Kali ini saya hendak berbagi sedikit cerita, mungkin masih terkait dengan tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Oh No…, My Teeth…, My Not Extra Wisdom Teeth” beberapa waktu yang lalu.
Senin, 21 Desember 2009 saya memutuskan untuk mulai menyelesaikan masalah tersebut. Paginya, pertama kali saya mengurus asuransi GMC (Gama Medical Center), sebuah badan nirlaba milik UGM guna memberikan layanan dan asuransi kesehatan bagi warga Universitas Gadjah Mada. Saya menyerahkan kartu anggota saya di bagian pemeriksaan, dan beberapa menit kemudian saya dipanggil masuk. Menemui seorang dokter di salah satu ruang periksa, saya menjelaskan keluhan saya, dia memeriksa dan dengan segera bisa memastikan sebuah impacted molar. Lalu saya disarankan untuk segera mencabutnya dan memberi rujukan ke RSGM (Rumah Sakit Gigi dan Mulut) Prof. Soedomo yang kebetulan bangunannya menjadi satu dengan Fakultas Kedokteran Gigi UGM.
Tanpa menunggu siang, saya pun berangkat ke RSGM dan melakukan pendaftaran pasien seperti biasa. Saya jadi ingat, RSGM sangat mirip dengan gedung Radiopeotro di FK UGM. Prosesnya cukup cepat, dan ruang tunggu pasien di dalam-pun cukup nyaman dengan AC dan televisi. Beberapa saat kemudian saya dipanggil oleh petugas dan menemui dokter gigi di meja kerjanya. Dengan sopan dokter mempersilakan saja duduk di kursi periksa (hmm…, kalian pasti tidak asing dengan kursi periksa di klinik gigi). Setelah melakukan inspeksi menyarankan untuk melakukan foto rontgen untuk melihat struktur gigi. Dari hasil foto itu, saya bisa melihat baik molar (geraham) ketiga kiri dan kanan mengalami impaksi. Hanya saja yang baru muncul ke permukaan adalah yang kanan. Dokter meminta saya datang besok untuk operasi jam 8 pagi. Saya juga mendapatkan resep antibiotik dan penghilang nyeri untuk digunakan kemudian. Setelah dari RSGM saya kembali ke GMC untuk mengambil rujukan yang akan dipakai keesokan harinya.
Selasa, 22 Desember 2009. Aku datang pagi-pagi ke RSGM – tentunya setelah sarapan nasi kuning (nyammy…, pikirku selagi bisa menikmatinya – ga tahu deh nanti gimana jadinya). Aku mendaftar seperti biasa, dan agak lama (mungkin karena antre) aku diminta langsung naik ke lantai 3 ke bagian Bedah Mulut. Tak lama kemudian drg. Irfan – residen di bagian bedah mulut – memanggilku untuk memulai tindakan.
Setelah memberikan informed consent – sebagaimana setiap prosedur medis yang invasif, dan setelah kutandatangani tentunya – prosedur operasi siap dimulai. Sementara residen gigi dibantu dengan dokter gigi muda mempersiapkan alat, aku kembali terbayang saat-saat dulu. Sewaktu kecil kadang aku mencabut sendiri gigi susuku yang memang sudah saatnya tanggal, hanya sekali atau dua kali aku tiba di poliklinik gigi untuk mencabut gigi – itu sudah lama sekali, bahkan aku tidak begitu ingat. Setelah itu aku hampir tidak punya masalah dengan gigi, walau aku tidak termasuk orang yang cukup telaten merawat gigi – asal bersih dan berfungsi dengan baik sudah cukup bagiku. Kini masalahnya agak beda, karena secara anatomis mengganggu, the removing of wisdom teeth is a must.
Dokter berkata bahwa mungkin akan perlu waktu antara 30 menit hingga 1 jam, itu jika tanpa penyulit untuk operasi seperti ini.
Apa aku khawatir? Entahlah, tampaknya dari kemarin aku begitu santai. Banyak orang yang tidak suka mengunjungi dokter atau dokter gigi karena tindakan invasifnya yang “tampak” menyakitkan. Namun sedari kecil aku sudah terbiasa keluar masuk rumah sakit, menjalani berbagai pemeriksaan kesehatan, mungkin tertusuk jarum suntik untuk memasukkan obat atau mengambil sampel darah – rasanya sudah terbiasa bagiku. Walau beberapa yang lebih invasif seperti pungsi lumbal mungkin hanya sekali. Sedari dulu ada hal-hal yang memang kuhindari untuk didatangi, pertama meja operasi, kedua klinik gigi – aku tak ingin bermasalah dengan salah satu atau pun keduanya.
Tapi sekarang – pikirku – kurasa tidak ada waktu untuk khawatir, rasanya aku bisa berjalan dengan tanpa beban ke ruang tindakan. Meski beberapa hari sebelumnya aku sudah mencari berbagai bahan dan literatur mengenai dampak dan efek yang mungkin timbul dari tindakan yang akan kujalani – ah…, sudahlah – kataku dalam hati. Kita lihat saja nanti.
Operasi dimulai dengan tindakan aseptik, kemudian melakukan anestesi baik secara blok dan lokal (apa ya istilah yang mereka pakai tadi?). Satu spuit dengan cairan anestesi disuntikkan beberapa kali di beberapa lokasi, termasuk di sekitar area yang akan dioperasi. Aku bisa merasakan jarum itu berulang kali menusuk masuk ke dalam gusi dan beberapa daerah lainnya, sehingga anestesi bisa diberikan secara merata – jadi mengingatkan pada diriku sendiri jika melakukan tindakan minor surgery, tekniknya tidak jauh beda (hanya saja ini di dalam rongga mulut). Sakit? Hmm…, itu sih relatif, bagiku tidak sakit, jika dimasukkan ke dalam sistem analogi nyeri dari angka 0 sampai 10, mungkin sakit yang ditimbulkan oleh anestesi itu hanya ada di kisaran 1 hingga 2. Yup, bisa dibilang nyeri bisa juga tidak.
Dengan scapel (pisau bedah), dokter-pun mulai bekerja – ups, jangan tanya aku, karena aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam rongga mulutku. Mungkin karena posisinya yang horizontal, jadi gigi itu harus dibelah dulu menjadi dua, dan untuk membelah diperlukan area kerja yang bebas dari jaringan tubuh lainnya selain gigi. Kemudian pisau bor (atau mungkin cuma disebut bor), mulai memotong ke dalam. Aku tidak tahu apa yang sedang dipotong tulang atau gigi, karena untuk mencabut gigi – tulang yang menyangganya mesti dihilangkan dulu (bukan berarti sekalian tulang dan giginya dicabut lho). Beberapa dokter muda ikut membantu, ada yang bagian irigasi (memasukkan air ke dalam mulut dengan selang kecil sehingga area kerja bisa dibersihkan), dan ada yang menangani suction (pipa kecil yang berfungsi menyedot apa pun di yang terlepas ke dalam cairan irigasi ke luar dari mulut, termasuk darah, mukus, saliva, bahkan pecahan gigi yang kecil).
Prosesnya agak lama, dan perlu beberapa kali anestesi ulang, karena biusnya hanya bersifat sementara. Hmm…, aku jadi teringat suasana rileks di tengah ruang operasi, meski pun kasus sulit, namun ketegangan tidak akan menambah manfaat apa pun, dengan tetap rileks namun serius – suasana kerja dapat diperhatikan dengan baik. Kadang di suasana itu kami sempat bersenda gurau, sehingga tidak terlalu menegangkan. Aku harus akui, operasi impacted molar memang tidak seram – tapi rasanya memang tidak nyaman, kadang geli atau sedikit ngilu karena getaran pisau bor. Beberapa kali harus menahan napas, dan beberapa hal yang bikin sport jantung.
Operasi itu berlangsung selama kira-kira 90 menit, dokter sendiri berkata, bahwa gigiku itu tampaknya “bandel” dan melekat kuat. Sebelum akhirnya ditutup dengan beberapa jahitan, maka tidak ada hal lain yang bisa dikerjakan lagi – nah, itu artinya operasi selesai. Rasanya memang ngilu, tapi itu bukan suatu rasa sakit yang bisa membuatku berguling-guling di atas lantai. Setelah memberikan beberapa pesan perawatan, dokter meresepkan obat untuk menahan rasa sakit.
Aku ke kassa untuk melakukan pembayaran, karena sudah ditanggung asuransi (GMC), maka dua hari ini – termasuk rontgen, obat, dan tindakan – aku tidak mengeluarkan lebih dari seratus ribu rupiah, padahal ada yang bilang bisa mencapai lima ratus ribu rupiah untuk tindakan per gigi.
Kepalaku agak sedikit pening, namun aku masih bisa mengendarai sepeda motorku untuk kembali pulang. Rasanya agak aneh juga, mungkin karena proses inflamasi masih berlangsung dan belum mencapai puncaknya. Tadi sih tidak sakit, sekarang baru mulai terasa.
Aku tiba di rumah sebelum jam 12 siang, entah kenapa aku tidak berminat makan. Rasanya semakin sakit di daerah yang tadi giginya dilepaskan. Aku kemudian bisa merasakan kelenjar limfe leherku yang sebelah kanan mulai membesar dan sakit, menelan liur pun terasa sakit. Nah…, datang juga deh peradangan dan pembengkakan itu, suhu tubuhku mulai bertambah dan naik, ingin minum air, tapi rasanya sangat susah. Aku tergeletak lemas di atas ranjang.
Beberapa jam berselang, Ana datang membawakanku nasi lembek – mungkin tahu jika aku pasti ogah makan kalau lagi sakit. Tapi sebelum nasi, aku lebih mengambil dulu Jus Avokado yang juga dibawakan – ah…, rasanya sejuk – walau sakit. Aku memaksakan diri memakan nasi lauk dan sayurnya (dipaksa sih sebenarnya, dia galak banget kalau sampai marah – itu bisa lebih mengerikan dari sakit dan bengkakku). Aku kesulitan mengunyah, karena setiap kunyahan rasanya sakit sekali, apalagi kemudian menelan – waduh, ini sudah masuk analogi nyeri dengan skor 6-7. Aku berpikir, kalau begini terus aku tidak yakin bakal bisa sembuh dengan cepat, lah… masa bodo, kukunyah dan kutelan saja makannya walau sambil menahan sakit.
Eh…, ternyata habis juga seporsi. Lumayan-lumayan, ternyata aku rakus juga walau lagi kesakitan.
Menjelang sore. Aku hendak mandi, tapi rasanya tubuhku merinding, hmm…, tampaknya demamku meninggi lagi. Ya, sudah tunda dulu mandinya. Dan tanpa sadar pun aku terlelap kembali di atas ranjang, baru bangun dua jam kemudian malah aku sadar bawah aku tidur miring kanan ke arah pipi yang bengkak. Waduh – aku berteriak kecil dalam hati – kok tidak nyadar sakit malah ditimpa. Yah, tambah sakit deh. Segera saja aku sambar sebutir telur rebus, dan kupaksakan makan, bahkan mulutku rasanya tidak bisa dibuka penuh, jempolku saja rasanya tak akan muat masuk. Setelah perutku terisi, aku pun minum obat-obat untuk menahan nyeri dan antibiotik. Kuharap kondisinya membaik.
Rasanya tetap ada yang tidak nyaman – selain dari rasa sakit karena bertambah bengkak. Ya ampun, dari tadi sejak operasi dan makan siang, aku belum gosok gigi. Tapi khawatir juga kalau nanti terjadi sesuatu yang tidak baik, karena malas harus browsing internet untuk menemukan jurnal yang membahas kaitan antara gosok gigi dan pasca bedah mulut, aku sms nomor drg, Irfan dan menanyakannya – untung saja boleh sikat gigi katanya.
Malam larut, Arie tetangga sebelah datang membawakan bubur ayam – nyammy…, rasanya enak banget – hangat-hangat tambah kerupuk – plus ditraktir lagi (ya ampun berarti hari ini aku dua kali makan gratis). Ha ha, lha wong lagi sakit, koq makan terus yang dipikirin. Setelah makan aku mandi tak lupa gosok gigi, aduh segarnya… 🙂
Berarti jadwal berikutnya minggu depan untuk kontrol dan angkat jahitan. Sekarang sudah tidak begitu terasa sakit lagi, tapi entahlah kalau efek obatnya sudah habis.
Rabu, 23 Desember 2009. Sudah selesai menulis blog ini, ga tahu mau ngapain lagi. Dini hari, enaknya tidur saja, nanti biar bisa bangun pagi. Sepertinya hari ini ulang tahunku, sepertinya juga tidak – duh…, gara-gara akta kelahiran yang bikin bingung itu.
Tinggalkan Balasan