Pertama-tama, saya hanyalah bagian dari masyarakat biasa, saya bukanlah politikus atau pun pengamat politik, atau pun memiliki ketertarikan dalam bidang politik. Namun sebagaimana para sahabat lain yang juga memberikan keprihatinan mereka dalam kondisi negeri ini sekarang, maka biarlah setidaknya saya memberikan suara yang tidak bermakna ini.
Tidak perlu diceritakan kembali bagaimana kronologis hal ini terjadi, sedikit banyaknya masyarakat setidaknya telah mendengar atau pun tahu. Kalau saya mungkin termasuk yang sedikit tahu, jadi tidak layak bercerita.
Namun melihat apa yang menjadi dampak dari situasi ini, melahirkan situasi-situasi lain, dan menjadi multi-krisis di negara ini. Mau tidak mau, kepercayaan terhadap para penegak hukum dan tempat masyarakat meminta perlindungan hukum menjadi menipis. Simpang siur semakin sering terdengar di antara hilir mudiknya pemberitaan di media massa.
Walau sebagian besar masyarakat telah bersuara dalam kumandang yang begitu jelas dapat kita dengar semua, itu pun merupakan wujud akan ketidakinginan mereka terhadap adanya ketidakadilan di negeri kita ini. Suara bergerak seperti ombak yang beriak ke pesisiran, dan pasti menghantam bibir pantai dengan tiada hentinya.
Namun dari semua itu, jika saya menilik jujur ke dalam diri saya, ke dalam banyak ketidaktahuan yang saya miliki. Maka saya sekali melihat diri saya tidak tahu apa-apa. Tidak melihat mungkin itulah yang dapat saya amati pada diri saya. Sehingga saya tidak memberikan justifikasi atau pun suara terhadap salah satu pihak.
Saya ingat beberapa waktu lalu berselang, ketika banyaknya suara-suara di jalanan yang menuntut lembaga-lembaga yang mereka bela tetap agar tetap berdiri tegak sebagaimana mereka menentang matahari di atas aspal yang membara. Aku melihat di siang itu, lalu lalang warga pedusunan yang sederhana, mereka mungkin telah mendengar kabar berita yang sama. Namun langkah mereka tetap sederhana, seakan dunia mereka tak berubah sejenak pun, balutan waktu membuat mereka tetap berjalan dalam kehidupan keseharian yang serupa. Tidak ada hiruk pikuk, tiada semangat yang menggebu-gebu atau pun teriakan sarat makna. Pun demikian, itulah makna kehidupan keseharian yang selalu kupandang jauh ke dalam negeriku, sebuah wajah dan cermin yang demikian adanya.
Kami adalah suara negeri, walau hanya kesunyian yang kami hembuskan dari peluh sesak napas kami, namun inilah suara negeri yang harus kau dengarkan Nak.
Demikianlah sebuah kata yang pernah tersampaikan pada saya di tepian pedesan di kala dulu. Mereka mungkin tak mengenal demonstrasi dan teriakan massal yang mampu menghalau arus politik dengan harapan memperbaiki negeri ini. Mereka mungkin bisu karena tidak memiliki kata-kata modern guna menuntut mimpi yang lebih indah. Namun karena mereka memahami bahwa hidup mesti saling berbagi dan memahami.
Negeri ini adalah sebuah bangsa besar yang tunggal dengan beragam suku bangsa dan buah budi bahasa dan budayanya. Saya termasuk orang yang rendah dalam pengetahuan politik dan hukum, namun mimpi saya tak jauh berbeda dengan kebanyakan orang, bahwa negeri ini menjadi teman yang nyaman dan damai bagi semua orang.
Jika kemudian mereka yang selayaknya menjadi panutan terpecah belah, maka niscaya negeri ini akan mengalami keretakan. Jika hari ini suara masih bisa ada yang terdengar menuntut keadilan, maka jangan sampai segala menjadi senyap seakan telah terbiasa dalam ketidakberdayaan. Suara-suara ini bisa menggerakkan alur politik negeri ini, dan biarlah pada mereka yang memahami kami menaruh kepercayaan.
Namun, walau saya tak mampu memberikan suara, namun ingatlah seperti saya juga mengingat…
Kami adalah suara negeri, walau hanya kesunyian yang kami hembuskan dari peluh sesak napas kami, namun inilah suara negeri yang harus kau dengarkan Nak.
Tinggalkan Balasan