Dikisahkanlah, bahwa selama perang dahsyat di Kurukshetra yang berlangsung selama delapan belas hari, Vyasa yang malang – perasaannya begitu terkoyak oleh sesal yang sedemikian hebatnya, karena dua keluarga yang berperang adalah garis keturunannya. Ia tidak tahan melihat pembantaian yang besar-besaran ini, ia pun meninggalkan lokasi perang saudara ini.
Suatu hari dalam rasa sesal dan sedih yang mendalam, Vyasa meninggalkan medan yang terendam darah itu dengan segera, di mana pembunuhan besar-besaran akan terjadi lagi pada hari berikutnya.
Dengan bergegas, ia melihat seekor laba-laba berlari sama tergesa-gesanya di atas pasir.
“Mengapa engkau begitu tergesa?” Tanya Vyasa.
Laba-laba itu berlari melewati jalan, dan mendaki pada gundukan rumah semut, dari tempat yang paling tinggi yang ia bisa capai itu ia menjawab, “Tidakkah kau tahu bahwa kereta perang Arjuna akan lewat di tempat ini! Jika aku sampai tergilas rodanya, habislah riwayatku.”
Vyasa tertawa mendengar jawaban si laba-laba, “Tidak ada mata yang basah jika engkau mati! Dunia tidak akan kehilangan jika engkau tewas, engkau tidak akan meninggalkan kekosongan jika engkau lenyap.”
Laba-laba itu amat tersinggung mendengar kata-kata Vyasa, ia merasa terhina, dengan gemetar dalam amarah ia pun berteriak, “Demikiankah menurutmu petapa sombong! Pikirmu akankah kehilangan besar bagi dunia jika engkau mati, sementara aku sama sekali tidak dihiraukan? Aku pun mempunyai istri dan anak-anak yang aku cintai. Aku pun memiliki rumah dan persediaan makanan. Aku pun melekat pada kehidupan dengan penuh ketabahan seperti kalian. Aku pun merasa lapar, haus, sedih, bahagia, sakit dan gembira sertanya pilunya jika berpisah dengan sanak keluarga. Dunia sama berartinya dalam diriku dan bagiku, seperti halnya juga bagi manusia dan makhluk lainnya.”
Vyasa tertunduk dan pergi diam-diam, sambil menggumamkan bait “Saamaanyam ethath pasubir naraani” – bagi semua bentuk kehidupan manusia maupun hewan, hal-hal itu adalah sama.
Tetapi ia berkata pada dirinya sendiri, “Rasa ingin tahu yang mutlak akan menjadi kerinduan yang mendalam akan keindahan, kebenaran dan kebaikan, kesadaran akan adanya persatuan mendasar, seperti sewujud kebijaksanaan yang merupakan harta terindah manusia.” – Vyasa pun melanjutkan perjalanannya.
Tinggalkan Balasan