sebuah sistem. Ada guru yang mengatakan: ‘aku akan membantumu untuk tidak merasa terikat, lakukanlah ini dan ini; praktekkan ini dan ini’. Aku menerima apa yang ia katakan sebab aku melihat pentingnya hidup bebas dan ia menjanjikan kepadaku bahwa jika aku berbuat apa yang ia katakan aku akan memperoleh hasil yang memuaskan. Tetapi aku melihat bahwa dengan cara itu aku mengharapkan sebuah hasil. Aku melihat betapa tololnya aku menginginkan kebebasan dan menjadi terikat pada sebuah hasil tertentu.

Aku tidak mau terikat namun aku menemukan diriku sendiri menjadi terikat pada sebuah ide bahwa seseorang, atau sebuah buku, atau sebuah metode, akan memberikan menghasilkan kebebasan dan keterikatan. Jadi, hasil itu menjadi sesuatu yang mengikat. Maka aku berkata: “Lihatlah apa yang telah kulakukan; Hati-hati, jangan terjebak dalam perangkap itu”. Apakah itu seorang perempuan, sebuah metode, atau sebuah ide, itu tetap sesuatu yang mengikat. Aku sekarang waspada sekali karena aku telah belajar sesuatu; artinya tidak menukar rasa terikat pada sesuatu dengan suatu keterikatan yang lain. Aku bertanya kepada diriku sendiri: “Apa yang harus kulakukan untuk hidup bebas dari keterikatan?” Apakah yang mendorongku untuk ingin bebas dari keterikatan? Bukankah itu karena aku ingin mencapai suatu keadaan di mana tidak ada keterikatan, tidak ada rasa takut dan sebagainya? Dan aku tiba-tiba menyadari bahwa motif itulah yang memberikan arah dan bahwa arah akan menentukan kebebasanku. Untuk apa punya motif? Apakah motif itu? Suatu motif adalah sebuah harapan, atau suatu keinginan, untuk mencapai sesuatu. Aku melihat bahwa aku terikat pada sebuah motif. Bukan saja istriku, bukan saja ideku, metodenya, tetapi motifku telah menjadi sesuatu yang mengikatku! Maka aku terus-menerus berfungsi dalam keterikatan – si istri, si metode, dan motif untuk mencapai sesuatu di masa depan. Aku terikat pada semuanya ini. Aku melihat bahwa itu sesuatu yang sangat kompleks; Aku tidak menyadari bahwa ini semua terkandung dalam upaya untuk menjadi bebas.

Nah, aku melihat ini seperti aku melihat pada sebuah peta letak jalan-jalan utama, jalan-jalan kecil, dan desa-desa; aku melihatnya jelas sekali. Lalu aku berkata kepada diriku sendiri: “Nah, apakah mungkin bagiku untuk bebas dari keterikatan yang kuat pada istriku dan bebas dari ganjaran yang kuperkirakan akan kudapat dan juga bebas dari motifku?” Pada semuanya ini aku terikat. Mengapa? Apakah itu karena aku merasa ada kekurangan pada diriku? Apakah itu karena aku amat sangat kesepian dan karena itu berupaya untuk lari dari rasa kesepian dengan mencari seorang perempuan, sebuah ide, sebuah motif; seakan aku haus berpegangan pada sesuatu? Aku melihat bahwa semua itu memang begitu, aku’ kesepian dan aku, melalui keterikatan pada sesuatu, lari dari perasaan kesepian yang luar biasa itu. Jadi, aku tertarik untuk memahami mengapa aku kesepian, sebab aku melihat bahwa itulah yang membuatku terikat.

Keadaan kesepian itu memaksaku untuk lari melalui keterikatan pada ini atau itu, dan aku melihat bahwa selama aku kesepian, urutan kejadiannya selalu seperti ini. Apakah artinya kesepian? Bagaimana terjadinya? Apakah itu bersifat naluri, keturunan, atau itu disebabkan oleh kesibukan keseharianku? Jika itu bersifat naluri, jika itu sifat yang diturunkan, itu bagian dari nasibku; aku tidak bisa dipersalahkan. Tetapi, karena aku tidak menerima itu semua, aku mempertanyakannya dan tetap bersama pertanyaan itu.

Aku sedang mengamati dan aku tidak berupaya untuk menemukan sebuah jawaban intelektual. Aku tidak mencoba memberi tahu kepada rasa kesepian itu apa yang haus dilakukannya, atau seperti apa perasaan itu; aku mengamatinya supaya ia memberitahuku. Di situ ada kewaspadaan di mana kesepian itu dapat mengungkapkan dirinya sendiri. Kesepian itu tidak akan mengungkapkan dirinya jika aku lari darinya; jika aku takut; jika aku melawannya. Jadi, aku mengamatinya. Aku mengamatinya sedemikian rupa sehingga tidak ada pikiran sedikit pun yang ikut campur.

Mengamati jauh lebih penting daripada masuknya pikiran. Dan karena energiku tercurah pada pengamatan kesepian itu, pikiran tidak berperan sama sekali. Batin dalam keadaan tertantang dan ia haus menjawab. Karena tertantang, ia dalam keadaan krisis. Dalam sebuah krisis ada energi yang besar dan energi itu tetap tanpa intervensi dari pikiran. Ini sebuah tantangan yang harus dijawab: Aku telah memulai suatu dialog dengan diriku sendiri. Aku bertanya kepada diriku sendiri apa benda aneh yang disebut cinta ini; setiap orang berbicara tentang cinta, menulis tentang cinta — semua puisi romantis, gambaran tentang cinta, seks dan semua hal lainnya tentang cinta ini? Aku bertanya: adakah ada cinta itu? Aku melihat cinta tak ada apabila ada rasa cemburu, rasa benci, rasa takut. Jadi, aku tidak berurusan dengan cinta lagi. Aku sedang berurusan dengan ‘apa yang ada’, ketakutanku, keterikatanku. Mengapa aku terikat? Aku melihat bahwa salah satu motifnya aku bukannya mengatakan itulah seluruh motif yang mendorongku — ialah bahwa aku kesepian sekali, merasa terasing. Semakin tumbuh dewasa semakin terasing pula aku. Jadi, aku mengamati hal itu. Ini sebuah tantangan yang perlu dikaji, dan karena itu sebuah tantangan, semua energi ada di situ untuk menjawab. Itu sederhana saja. Jika ada musibah, sebuah kecelakaan atau apapun lainnya, itulah tantangan dan aku punya energi untuk menghadapinya. Aku tidak usah bertanya: “Bagaimana aku memperoleh energi ini?” Apabila rumah terbakar aku punya energi untuk bergerak, energi yang luar biasa. Aku tidak diam saja dan berkata: “Aku harus mendapatkan energi ini” lalu menunggu; sementara itu seluruh rumah sudah habis terbakar.

Jadi, di situ ada energi yang besar sekali untuk menjawab pertanyaan: mengapa kesepian itu ada? Aku telah menolak semua ide, praduga dan teori bahwa kesepian itu sesuatu yang diturunkan, bahwa itu bersifat naluri. Semuanya itu tidak ada artinya bagiku. Kesepian ialah ‘apa adanya’. Mengapa setiap orang, kalau pun ia menyadarinya, mengalami kesepian secara dangkal atau mendalam sekali? Mengapa kesepian itu muncul? Apakah itu karena batin berbuat sesuatu yang memunculkannya? Aku telah menolak teori-teori tentang sifat-sifat naluri dan keturunan dan aku bertanya: apakah pikiran, otak itu sendiri. menciptakan kesepian ini, pengasingan total ini? Gerak pikiran itukah yang melakukan ini? Pikiran dalam kehidupan keseharianku itukah yang menciptakan rasa keterasingan ini? Di kantor aku mengasingkan diriku karena aku ingin menjadi bos tertinggi, oleh sebab itu pikiran terus menerus bekerja untuk mengasingkan diri. Aku melihat bahwa pikiran terus menerus bekerja untuk membuat dirinya superior, batin membuat dirinya menjadi terasing. Maka masalahnya menjadi: mengapa pikiran berbuat ini? Apakah itu sifat pikiran bahwa ia bekerja bagi dirinya sendiri? Apakah itu sifat pikiran bahwa ia menciptakan keterasingan ini?

Pendidikan menghasilkan keterasingan ini; pendidikan memberikanku sebuah karier tertentu, suatu spesialisasi tertentu dan karena itu, keterasingan. Pikiran, karena bersifat fragmentaris. karena terbatas dan terikat waktu, menciptakan keterasingan ini. Dalam keterbatasan itu, pikiran merasa dirinya aman dengan mengatakan: “Aku punya karier khusus dalam hidupku; aku seorang profesor; aku betul-betul aman.” Maka urusanku menjadi: mengapa pikiran melakukan itu? Apakah perbuatan itu memang sifat hakikinya? Apapun yang dilakukan pikiran pasti terbatas. Sekarang masalahnya ialah: apakah pikiran bisa menyadari bahwa apapun yang dilakukannya adalah terbatas, fragmentaris dan oleh sebab itu mengasingkan dan apa pun yang dilakukan akan menjadi begitu? Ini sesuatu yang penting sekali: dapatkah pikiran itu sendiri menyadari keterbatasannya? Atau akukah yang memberi tahu pikiran bahwa ia terbatas? Inilah, yang kulihat, sesuatu yang penting sekali untuk dipahami; inilah,sifat hakiki masalah itu. Jika pikiran menyadari sendiri bahwa ia terbatas dan tidak ada perlawanan, tidak ada konflik, ia berkata: “Akulah itu”. Tetapi jika aku yang memberi tahu pikiran bahwa terbatas, maka aku menjadi terpisah dan keterbatasan itu. Maka aku berjuang untuk mengatasi keterbatasan itu, dan karena itu ada konflik dan kekerasan, bukan cinta, Jadi apakah pikiran menyadari sendiri bahwa ia terbatas? Itu harus kuselidiki. Aku tertantang. Karena aku tertantang aku punya energi besar. Dengan kata lain: apakah kesadaran menyadari bahwa ia adalah isinya? Ataukah aku pernah mendengar orang lain berkata: “Kesadaran adalah isinya; Kesadaran dibentuk oleh isinya”? Sebab itu aku berkata: “Ya, memang begitu adanya”. Apakah kita melihat perbedaan antara kedua ungkapan itu? Ungkapan terakhir diciptakan pikiran, ditentukan oleh si ‘aku’. Jika aku memaksakan sesuatu pada pikiran maka terjadilah konflik. Itu seperti pemerintahan tirani yang memaksakan sesuatu pada seseorang, tetapi dalam hal ini pemerintahan itu adalah sesuatu yang kuciptakan sendiri.

Maka aku bertanya kepada diriku: apakah pikiran menyadari keterbatasannya sendiri? Atau pikiran itu menganggap dirinya sesuatu yang luar biasa, mulia, ilahi? – dan itu omong kosong sebab pikiran bergerak berdasarkan memori. Aku melihat bahwa perlu ada kejelasan tentang hal ini: bahwa tidak ada pengaruh luar sedikit pun yang memaksa pikiran untuk mengatakan bahwa ia terbatas. Jadi, karena tidak ada pemaksaan maka tidak ada konflik; pikiran menyadari begitu saja bahwa ia terbatas; ia menyadari bahwa apa pun yang dilakukannya – pemujaan Tuhannya dan sebagainya – adalah terbatas, buruk, dangkal – walaupun pikiran itu telah menciptakan gereja – gereja tempat pemujaan yang indah di seluruh Eropa.

Jadi dalam dialogku dengan diriku sendiri ditemukan bahwa rasa kesepian diciptakan oleh pikiran. Sekarang pikiran menyadari sendiri bahwa ia terbatas dan dengan demikian ia tidak dapat memecahkan masalah kesepian. Nah, di saat pikiran tidak dapat memecahkan masalah kesepian itu, adakah kesepian di situ? Pikiran telah menciptakan rasa kesepian, kekosongan ini, karena ia terbatas, fragmentaris, terbagi; dan bila ia menyadari hal ini, kesepian itu tak ada, dan karena itu ada kebebasan dari keterikatan. Aku tidak berbuat apa-apa; aku hanya mengamati keterikatan itu saja, apa yang terkandung di dalamnya, keserakahan, ketakutan, kesepian, semuanya itu dan dengan menelusurinya, mengobservasinya, tanpa menganalisisnya, tetapi hanya melihat saja, melihat dan melihat, terjadilah penemuan bahwa pikiran telah melakukan semuanya ini. Pikiran, karena ia fragmentaris, telah menciptakan keterikatan ini. Apabila ia menyadari ini, keterikatan berhenti ada, di sini tidak ada upaya sama sekali.

Di saat ada upaya – konflik kembali lagi. Di dalam cinta tidak ada keterikatan. jika keterikatan ada, cinta tidak ada. Faktor utama sudah terhapus melalui pengingkaran tentang apa yang bukan cinta, melalui pengingkaran keterikatan. Aku tahu apa artinya itu dalam kehidupanku sehari-hari: tak ada ingatan tentang apa pun yang telah dilakukan oleh istriku, pacarku, atau tetanggaku untuk melukaiku; tak ada keterikatan pada citra apa pun yang telah diciptakan pikiran tentang orang itu; bagaimana ia telah menggertakku, bagaimana ia telah memberiku kenyamanan, betapa aku telah memperoleh kenikmatan seksual, aneka peristiwa yang citranya dihasilkan oleh gerak pikiran itu; keterikatan pada citra-citra itu telah hilang.

Dan ada faktor-faktor lain: haruskah aku mengalami semuanya itu tahap demi tahap, satu demi satu? Ataukah semuanya itu selesai sudah? Haruskah aku mengalami, haruskah aku menyelidiki – sebagaimana aku menyelidiki keterikatan – apa itu ketakutan, apa itu kenikmatan dan apa itu keinginan akan kenyamanan? Aku melihat bahwa aku tidak harus menyelidiki semua faktor yang berbeda-beda itu; aku melihatnya dalam sekilas pandang, aku telah menangkapnya.

Jadi, melalui pengingkaran tentang apa yang bukan cinta, cinta ada. Aku tak perlu bertanya apa cinta itu. Aku tak harus mengejarnya. Jika aku mengejarnya maka bukanlah itu cinta melainkan sebuah hasil upaya. Jadi, di dalam penyelidikan itu, aku telah mengingkari, aku telah mengakhiri, dengan perlahan-lahan, dengan hati-hati, tanpa distorsi, tanpa ilusi, segala sesuatu yang bukan cinta – dan yang ada ialah cinta.

Jiddu Krishnamurti

(Terjemahan Bapk. Hudoyo H.)



Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

About Me

Hello, I’m a general physician by day and a fiction and blog writer by night. I love fantasy and adventure stories with a cup of tea. Whether it’s exploring magical worlds, solving mysteries, or fighting evil forces, I enjoy immersing myself in the power of imagination.

I also like to share my thoughts and opinions on various topics on my blog, where I hope to connect with like-minded readers and writers. If you’re looking for a friendly and creative person to chat with, feel free to message me.

Buletin

%d blogger menyukai ini: