Haruskah Diaspal?

Malam itu Nang Lecir bersuara lantang di forum rembuk desa, dia adalah yang mewakili sedikit dari segelintir orang yang menyatakan tidak pada wacana bahwa jalan persawahan mereka akan diaspal.

Sedikit aneh memang, karena umumnya sudah banyak sawah di desa-desa tetangga yang memiliki jalan utama yang sudah diaspal, dan hal ini memudahkan transportasi keluar masuk persawahan. Semisal mesin selip padi tidak perlu diam di suatu lokasi, bisa langsung masuk ke persawahan dengan leluasa.

Lalu mengapa ada yang tidak setuju?

Beberapa hari yang lalu, wacana ini sudah bergulir. Namun belum bisa dipastikan apakah akan diterapkan atau tidak. Karena pembangunan jalan akan menggunakan biaya swadaya masyarakat desa, maka harus dirembukkan terlebih dahulu.

Suatu sore, Nang Lecir mengunjungi beberapa petak sawahnya yang sedang digarap oleh Nang Olog, kebetulan ia sedang matekap (membajak sawah) dengan bantuan dua sapi ternakan Nang Olog, mungkin satu dari sedikit orang yang masih menggunakan cara tradisional untuk membajak sawah.

Melihat sahabat karibnya datang, Nang Olog menghentikan aktivitas membajak sawahnya, kebetulan sapi-sapi yang menarik bajak juga tampak agak kelelahan. Setelah melepas dan menambatkan sapi di rerimbunan yang hijau – Nang Olog menghampiri Nang Lecir yang sudah duduk di kubu (gubuk) kecil di antara petak-petak sawahnya.

Kubu itu kecil, mungkin hanya muat jika ada empat orang duduk bersila di pojok-pojokannya. Tiang-tiangnya dibangun dari pohon dadap yang kebetulan setelah ditancapkan langsung tumbuh di situ. Alasnya setinggi lutut terjalin dari bilah-bilah bambu yang disatukan, sementara atapnya dari ilalang kering yang kini sudah mulai tampak berlumut.

Nang Lecir, menghirup kopi hangatnya, seraya menghela napas panjang…

Bli suba ningeh arah-arahan unduk sangkep ane buin atelon?” 
Kak, apa sudah mendengar umuman untuk rembuk desa tiga hari lagi? Tanya Nang Lecir pada Nang Olog.

Suba, kone lakar nyangkepang unduk ngaspal margine dini.”
Iya, katanya akan merembukkan hal pengaspalan jalan di sini ya.

Lamun keto, engken jani, napi Bli sareng margi papinahan puniki?”
Jika demikian, bagaimana sekarang, apa Kakak sejalan dengan ide ini?

Wayan…, Wayan Bagus…, Bli nak sing taen nyangetang buka keto. Lamun nyama braya iragane sinah maan galah becik imani-puan sakadi margine rampung, lamun margine ento makta karahayuan antuk iraga sareng sami, Bli nak sing ken ken, paling Bli baat di meli sandal, nak beli biasa matalang batis ke carik. Kewala, margine sakadi jani – men dadi Bli orahang – minab sane paling luunge, nah keto jek pepinahan nak tua, nak tua buka Bli nolih margi carike buka jani – galang keneh Bli yening ka carik.”
Wayan…, Wayan yang baik…, kakak tidak pernah terlalu berkeras hati akan hal-hal demikian. Jika saudara sekampung pastinya memperoleh kesempatan yang lebih baik esok lusa ketika jalan baru sudah selesai, jika jalan itu bisa membawa kesejahteraan bagi kita semua, kakak tidak mempermasalahkannya. Paling kakak hanya berat kalau harus membeli sandal, karena kakak terbiasa bertelanjang kaki ke sawah. Namun, jalan tanah yang seperti sekarang ini – jika kakak boleh berpendapat – mungkin adalah jalan yang paling bagus, yah… begitulah pemikiran orang tua ini, orang tua seperti kakak ketika melihat jalan tanah seperti ini, rasanya pikiran menjadi ringan untuk pergi bersawah.

Nang Lecir memandang jauh ke depan, tatapannya menembus rerumpunan dan pematang serta melompati beberapa petak sawah dengan cepat dan akhirnya tiba di sebuah jalan kecil yang menghubungkan desa mereka dengan persawahannya.

Jalan itu tidak begitu lebar, hanya mungkin cukup lebar bagi dua ekor sapi untuk berpapasan. Di salah satu sisinya mengalir irigasi tradisional yang menyokong persawahan di sana. Pohon-pohon tua dan besar ada di sisi kanan dan kiri jalan, membuat jalan itu teduh sepanjang hari. Kadang ada beberapa petani yang tampak merunduk di sisi jalan guna memunguti sesuatu, mereka bisa mendapat kayu kering dari dahan yang berjatuhan, atau beberapa mungkin mendapatkan buah asam atau buah-buah lainnya, tergantung pohon apa yang ada di sekitarnya.

Memanjang sekitar 3 kilometer untuk sampai ke desa mereka, dan sekitar 4-5 kilometer lagi untuk mencapai ujung jalan itu dan menghubungkan dengan area persawahan yang lebih luas lagi. Itu adalah pemandangan yang luar biasa bagi Nang Lecir, karena ia tumbuh di sana sejak kecil. Seketika ia bisa melihat, ketika jalan itu menjadi jalan aspal yang lebih lebar sehingga cukup dilalui dua mobil berpapasan, maka tidak ada lagi pemandangan hijau itu. Akan seperti sebuah jalan tanpa apa pun di sisinya, dan siang hari akan menjadi sangat menyengat bagi mereka yang lewat di sana.

Para petani dan sapi-sapinya mungkin tidak akan lagi merasakan kesejukan yang membuat mereka nyaman pergi sawah. Anak-anak mungkin akan lebih enggan untuk pergi bermain ke sawah, atau orang tua mereka akan melarang anaknya melintasi beberapa kilometer jalan yang panas untuk bermain.

Pun Nang Lecir berpikir, jika memang di sana akan muncul jalanan beraspal yang rapi. Kira-kira seberapa besar keuntungan yang akan datang ke warga desa. Apa yang didapat oleh warga desa dari jalan mereka yang baru nantinya. Apakah bermakna menggantikan apa yang ada saat ini dengan sesuatu yang baru.

Pertama Nang Lecir mesti bertanya pada dirinya sendiri. Apakah ia memerlukan jalan yang baru – yang diaspal dengan mulus? Apakah ia perlu jalan itu sehingga – ia sebagai salah satu pemilik areal persawahan terluas di desanya – bisa mendapat suatu keuntungan? Apa untungnya membawa mesin selip ke dalam persawahan dibandingkan mengangkut secara manual ke pusat-pusat penyelipan?

Kemudian, pun di situ ada keuntungan baik baginya atau pun warga desa, apakah keuntungan itu benar-benar ia atau mereka perlukan? Mungkin ide-ide peningkatan kesejahteraan adalah yang paling menggiurkan dari wacana pengaspalan jalan ini, namun apakah mereka tidak cukup sejahtera saat ini? Apa yang kurang dari masyarakat desa sehingga tidak cukup merasa sejahtera? Apa yang kurang sehingga Nang Lecir harus menyetujui menebang semua pohon hijau berkilo-kilometer itu dan menggantinya dengan sesuatu yang tidak hijau atas nama kesejahteraan bersama?

Nang Lecir kembali memandang sahabat karibnya yang sudah mulai membajak sawah lagi. Nang Olog pun tak punya yang sukla, karena ia mungkin salah satu warga yang tidak berpunya di desanya. Nang Lecir berpikir, apa dengan jalanan beraspal hidup sahabat baiknya itu akan bertambah baik secara bermakna? Nang Olog selalu tampak bahagia pergi ke sawah, dan hidup sederhana bersama keluarganya. Kini Nang Lecir membayangkan jika sahabatnya itu mesti melewati jalan dengan hawa panas menyengat setiap siang, sulit mencari tempat berteduh jika lelah berjalan karena terik sang surya – jika pengaspalan jalan itu disetujui.

Nang Lecir paham bahwa harta diperlukan untuk menopang kehidupan manusia, namun kekayaan material mungkin bukan segala-galanya. Kadang kesejahteraan masyarakat tidak selalu diukur dengan pendapat per kepala keluarga yang main baik, namun kebahagiaan per warga yang jauh lebih berarti.

Jika seorang petani bisa pergi ke sawah dengan hati yang lapang dan ringan, ia bisa bekerja dengan senang hati. Jika seorang petani tidak bisa bekerja dengan hati yang lapang, bagaimana sawah bisa menghasilkan padi-padi yang baik.

Para petani semenjak dulu di desanya, selalu mengandalkan alam sebagai sahabat dekat. Alam menyokong kehidupan mereka. Nang Lecir juga adalah seorang petani – walau mungkin tidak langsung dalam pemaknaan yang umum.

Ia memahami dirinya menyukai alam bertani yang ada sekarang, ia pun tahu sebagaimana banyak orang yang tumbuh bersama-sama di persawahan itu sejak kecil, banyak petani lain yang menyukai alam persawahan mereka saat ini. Bahkan pepohonan tua di yang berjejer di hadapan pandangan matanya, sudah ia kenal sejak kecil, beberapa telah banyak membantunya. Menyediakan kayu bakar bagi keluarganya, menjadi tempatnya berteduh ketika hujan, dan arena permainan bersama anak-anak lain ketika ia kecil dulu, sebagaimana masih digunakan oleh anak-anak mereka saat ini.

Masyarakat telah hidup baik hingga saat ini bersama dengan jalan kecil yang menghubungkan ratusan petak persawahan itu. Ini mungkin memang sentimentil dan ego Nang Lecir, namun ia tidak rela menukar semua itu dengan sekadar peningkatan kesejahteraan. Jika pun memang nanti banyak pihak yang menginginkan adanya peningkatan kesejahteraan, mungkin ada ranah lain yang bisa digarap.

Nang Lecir berpikir keras, jika ia menentang suatu ide, ia haruslah memiliki solusi lain. Beberapa ide muncul di kepala Nang Lecir, seperti menjadikan desa wisata tradisional yang ramah lingkungan, memperlihatkan bagaimana warga membajak sawah secara tradisional, membuat sistem biogas untuk bahan bakar alternatif rumah tangga karena di desa tersebut lumayan banyak warga yang memelihara hewan ternak.

Namun ia sadar, semuanya perlu digodok secara matang. Ia ingin menyampaikan bahwa ada sesuatu yang berharga di jalan tanah yang sempit itu. Kini adakah suaranya akan didengarkan? Bahwa di situ masih ada keindahan antara keseimbangan pemenuhan kebutuhan manusia dan kelestarian lingkungan.

 

Catatan penulis: Saya menuliskan cerita ini terinspirasi dari La Terre vue du Ciel (serial televisi dokumenter Earth from Above). Ada sebuah negara di mana masyarakatnya menolak pembangunan tiang listrik dengan kawat-kawat yang bisa mengalirkan listrik ke desa-desanya. Mereka tidak ingin mengganggu kehidupan satwa liar terutama burung-burung dengan keberadaan kawat listrik, mereka lebih memilih membeli panel surya yang mahal daripada mengganggu ekosistem. Meski pedesaan mereka sederhana, namun mereka hidup bahagia bersama alam sekitarnya.

Untuk meninjau kembali efek aspal dan ekosistem, silakan merujuk pada “Asphalt in The Jungle”, “Ecosystem, vegatation affect intensity of urban heat island effect” atau “Peran Ekosistem dan Vegetasi”.

16 tanggapan untuk “Haruskah Diaspal?”

  1. oya. tadi saya juga sempat membaca artikel bli cahya ‘nang olog tidak punya sukla’

    miris memang. saya hidup di daerah gianyar, saya melihat persembahan2 yg di ‘hatur’kan hanya untk menunjukkan gengsi. saya tidak lagi melihat adanya persembahan yg tulus –seperti dalam definisi yadnya yg saya baca waktu saya msh berumur 11 tahun. *walaupun umur saya skrg baru 17* ‘yadnya adalah persembahan tulus ikhlas yg di persembahkan oleh umat kepada Hyang Widhi.’

    lumayan miris, ketika adat dan budaya mulai tergerus zaman. sayang saya tidak punya pola pikir sekritis bli cahya untk meng-kritisi hal itu. 😦

    soal sakit hati, ah itu beda lagi bli. 🙂

    sakit hati karena cinta berbeda dgn sakit hati karena di bentak atasan. 😀

    lebih baik dimulai dari diri sendiri saja. bumi ini milik kita bersama. kalau hanya mengandalkan org lain untk menjaga bumi ini, tak ada gunanya. 🙂

    Suka

    • p0et,

      Jika bersedia sedikit membuka pintu ketulusan, sisanya akan mengikuti dengan sendirinya. Mungkin begitu juga dalam hal hubungan antara manusia dan tradisi.

      Btw, saya juga tinggal di Gianyar kok 😀

      Suka

  2. teknologi. .
    benar seperti yg bli cahya bilang. teknologi bagai pedang brmata dua.

    tergantung kemana kita mengarahkannya. 🙂

    sebuah pandangan kritis. saya menyukai artikel ini. 😀

    Suka

    • p0et,

      Kita hanya memiliki satu planet untuk tempat tinggal (saat ini). Jangan sampai-lah hancur (walau sudah rusak di mana-mana). Bumi perlu waktu pemulihan lebih lama dari hati manusia yang tersakiti 😀

      Suka

  3. NGimbuhin napi sane kaujar NANg OLog,”Sing Makejang teknologine nyidaang ngicen hidup iragane pade rahayu lan bagia” Pemineh NAng Lecir ngewangun desa pakraman sane landuh kerta raharja, dumogi polih pasuecan Sang Hyang Widi..
    Maaf, bahasa Balix, masih pasaran Bli. Semoga cerita ini memberikan pencerahan bagi kita yg telah mengkultuskan teknologi dan kehidupan modern yg seringkali melupakan keramahan dan kemurahan alam..

    Suka

    • TuSuda,

      Suksma Bli, punapi ja papinehan irage sareng sami, mangda makejang katujoning antuk karahayuan kulawarga sareng sinami.

      Teknologi memang telah kita hasilkan sehingga begitu membantu kehidupan manusia saat ini, namun tidak sedikit yang memanjakan kita juga. Memilah mana yang baik dan buruk, analisis dampak jangka pendek dan panjang. Ya, pada akhirnya penggunaan setiap bentuk teknologi, dari yang paling kuno hingga terkini, kembali pada kebijaksanaan kita semua.

      Suka

    • Richo,

      Bukankah itu mengapa negeri ini berasaskan kekeluargaan dan gotong royong, serta penyelesaian setiap masalah secara musyarawah mufakat?

      Suka

    • Mas Pushandaka,

      Ada garis tipis antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Relokasi pantai untuk pembangunan industri, apakah kepentingan publik atau kepentingan pribadi/golongan? Bisa ya salah satunya, bisa juga keduanya 🙂

      Yang saya hendak sampaikan saat ini, pembangunan kita telah sampai di mana batas-batas konservasi alam sudah bergeser hingga garis yang mengkhawatirkan. Pertanyaannya apakah orang akan berhenti dan mengalah pada hasrat dan kebutuhan pembangunan (apakah ini kebutuhan primer, sekunder atau tersier?) demi alam yang bukan hanya milik atau kepentingan orang-orang (golongan) yang hidup di masa ini. Akankah mereka mendengar suara dari segelintir orang yang melihat hal ini? Karena ini haruslah menjadi keputusan bersama, karena alam dan pembangunan adalah tanggung jawab milik bersama, dua-duanya menjadi ranah kepentingan publik menurut saya, dan upaya penjagaan keseimbangannya haruslah berlandaskan kesadaran bersama 🙂

      Kadang masyarakat tidak sepenuhnya dapat melihat apa yang penting baginya, giuran keuntungan finansial dan ekonomi pasti akan menggairahkan siapa pun. Jika ada orang yang cukup egois menyuarakan bahwa mereka mungkin saja keliru meski akan menjadi yang tidak disukai di masyarakat, saya percaya ego-nya tidak hadir karena ia mementingkan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum.

      He he, walau saya sendiri tidak rela desa yang hijau berubah semua menjadi hutan beton dan aspal 😀

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.