Pendahuluan
Tidak bisa dipungkiri bahwa dengan kehadiran blog saat ini di internet, maka apa yang disebut jurnalisme warga semakin meluas ke mana-mana. Membuka semakin banyak sekat-sekat informasi dan menjelajah lebih banyak ruang di seluruh muka bumi ini. Saat dulu informasi dunia internet hanya tersedia dari website pribadi yang kaku dan memerlukan banyak waktu dan tenaga untuk melakukan pembaharuan terhadapnya, maka mesin-mesin blog terkini telah memecahkan semua masalah itu seperti trik sihir yang dulu hanya mimpi.
Blog mempercepat kelahiran, pembaharuan dan penyebaran informasi multidimensional ke dalam dunia maya, bahkan dapat dikatakan blog adalah sesuatu yang kini membanjiri kita selain jejaring sosial di dunia maya. Kita bisa menemukan banyak hal seketika di berbagai blog hanya dengan beberapa kata kunci efektif di mesin telusur seperti Google, Yahoo atau Bing. Dan ini seperti membuat internet menjadi perpustakaan raksasa di seluruh dunia.
Dasar Pemikiran
Beberapa hari yang lalu saya duduk di bilik tunggu saat saat sedang mencuci sepeda motor saya di salah satu tempat pencucian motor sepanjang Pandega Marta. Perhatian saya teralih saat mendengar suara televisi yang saya kenal khas, salah satu stasiun televisi menyiarkan kilasan berita dalam topik kesehatan, sebuah topik serupa yang sempat saya tulis dalam “Rumor Produk Aspartame Yang Berbahaya oleh IDI” beberapa waktu lalu. Tampaknya pihak media – sebagaimana yang saya tangkap – menyatakan bahwa aspartame adalah produk yang berbahaya dan hipotesis yang mereka ajukan adalah masyarakat belum mengetahui hal ini, lalu mereka melakukan survei pada masyarakat untuk menguji hipotesis ini. Di luar apakah pernyataan media itu tepat atau keliru, silakan pertimbangkan kembali dengan membaca tulisan saya sebelumnya itu, namun mari kita lihat proses selanjutnya.
Kru media mengunjungi beberapa anggota masyarakat, mereka ditanyakan apakah mereka tahu tentang seputar rumor ini dan bahaya aspartam serta produk-produk apa saja yang mengandung aspartam. Beberapa orang mengatakan tidak tahu, beberapa lagi mengatakan mereka bisa mencari tahu. Saat ditanya ke mana orang-orang ini mencari tahu, mereka berkata akan mencari tahu lewat internet. Lalu diperlihatkan-lah gambar-gambar orang yang sedang berselancar di internet mencari informasi tentang hal ini.
Lalu sampai pada cuplikan di mana pencari informasi itu masuk ke dalam halaman blog saya di atas. Jadi mereka juga melihat apa yang saya tulis di blog. Walau tetap saja setelah akhir acara simpulan mereka sama sekali tidak “melirik” tulisan saya, tapi yang menjadi tanda tanya adalah mengapa kini pencarian di internet menjadi sesuatu yang terlalu menjamur hingga menutupi beberapa hal yang esensial.
Mengapa hanya diperlihatkan mencari informasi via internet yang notabene kesahihan informasinya masih perlu dipertanyakan. Apa tidak ada sumber informasi lain yang lebih bisa diyakini, atau sebuah (atau beberapa) blog cukup dijadikan suatu referensi.
Referensi sendiri menurut KBBI daring adalah rujukan (sumber acuan). Dalam pemahaman yang berarti secara sengaja merujuk pada suatu sumber sebagai titik atau kondisi acuan. Bentuk referensi bisa bermacam-macam, seperti suara, teks, citra, objek dan lain sebagainya – termasuk di dalamnya metode untuk menyembunyikan sumber acuan dari pengamat (kriptografi).
Opini
Dalam opini pribadi saya, blog bukanlah sesuatu yang cukup valid dijadikan sebagai referensi, apalagi jika referensi ini kemudian menjadi acuan dalam suatu kepustakaan ilmiah – tentunya kredibilitas suatu karya ilmiah patut dipertanyakan di kemudian waktu.
Bahasan
Mengapa blog sulit dijadikan sebagai suatu titik acuan (baca: referensi)…?
Pertama, blog tidak selalu bersifat ilmiah – secara singkatnya apa yang tertulis dalam blog belum bisa dipastikan terbukti secara ilmiah – bahkan walau penulisnya seorang yang sangat ilmiah. Pun blog bersifat ilmiah, harus ditentukan terlebih dahulu, apakah itu sebuah opini atau sebuah saduran dari berbagai sumber ilmiah lainnya.
Semisal tulisan saya ini tentu sebuah opini, dan sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai rujukan ilmiah. Apalagi blog-blog lain yang bersifat personal yang ditulis dalam “kepentingan yang tidak penting”.
Kedua, bahasa sebuah blog sering kali tidak pas dijadikan sebagai dalam bahasa referensi. Semantik sebuah blog kadang lebih hancur dari kapal pecal, lihat saja contohnya pada blog saya ini. Antara kata benda dan perujuknya saja sering menimbulkan multitafsir, kesulitan antara pemilahan denotasi yang baik sebagai akar referensi menjadi mutlak sulit ditemukan pada blog-blog yang memberikan hubungan benda/objek dan perujukannya dalam ikatan konotasi. Bahkan beberapa konsep penyerta bisa menjadi kalang kabut, semisal bagaimana memosisikan suatu antesenden dalam kaca mata analisis sintaksis. Belum lagi mempertimbangkan pemaknaan, ketiadaan acuan kata, hingga tanda-tanda linguistik lainnya.
Cara mudah untuk memahami ini adalah ketika Anda – seorang narablog pun seorang pembaca blog – tidak sepenuhnya paham apa yang baru saja saya sampaikan!
Mengapa blog berbahaya menjadi sebuah referensi?
Pertama, tidak semua konten blog dapat dipercaya. Masyarakat dunia maya tidak jauh berbeda dengan di dunia nyata, menyukai rumor-rumor yang sensasional, dibandingkan mencari dahulu kebenaran di balik sebuah berita, kita cenderung lebih suka melahap nikmat berbagai hoax yang sensasional itu.
Banyak blog, situs, forum di internet yang komunitasnya menjadi korban hoax, bahkan dalam sejarah perjalanan blog ini juga pernah mengalami hal serupa. Jika semua orang di dunia maya menyebarkan berita yang sama melalui blog dan forum, maka bisa jadi hoax itu akan menjelma menjadi sebuah aliran kepercayaan yang sulit lagi ditelusuri akar mulanya.
Kadang kepercayaan ini berubah menjadi pembenaran publik dengan mengesampingkan metodologi ilmiah dalam upaya pembuktiannya.
Maka sebuah blog bisa mengandung konten hoax yang tidak dapat dilacak balik sumbernya dan tidak dapat dibuktikan kebenaran melalui metodologi ilmiah. Dan yakinlah Anda tidak pernah berharap hal-hal seperti ini menjadi sumber acuan bukan?
Saat saya menulis tentang rumor aspartame sebelumnya, saya harus membuka banyak jurnal, melihat banyak forum dan blog, meninjau situs-situs kesehatan resmi dari berbagai belahan dunia, menelusuri sejarah lahirnya aspartame dan bagaimana ia jadi bahan perdebatan hingga munculnya hoax seputar produk yang satu ini.
Jadi saya bisa menyimpulkan bahwa hoax tersebut sama sekali tidak memiliki kajian dasar ilmiah. Bahkan setelah melakukan penelusuran luas pun apa yang saya sampaikan dapat saja tidak tepat, karena itulah sebuah blog seperti pisau bermata dua, di satu sisi dapat informatif, dan sisi lain informasi yang diberikan dapat menyesatkan.
Karena itulah saya membuat batasan (disclaimer) dalam blog ini, sedemikian hingga dapat ditekankan kembali bahwa blog saya ini bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan rujukan ilmiah terhadap apa pun.
Kedua, ternyata bukan hanya konten hoax yang menyesatkan yang berbahaya, beberapa blog bisa mengandung apa yang disebut konten tidak layak atau konten yang berbahaya dalam artian sebenarnya.
Menggali keuntungan tertentu, sengaja memanipulasi data untuk itu, bahkan hingga memojokkan atau menjatuhkan pihak-pihak tertentu yang dinilai dapat menghalangi apa yang menjadi tujuan si pemilik blog tidak dipungkiri dapat terjadi di dunia maya.
Mengapa bisa ada pelanggaran etika saat mengutip sebuah blog sebagai referensi?
Jangan lupakan bahwa ada yang namanya hak cipta pada blog, jika hendak mengutip sebagai referensi harus diperhatikan dulu apa lisensi yang menyertainya. Tidak semua menggunakan copyleft yang berarti silakan salin, sebar luaskan semaunya. Sebagian besar blog menggunakan lisensi non-komersial baik dalam hak cipta penuh maupun creative commons.
Atribusi non komersial digunakan di banyak situs seperti pada blog ini, atau situs wikipedia misalnya. Atribusi ini mensyaratkan bahwa penerima hak untuk menyebarluaskan konten blog – jika diizinkan demikian – tidak boleh dilandasi oleh tujuan komersial atau si penerima hak memperoleh kompensasi moneter terhadap penyebarluasan konten di bawah lisensi creative commons attribution – NonCommercial.
Menyalin tempel tanpa etika saja mungkin sudah tidak pas, apalagi hingga “melangkahi” lisensi yang sudah ditetapkan oleh si empunya blog. Jadi tidak jarang kadang kita menemukan sedikit clash antara narablog dan si pengutip yang memasukkan kutipan dari blognya tanpa izin ke media komersial tertentu (buku, majalah, dan sebagainya), meskipun kutipan itu telah memberikan rujukan.
Ada banyak pendapat dan perdebatan yang rumit seputar permasalahan ini. Dan saya rasa tidak seorang pun ingin terjerat dalam rantai permasalahan ini gara-gara mengutip sebuah blog dan menjadikannya referensi, namun lupa melihat atribusi lisensinya.
Simpulan
Ada banyak hal yang menjadikan blog “sulit” dijadikan sebagai sebuah referensi yang valid, apalagi dalam ranah ilmiah. Berbagai blog di internet memang memperkaya informasi kita, namun diperlukan penyaringan yang baik untuk masing-masing konten jika hendak dijadikan referensi dengan melihat berbagai kemungkinan yang menyebabkan konten blog gugur sebagai sumber referensi yang valid.
Pastikan apakah konten blog sebuah opini – sehingga nanti yang diambil adalah referensi opini, ataukah suatu topik ilmiah? Jika topik ilmiah, dapatkah sumber-sumbernya ditelusuri kembali (lacak balik)? Ataukah ataukah sumber-sumber ilmiah lain (buku ajar, kepustakaan, jurnal, dan sebagainya) yang memberikan bahasan serupa?
Hargai karya orang lain, walau tulisan sangat remeh pun di dalam sebuah blog, bukan berarti kita dapat mengutip dan menjadikan sumber referensi apalagi “lahan hidup” dengan seenaknya – bahkan ketika si pemilik blog tidak mengingatkan apa pun tentang izin mengutip. Anda mungkin punya pohon mangga di dekat pagar rumah Anda, manis mungkin tidak, lebat mungkin tidak, tapi Anda sendiri yang menanamnya – tidak lucu kan kalau ada orang tak dikenal lewat dan mengambil beberapa buat dijual di pasar – walau Anda mungkin tak berkeberatan jika diminta.
Jangan lupa membaca sanggahan blog – walau dalam wujud terselubung sekali pun. Jangan sampai Anda dengan semangat menyebarkan sebuah tulisan tentang penemuan bukti kuat bahwa dinosaurus masih eksis secara serius, tapi lupa membaca catatan kecil di pojok bawah blog yang bersangkutan “Jangan sebarkan karya saya, semua cuma lelucon konyol saya, tidak layak jadi bahan tontonan”.
Jadi bagaimana dengan Anda?
Dalam beberapa hal, blog tidak dilarang dijadikan rujukan. Ada kaidah sendiri dalam merujuk blog atau tulisan lain di media sosial.
Tinggalkan Balasan