Dalam budaya Bali dikenal kata/istilah sukla, yang berarti sesuatu yang masih murni/baru. Semisal buah yang baru dipetik kemudian digunakan dalam persembahyangan, maka buah itu disebut sukla.
Kebalikannya adalah carikan, yaitu sesuatu yang sudah bekas, semisal nasi yang sudah dimakan, sisanya disebut carikan.
Pengertian sukla dalam budaya kemudian meluas. Seperti piring sukla, atau bokoran sukla, gelas sukla, dan sebagaimana yang lainnya. Semisal gelas yang digunakan untuk tempat air suci (tirta), haruslah gelas yang sukla (bukan bekas pakai) agar tidak mencemari kesuciannya. Maka kemudian berbagai hal yang berbau ritual budaya, mestilah mengandung ke-sukla-an.
Namun apakah sukla wajib? Sebagian besar orang mengatakannya wajib, karena kesucian tidak boleh dicemari, dan Anda bisa dimarahi habis-habisan jika menentang konsep ini.
Namun coba tengok kisah berikut:
patram puspam phalam toyam
yo me bhaktya prayacchati
tad aham bhakty-upahrtam
asnami prayatatmanah
"If one offers Me with love and devotion a leaf, a flower, fruit or water, I will accept it."
– The Bhagavad Gita (9.26)
(Dalam Bhagavad Gita, disebutkan hanya persambahan yang tulus ikhlas, ah… walau aku tak bisa menemukan kata sukla di dalamnya).
Alkisah Nang Olog adalah warga di bawah garis kemiskinan sebagaimana rerata orang-orang di desanya. Hari ini dia dan keluarga akan mengadakan odalan sanggah. Dia tidak punya bokoran indah sebagaimana yang kita lihat dalam acara televisi tentang kebudayaan dan religi di Bali. Nang Olog hanya memiliki sebuah "piring kaca" demikianlah orang Bali tempo dulu menyebutnya, cukup bersih setelah istrinya mencuci piring itu di bantaran sungai kecil yang sudah cukup banyak plastik dan sampah mengalir di sana, dan tak terhitung berapa banyak orang buang hajat di sana. Sumurnya sudah lama setengah mengering karena hujan tak kunjung turun juga, air yang bisa diambil sebisanya digunakan untuk memasak dan diminum, sementara lain-lain mestilah ia memanfaatkan kali itu.
Si istri telah membeli dua biji salak, dan dua biji jeruk dari pasar tadi pagi. Tak mewah memang, bahkan tampak lusuh jika dipandang lebih dekat. Namun itu apa yang bisa dibeli dari uang yang disisihkan oleh mereka. Nang Olog hanyalah buruh tani kasar, kadang dapat kerjaan, kadang tidak, semenjak si empunya sawah sekarang lebih suka menurunkan langsung mesin selip padi ke pemanenan, maka "juru gedig" padi sudah hampir tak dibutuhkan. Dan istrinya sendiri juga buruh kasar di pabrik pembuatan bata tradisional yang juga tidak banyak menghasilkan.
Buah-buah itu ditata apik oleh Nang Olog di atas piring kaca itu. Ketika sore tiba, ia dan keluarga siap bersembahyang. Tiba-tiba ada tamu datang, orang perangkat kecamatan ditemani aparat desa yang datang mensurvei. Mereka datang setahun sekali untuk berbincang-bincang dan mendata warga miskin. Nang Olog menerima tamunya dengan senyum dan penuh ramah, ia meminta sang istri menghidangkan buah tadi dan beberapa gelas air putih. Mereka berbincang sebentar di "jineng" tua yang sudah lama kosong melompong tanpa tanda kemakmuran. Hingga matahari terbenam barulah si perangkat kecamatan dan aparat desa meninggalkan gubuk Nang Olog dalam kesunyian.
Di atas piring hanya tersisa dua buah dari empat yang dihidangkan untuk tamu. Nang Olog dan istri kemudian mulai odalan sederhananya, dalam kegelapan petang karena tiada cahaya buatan bertenaga listrik yang ada di kemiskinannya. Tiada pamangku atau pun orang yang disucikan memimpin persembahyangannya, tidak sebagaimana yang banyak masyarakat berada lakukan. Tiada juga bokoran indah yang sukla, apalagi buah yang dihaturkannya sudah menjadi carikan si tamu. Namun itulah segala yang terbaik yang bisa dihaturkan oleh Nang Olog dan keluarga.
Nang Olog bukan orang modern yang mengerti konsep reuse, reform atau pun recycle, namun keterbatasannya membuat ia melakukan semua itu. Sehingga walau sering diolok-olok ditetangga yang berada, ia tetap diam, Nang Olog sadar ia sama sekali tidak punya barang atau benda sukla di gubuk kecilnya, tidak punya untuk dipersembahkan pada Tuhan, walau acap kali para ahli agama yang ia dengar dan lihat di televisi hitam putih di balai banjar mengatakan agar menggunakan persembahan yang sukla sebagai tanda kemurnian rasa bhakti sang umat. Hatinya sering tersayat, seolah sukla adalah barang yang wajib dimiliki oleh setiap umat berbudi dan berbhakti, sekali lagi ia menengok dalam bayang gubuknya, tidak ada apa pun juga.
Ah…, mungkin Nang Olog boleh tidak memiliki apa pun yang sukla untuk dipajang di hadapan Tuhan. Namun setidaknya ia masih punya hati yang sukla, yang belum menjadi jamahan dan carikan keserakahan. Kesedihannya mungkin dikarenakan karena budaya yang bertopeng agama hanya memandang sebelah mata pada ketidakberdayaan yang tak berpunya.
Tulisan ulang dari: Daily Lhagima
Tinggalkan Balasan