Film Confucius

Hampir seluruh dunia mengenal filsuf dari tanah Tiongkok yang satu ini, pengaruh ajarannya tersebar tidak hanya di Cina, namun juga negeri tetangga seperti Korea dan Jepang, bahkan hingga ke Vietnam.

Kali ini sebuah film yang dibintangi oleh Chow Yun-Fat, aktor kawakan yang sudah terkenal dalam banyak film seperti Anna and the King (1999), Chrouching Tiger Hidden Dragon (2000), Bulletproof Monk (2003), Curse of The Golden Flower (2006), atau dalam Film Pirates of The Carribbean sebagai Kapten Perompak Sao Feng (2007), hingga film yang baru-baru ini agak mengecewakan yaitu Dragon Ball Evolution dalam perannya sebagai Master Roshi.

Tapi saya yakin aktingnya dalam Film Confucius sangat bagus, apalagi didukung oleh tata rias dan tata latar yang apik.

Karena film kali ini merupakan sebuah epos hidup seorang Kong Zi (dikenal juga sebagai Kong Qiu) yang berisi dan melibatkan banyak pemikirannya masuk dalam celah-celah layar, maka mungkin banyak bagian film yang menjadi berat untuk dicerna, apalagi penggunaan bahasa Mandarin sebagai pengantar, membuat setiap petikan yang diucapkan tokoh Konfusius bak mengunyah serat kayu, harus benar-benar berusaha keras agar dapat menjadi lembut.

Kisah tentang bagaimana namanya mulai besar dan bakatnya mulai dihargai di tanah kelahirannya negeri Lu, hingga harus terasingkan dan mengelana dari negeri ke negeri sampai ia kembali lagi ke negerinya. Membuat film ini bukan film yang baik bagi penggemar intrik sebagai bahan kisah, namun film ini akan menarik bagi mereka yang menyukai sebuah perjalanan hidup seorang pengelana.

Satu-satunya percakapan yang dapat saya tangkap dengan baik adalah saat itu adalah percakapan antara Kong Zi dan Laozi. Dalam tradisi Tiongkok, Laozi seperti antara mitologi dan legenda, karena ia dianggap sebagai pemberi dasar bagi Daoisme atau Taoisme, dan banyak yang menilai bahwa ia dan ajarannya sejajar dengan Budhisme yang kemudian masuk ke tanah Tiongkok.

Dalam film ini dikisahkan bahwa Kong Zi sebelum terkenal merupakan murid dari Laozi. Bagi saya kata-kata seorang Laozi kemudian lebih mudah dicerna daripada muridnya – Konfusius sendiri. Walau kemudian dalam perjalanan sejarah, doktrin atau pun filosofinya mengenai moralitas personal dan pemerintahan, kepatutan dalam hubungan sosial, keadilan dan ketulusan menjadi nilai-nilai yang lebih dominan dibandingkan Taoisme dan doktrin lain pada masa Dinasti Han kemudian.

Masih banyak bumbu yang menarik dalam film ini, jika tertarik, silakan menikmatinya di teater terdekat.

Atau ingin melihat cuplikan film-nya lebih dahulu, silakan menuju YouTube mengintip cuplikan pendek Film Confucius.

  Copyright secured by Digiprove © 2010 Cahya Legawa

30 tanggapan untuk “Film Confucius”

  1. hehehe,
    jujur aja,
    saya gak suka
    pemeran kong zi
    (muup pak)
    gak bagus,
    gak bisa menghayati dan jadi kong zi yang benar2 powerfull dalam bicara…
    jadi ajaran2 dalam kata2 kong zi tidak bisa meresap bangetr

    Suka

    • zhaomoli,

      Apa mungkin karena film ini lebih banyak memperlihatkan sisi “manusia” seorang Kong Zi dibandingkan sisinya sebagai seorang saga?

      Suka

  2. film filosofi ya bli? maklum bukan film action, dan film perang. jadinya buat mencari nilai yang syarat untuk didalami, film ini bisa jadi rujukan.

    Suka

    • Asop,

      Mungkin karena itu adalah aktingnya yang paling kontroversial, katanya pemerintah Cina sampai mensensor semua yang ada adegannya saat masuk ke filmnya masuk ke Cina karena dianggap mempermalukan bangsa.

      Suka

  3. Ditempat saya sudah tidak ada bioskop lagi Mas Cahya, jika ingin nonton paling-paling dari DVD bajakan, yang biasanya lebih duluan beredar.
    Saya harus telepon putri saya dulu untuk mendapatkan salinan filmnya.

    Suka

    • Pak Aldy,

      Saya rasa kadang itu humoris juga kalau film bajakan lebih dulu keluar dari film aslinya di bioskop. Tapi rasanya sudah jadi tradisi juga mungkin di negeri ini hal-hal demikian sering kali dengan mudah dapat kita jumpai.

      Suka

    • Habis mau gimana lagi Mas Cahya,
      Kenyataannya seperti itu. Banyak yang lolos melalui pintu perbatasan di Entikong/Tebedu.

      Suka

    • He…he…he…wah kalau sudah bicara hukum ekonomi bisa panjang ceritanya.
      Dan benar Mas Cahya, tadi malam saya telp putri saya minta carikan film tersebut, malah dirumah sudah ada sejak 2 minggu yang lalu dan dijanjikan akan dikirim secepatnya.
      Benarkan ? bajakanya duluan beredar…

      Suka

    • Pak Aldy,

      Bahkan di Jogja sekali dua kali saya menemukan film aspal yang sudah beredar beberapa bulan sebelum aslinya diputar di bioskop 😀

      Suka

  4. Ajaran Confucius juga sampai ke Indonesia, dikenal sebagai Kongfucu. Penganutnya banyak terdapat di Pulau Bangka (tanah kelahiran saya) serta Belitung dan Kalimantan juga saya kira. Adegan yang mengharukan -dan salah satu yang saya sukai selain ketika Confucius membela seorang budak agar tidak harus turut mati karena diharuskan mendampingi tuannya yg sudah mati duluan sbg bentuk kesetiaan; konyol memang- adalah ketika muridnya yg telah diselamatkannya dari kematian kemudian juga mati karena usaha menyelamatkan naskah2 ajarannya (?) yg terjatuh ke dalam danau dengan suhu air dibawah 0 derajat Celcius.

    Suka

    • ferdinan sihombing,

      Mungkin karena setiap orang punya pilihan untuk menjalani hidupnya, kadang membuat kita tidak bisa menerima, namun kenyataannya selalu ada yang seperti itu di sekitar kita kan Pak?

      Suka

  5. Wah, kolosal lagi ya? Sepertinya bagus. Tapi males banget nonton di Galeria 21. Sewa vcd originalnya sajalah.

    Suka

    • Mas Pushandaka,

      Memangnya Mas Pushandaka ada di mana sekarang? Kalai di Jogja justru di Galeria 21 tidak ada filmnya, karena tayangnya di Empire XXI 😉

      Suka

    • Saya ada di Denpasar mas. Biasanya kalau liburan ke Jogja, seperti waktu liburan Nyepi kemarin, saya habis-habisan nonton di Empire XXI. Ya karena bioskop di Bali, Galeria 21 dan Wisata 21 kualitasnya ndak memuaskan banget. Jadi kalau di Denpasar, saya menyewa vcd originalnya saja. 🙂

      Suka

    • Mas Pushandaka,

      Kalau di Bali, mood saya menonton teater langsung hilang, mending deh saya naik sepeda di pematang sawah sekitar rumah 🙂

      Suka

  6. ulasan di majalah Tempo
    yang menyebut film ini
    tidak terlalu memikat,
    membuat saya tak lg
    terpikat ingin menyaksikan film ini
    padahal, film2nya Chow Yun Fat
    pastinya slalu memikat….

    Suka

    • mikekono,

      Apa sih yang bagus dari kehidupan seorang pengembara dan sastrawan miskin? Kalau mau mencari sesuatu yang bagus untuk menghibur tentu film ini jauh dari kriteria seperti itu. Tapi kalau mencari sesuatu yang berbeda, mungkin di film ini bisa ditemukan 🙂

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.