Kadang saya bisa duduk termenung memikirkan satu dua hal yang tidak jelas. Beberapa saat bisa jadi pandangan ini kosong, jika saya meliriknya kembali, persis seperti seekor keledai dengan wajah dungunya sedang memandangi lukisan Van Goh. Hanya saja bedanya walau sama-sama termenung, mungkin bukan lukisan yang saya pandangi, namun hanya grafiti dari kehidupan masa lalu saya.
Ini seperti suatu mozaik yang saling tumpang tindih, saya tak akan pernah tahu apa yang bisa muncul di pikiran saya selanjutnya – sama persis ketika saya tidak tahu ke mana tulisan ini hendak pergi ketika saya memulai kata-kata awalnya.
Pandangan saya jatuh pada pulpen (sejujurnya saya masih penasaran, kata “pulpen” ini berasal dari bahasa serapan mana) bermerek Zebra yang sudah beberapa tahun saya gunakan. Pulpen ini mungkin termasuk mahal di kalangan mahasiswa yang berkantong tipis seperti saya, karena harganya mencapai belasan ribu rupiah per batang pena, dan isi ulangnya bisa mencapai beberapa ribu rupiah.
Namun pulpen seperti ini justru saya memiliki beberapa, karena pas bagi saya untuk menulis. Pulpen ini diaktifkan (dikeluarkan mata penanya) dengan menarik/memanjangkannya, dan ditutup kembali dengan memendekkannya. Cukup praktis karena tidak memerlukan tutup. Saya orang yang sangat teledor dengan barang-barang kecil, jika saya menggunakan pulpen biasa, maka saya cenderung menghilangkan tutupnya, dan kemudian saya akan kehilangan pulpennya karena begitu mirip dengan milik rekan-rekan saya yang lainnya.
Jika pulpen ini tertinggal di suatu tempat, rekan saya pasti segera tahu orang bodoh mana yang teledor meninggal pulpen seperti itu – karena hanya satu orang yang menggunakannya hingga lapisan luarnya tampak begitu kusam.
Pun saya jadi teringat, karena ada banyak barang yang menemani saya sejak lama. Seperti motor Yamaha Jupiter warna hitam yang sudah saya gunakan sejak akhir kelas 2 SMA. Usianya sekarang mungkin antara 7 – 8 tahun, usia yang lumayan baya bagi sebuah sepeda motor, walau tidak terlalu tua. Mungkin saya tidak terlalu pandai merawat sepeda motor, karena jika ada kerusakan sedikit saja – saya bisa panik bukan kepalang.
Saya menyukai berkendara dengan sepeda motor saya, walau hanya berkeliling kota tanpa tujuan. Ada hal-hal yang begitu sangat ingin untuk disaksikan dari atas suara motor yang menderu-deru. Kadang berkendara di bawah hujan pun menjadi suatu yang menyenangkan. Mungkin secara tidak sadar seorang pemilik motor membangun banyak kenangan dengan sepeda motornya, saat terjatuh bersama, saat mengebut mengejar jam kuliah, saat berbelanja dengan banyak barang yang tak tahu mesti ditempatkan di mana, saat berdebar-debar dengan membonceng seseorang yang istimewa, atau saat menunggu sepeda motornya di bengkel untuk perawatan rutin atau pun perbaikan.
Beberapa kali dalam satu – dua tahun terakhir saya ditawari untuk mengganti sepeda motor saya. Namun rasanya tidak tega, malah dana membeli sepeda motor baru saya gunakan untuk membeli notebook baru – walau dapatnya bukan notebook yang paling baik, setidaknya tidak akan kalah dengan Acer Ferrari atau Asus Lamborghini di masanya – itu dulu, sekarang sudah seperti notebook tua saja.
Kurasa ada beberapa orang yang senang bertahan dengan motor tuanya – bukan karena tidak ada kesempatan untuk mendapatkan yang baru, namun karena mereka hanya tidak ingin menggantikan yang lama.
Apalagi yang tua di sekitarku? Hmm…, oh ya, sepatu yang selalu kugunakan. Kurasa sepatu ini buatan Indonesia, diwariskan dari pamanku (mungkin digunakan pada masa mudanya saat bekerja di Jakarta pada tahun 80-an atau 90-an dugaanku), beberapa bagian kulitnya sudah mengelupas dan robek. Tali-talinya pun sudah mengeras dan tidak lagi elastis, bagian bawahnya sudah berpori pada tempat yang dulunya menjadi bantalan, kini bisa menjadi perangkap bagi satu atau dua kerikil untuk terjebak di dalamnya. Bagian dalamnya mesti kutambahkan semacam cetakan lateks, karena kain yang harusnya menjadi bantalan kakinya sudah hancur. Dan aku menggunakan sudah sejak awal masa kuliah. Asal disemir dengan teliti, bagian luarnya akan tampak rapi dan mengkilap – tidak akan seperti sepatu lama sama sekali.
Lalu apa aku tidak memiliki sepatu baru? Yah, sepatuku yang paling baru adalah sepatu pantofel yang kudapatkan di kelas 1 SMA ketika ikut serta sebagai pengibar bendera kabupaten. Sama jua hanya dengan semiran teliti, akan tampak seperti baru. Ini kucadangkan jika yang lainnya sedang tidak dapat digunakan, semisal basah terkena hujan.
Terkadang apa yang bersama kita cukup lama bisa mengingatkan kita kembali pada banyak hal. Jika kita lupa – bahkan mengapa kita berada di suatu tempat dan suatu situasi – mereka mungkin berbaik hati mengingatkan kita, sehingga dengan berucap pelan “ah ya…, tentu saja” kita tahu ke mana akan melangkah selanjutnya.
Tinggalkan Balasan