Saya sering mendengar bahwa bangsa kita adalah bangsa yang santun dalam bertutur kata, sedemikian hingga sejak zaman kerajaan dulu, negeri ini gemar dikunjungi berbagai pedagang dari berbagai belahan bumi melalui jalur laut yang menghubungkan setiap daratan di muka bumi.
Keramah-tamahan kita dikenal dengan baik – demikian katanya. Namun entah mengapa kini rasanya itu merupakan sesuatu yang teramat langka dijumpai. Dalam kehidupan serba modern, orang terbiasa dengan segala hal yang serba instan atau cepat saji. Mungkin adalah pengaruh budaya asing, hingga ke dalam bahasa pun kini segalanya menjadi serba instan. Memang mungkin tuntutan zaman, bahwa segalanya sesuatu mesti ringkas, padat dan jelas.
Saya pernah membaca sebuah buku “Geografi” terbitan lama, ejaannya masih menggunakan ejaan Soeandi, dengan kertas yang sudah kecokelatan dan halaman yang sudah menghitam dan lapuk dimakan usia. Mungkin itu dulu buku teks yang digunakan sebelum masa EYD tiba, karena seakan-akan saya dibawa ke dalam masa di mana apa-apa yang disampaikan rasanya sungguh-sungguh nyata.
Berbeda dengan buku-buku yang ada pada masa saya SMA dulu, buku “Geografi” kala itu begitu ringkas, padat dan jelas dengan materi yang bertumpuk. Buku tua ini justru menyampaikannya dalam narasi yang panjang, lebar, bahkan kadang mengabur unsur-unsur mana yang penting sebenarnya untuk dipelajari. Ia lebih seperti sebuah kisah, sebuah narasi yang menceritakan pada saya, seolah membuat saya berjalan menyusuri apa yang dilihat oleh si penulis.
Semisal jika bercerita tentang bendungan Aswan di Sungai Nil, buku sekarang akan bercerita, apa nama bendungan itu, kapan bendungan itu dibangun, apa kepentingannya, dan di mana lokasinya – titik. Lalu apa menariknya seperti itu – walau tentu itu informatif. Buku lama itu mengajak saya berjalan ke tepi-tepi sungai nil, melihat bagaimana penduduk di sana sebelum bendungan itu ada, dan setelah bendungan itu ada, bagaimana sungai itu kini bersanding dengan bendungan, ketika membacanya sungguh rasanya bisa benar-benar berdiri di atas bendungan dan menatap alam sekitarnya. Walau mungkin saya tidak tahu mengapa saya berada di atas bendungan, namun saya tahu bahwa saya telah menerima apa yang disampaikan oleh si penulis.
Itu mungkin sebuah buku pelajaran tua yang penulisnya tidak saya kenal, namun bisa membuatnya begitu menarik bagi saya (walau Geografi bukanlah bidang yang terlalu saya minati) membuat saya diam-diam mengagumi kemampuan seseorang dalam menulis. Mungkin inikah yang disebut sebagai “The Law of Attraction”?
Saya bukan seorang penulis, tidak pula memiliki bakat dalam bidang ini, dan saya tidak berencana untuk menggeluti dunia menulis. Namun jika saya menulis, sering kali saya dapat berharap bisa menjadi sebaik itu, sebaik di mana setiap kata tersampaikan pada mereka yang sungguh-sungguh membacanya.
Seorang narablog sering kali secara sadar atau tidak sadar menuntut mereka yang sengaja maupun tak sengaja membaca tulisannya agar lebih teliti kembali membaca apa yang ia tulis, dan saya rasa tuntutan ini kemudian terasa kurang pas ketika apa yang disampaikan menjadi tidak jelas karena penulisan yang mungkin sulit dipahami.
Saya tidak hanya sekali dua kali mendapat tanggapan bahwa kadang tulisan saya sulit dipahami. Ya, seandainya saya becermin kembali, mungkin sang penulis sendiri kadang sulit memahami ulang apa yang ia tulis sepenuhnya.
Mungkin wajarlah menjadi sebuah harapan kecil seorang yang gemar menulis, bahwa jika suatu hari nanti, setiap kata yang ia tulis bisa menjadi bahasa – jembatan penghubung antara dua pikiran dalam sebuah sketsa raksasa, bukan hanya sekadar tuangkan yang terperangkap di atas kanvas.
Tinggalkan Balasan