Validitas Sebuah Blog Sebagai Referensi

Pendahuluan

Tidak bisa dipungkiri bahwa dengan kehadiran blog saat ini di internet, maka apa yang disebut jurnalisme warga semakin meluas ke mana-mana. Membuka semakin banyak sekat-sekat informasi dan menjelajah lebih banyak ruang di seluruh muka bumi ini. Saat dulu informasi dunia internet hanya tersedia dari website pribadi yang kaku dan memerlukan banyak waktu dan tenaga untuk melakukan pembaharuan terhadapnya, maka mesin-mesin blog terkini telah memecahkan semua masalah itu seperti trik sihir yang dulu hanya mimpi.

Blog mempercepat kelahiran, pembaharuan dan penyebaran informasi multidimensional ke dalam dunia maya, bahkan dapat dikatakan blog adalah sesuatu yang kini membanjiri kita selain jejaring sosial di dunia maya. Kita bisa menemukan banyak hal seketika di berbagai blog hanya dengan beberapa kata kunci efektif di mesin telusur seperti Google, Yahoo atau Bing. Dan ini seperti membuat internet menjadi perpustakaan raksasa di seluruh dunia.

Dasar Pemikiran

Beberapa hari yang lalu saya duduk di bilik tunggu saat saat sedang mencuci sepeda motor saya di salah satu tempat pencucian motor sepanjang Pandega Marta. Perhatian saya teralih saat mendengar suara televisi yang saya kenal khas, salah satu stasiun televisi menyiarkan kilasan berita dalam topik kesehatan, sebuah topik serupa yang sempat saya tulis dalam “Rumor Produk Aspartame Yang Berbahaya oleh IDI” beberapa waktu lalu. Tampaknya pihak media – sebagaimana yang saya tangkap – menyatakan bahwa aspartame adalah produk yang berbahaya dan hipotesis yang mereka ajukan adalah masyarakat belum mengetahui hal ini, lalu mereka melakukan survei pada masyarakat untuk menguji hipotesis ini. Di luar apakah pernyataan media itu tepat atau keliru, silakan pertimbangkan kembali dengan membaca tulisan saya sebelumnya itu, namun mari kita lihat proses selanjutnya.

Kru media mengunjungi beberapa anggota masyarakat, mereka ditanyakan apakah mereka tahu tentang seputar rumor ini dan bahaya aspartam serta produk-produk apa saja yang mengandung aspartam. Beberapa orang mengatakan tidak tahu, beberapa lagi mengatakan mereka bisa mencari tahu. Saat ditanya ke mana orang-orang ini mencari tahu, mereka berkata akan mencari tahu lewat internet. Lalu diperlihatkan-lah gambar-gambar orang yang sedang berselancar di internet mencari informasi tentang hal ini.

Lalu sampai pada cuplikan di mana pencari informasi itu masuk ke dalam halaman blog saya di atas. Jadi mereka juga melihat apa yang saya tulis di blog. Walau tetap saja setelah akhir acara simpulan mereka sama sekali tidak “melirik” tulisan saya, tapi yang menjadi tanda tanya adalah mengapa kini pencarian di internet menjadi sesuatu yang terlalu menjamur hingga menutupi beberapa hal yang esensial.

Mengapa hanya diperlihatkan mencari informasi via internet yang notabene kesahihan informasinya masih perlu dipertanyakan. Apa tidak ada sumber informasi lain yang lebih bisa diyakini, atau sebuah (atau beberapa) blog cukup dijadikan suatu referensi.

Referensi sendiri menurut KBBI daring adalah rujukan (sumber acuan). Dalam pemahaman yang berarti secara sengaja merujuk pada suatu sumber sebagai titik atau kondisi acuan. Bentuk referensi bisa bermacam-macam, seperti suara, teks, citra, objek dan lain sebagainya – termasuk di dalamnya metode untuk menyembunyikan sumber acuan dari pengamat (kriptografi).

Opini

Dalam opini pribadi saya, blog bukanlah sesuatu yang cukup valid dijadikan sebagai referensi, apalagi jika referensi ini kemudian menjadi acuan dalam suatu kepustakaan ilmiah – tentunya kredibilitas suatu karya ilmiah patut dipertanyakan di kemudian waktu.

Bahasan

Mengapa blog sulit dijadikan sebagai suatu titik acuan (baca: referensi)…?

Pertama, blog tidak selalu bersifat ilmiah – secara singkatnya apa yang tertulis dalam blog belum bisa dipastikan terbukti secara ilmiah – bahkan walau penulisnya seorang yang sangat ilmiah. Pun blog bersifat ilmiah, harus ditentukan terlebih dahulu, apakah itu sebuah opini atau sebuah saduran dari berbagai sumber ilmiah lainnya.

Semisal tulisan saya ini tentu sebuah opini, dan sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai rujukan ilmiah. Apalagi blog-blog lain yang bersifat personal yang ditulis dalam “kepentingan yang tidak penting”.

Kedua, bahasa sebuah blog sering kali tidak pas dijadikan sebagai dalam bahasa referensi. Semantik sebuah blog kadang lebih hancur dari kapal pecal, lihat saja contohnya pada blog saya ini. Antara kata benda dan perujuknya saja sering menimbulkan multitafsir, kesulitan antara pemilahan denotasi yang baik sebagai akar referensi menjadi mutlak sulit ditemukan pada blog-blog yang memberikan hubungan benda/objek dan perujukannya dalam ikatan konotasi. Bahkan beberapa konsep penyerta bisa menjadi kalang kabut, semisal bagaimana memosisikan suatu antesenden dalam kaca mata analisis sintaksis. Belum lagi mempertimbangkan pemaknaan, ketiadaan acuan kata, hingga tanda-tanda linguistik lainnya.

Cara mudah untuk memahami ini adalah ketika Anda – seorang narablog pun seorang pembaca blog – tidak sepenuhnya paham apa yang baru saja saya sampaikan!

Mengapa blog berbahaya menjadi sebuah referensi?

Pertama, tidak semua konten blog dapat dipercaya. Masyarakat dunia maya tidak jauh berbeda dengan di dunia nyata, menyukai rumor-rumor yang sensasional, dibandingkan mencari dahulu kebenaran di balik sebuah berita, kita cenderung lebih suka melahap nikmat berbagai hoax yang sensasional itu.

Banyak blog, situs, forum di internet yang komunitasnya menjadi korban hoax, bahkan dalam sejarah perjalanan blog ini juga pernah mengalami hal serupa. Jika semua orang di dunia maya menyebarkan berita yang sama melalui blog dan forum, maka bisa jadi hoax itu akan menjelma menjadi sebuah aliran kepercayaan yang sulit lagi ditelusuri akar mulanya.

Kadang kepercayaan ini berubah menjadi pembenaran publik dengan mengesampingkan metodologi ilmiah dalam upaya pembuktiannya.

Maka sebuah blog bisa mengandung konten hoax yang tidak dapat dilacak balik sumbernya dan tidak dapat dibuktikan kebenaran melalui metodologi ilmiah. Dan yakinlah Anda tidak pernah berharap hal-hal seperti ini menjadi sumber acuan bukan?

Saat saya menulis tentang rumor aspartame sebelumnya, saya harus membuka banyak jurnal, melihat banyak forum dan blog, meninjau situs-situs kesehatan resmi dari berbagai belahan dunia, menelusuri sejarah lahirnya aspartame dan bagaimana ia jadi bahan perdebatan hingga munculnya hoax seputar produk yang satu ini.

Jadi saya bisa menyimpulkan bahwa hoax tersebut sama sekali tidak memiliki kajian dasar ilmiah. Bahkan setelah melakukan penelusuran luas pun apa yang saya sampaikan dapat saja tidak tepat, karena itulah sebuah blog seperti pisau bermata dua, di satu sisi dapat informatif, dan sisi lain informasi yang diberikan dapat menyesatkan.

Karena itulah saya membuat batasan (disclaimer) dalam blog ini, sedemikian hingga dapat ditekankan kembali bahwa blog saya ini bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan rujukan ilmiah terhadap apa pun.

Kedua, ternyata bukan hanya konten hoax yang menyesatkan yang berbahaya, beberapa blog bisa mengandung apa yang disebut konten tidak layak atau konten yang berbahaya dalam artian sebenarnya.

Menggali keuntungan tertentu, sengaja memanipulasi data untuk itu, bahkan hingga memojokkan atau menjatuhkan pihak-pihak tertentu yang dinilai dapat menghalangi apa yang menjadi tujuan si pemilik blog tidak dipungkiri dapat terjadi di dunia maya.

Mengapa bisa ada pelanggaran etika saat mengutip sebuah blog sebagai referensi?

Jangan lupakan bahwa ada yang namanya hak cipta pada blog, jika hendak mengutip sebagai referensi harus diperhatikan dulu apa lisensi yang menyertainya. Tidak semua menggunakan copyleft yang berarti silakan salin, sebar luaskan semaunya. Sebagian besar blog menggunakan lisensi non-komersial baik dalam hak cipta penuh maupun creative commons.

Atribusi non komersial digunakan di banyak situs seperti pada blog ini, atau situs wikipedia misalnya. Atribusi ini mensyaratkan bahwa penerima hak untuk menyebarluaskan konten blog – jika diizinkan demikian – tidak boleh dilandasi oleh tujuan komersial atau si penerima hak memperoleh kompensasi moneter terhadap penyebarluasan konten di bawah lisensi creative commons attribution – NonCommercial.

Menyalin tempel tanpa etika saja mungkin sudah tidak pas, apalagi hingga “melangkahi” lisensi yang sudah ditetapkan oleh si empunya blog. Jadi tidak jarang kadang kita menemukan sedikit clash antara narablog dan si pengutip yang memasukkan kutipan dari blognya tanpa izin ke media komersial tertentu (buku, majalah, dan sebagainya), meskipun kutipan itu telah memberikan rujukan.

Ada banyak pendapat dan perdebatan yang rumit seputar permasalahan ini. Dan saya rasa tidak seorang pun ingin terjerat dalam rantai permasalahan ini gara-gara mengutip sebuah blog dan menjadikannya referensi, namun lupa melihat atribusi lisensinya.

Simpulan

Ada banyak hal yang menjadikan blog “sulit” dijadikan sebagai sebuah referensi yang valid, apalagi dalam ranah ilmiah. Berbagai blog di internet memang memperkaya informasi kita, namun diperlukan penyaringan yang baik untuk masing-masing konten jika hendak dijadikan referensi dengan melihat berbagai kemungkinan yang menyebabkan konten blog gugur sebagai sumber referensi yang valid.

Pastikan apakah konten blog sebuah opini – sehingga nanti yang diambil adalah referensi opini, ataukah suatu topik ilmiah? Jika topik ilmiah, dapatkah sumber-sumbernya ditelusuri kembali (lacak balik)? Ataukah ataukah sumber-sumber ilmiah lain (buku ajar, kepustakaan, jurnal, dan sebagainya) yang memberikan bahasan serupa?

Hargai karya orang lain, walau tulisan sangat remeh pun di dalam sebuah blog, bukan berarti kita dapat mengutip dan menjadikan sumber referensi apalagi “lahan hidup” dengan seenaknya – bahkan ketika si pemilik blog tidak mengingatkan apa pun tentang izin mengutip. Anda mungkin punya pohon mangga di dekat pagar rumah Anda, manis mungkin tidak, lebat mungkin tidak, tapi Anda sendiri yang menanamnya – tidak lucu kan kalau ada orang tak dikenal lewat dan mengambil beberapa buat dijual di pasar – walau Anda mungkin tak berkeberatan jika diminta.

Jangan lupa membaca sanggahan blog – walau dalam wujud terselubung sekali pun. Jangan sampai Anda dengan semangat menyebarkan sebuah tulisan tentang penemuan bukti kuat bahwa dinosaurus masih eksis secara serius, tapi lupa membaca catatan kecil di pojok bawah blog yang bersangkutan “Jangan sebarkan karya saya, semua cuma lelucon konyol saya, tidak layak jadi bahan tontonan”.

Jadi bagaimana dengan Anda?

Dalam beberapa hal, blog tidak dilarang dijadikan rujukan. Ada kaidah sendiri dalam merujuk blog atau tulisan lain di media sosial.

33 tanggapan untuk “Validitas Sebuah Blog Sebagai Referensi”

  1. topik bahasannya tingkat tinggi
    tapi memang benar sih, kebanyakkan blog biasanya bersumber dari opini pribadi atau hanya berasal dari satu sumber saja itupun belum tentu benar
    oya mas, kalau boleh tahu kenapa blognya akan ditutup?

    Suka

    • idebagusku,

      Sebenarnya mungkin banyak yang sudah memikirkan ini namun belum menulisnya saja, setiap orang bisa menulis seperti ini (merujuk pada kisah Telur Colombus) 🙂
      Oh…, narablognya kan fakir, tidak sanggup mengeluarkan dana untuk blog ini. Tapi ga tahu, mungkin besok nodong THR dulu 🙂

      Suka

  2. saya gak boleh ambil sumber dari blog, harus dari buku, atau setidaknya dari jurnal. Karena saya backgrundnya kesehatan, jadi dari situs lembaga kesehatan :lol; artikelnya keren ini~

    Suka

  3. tema yang berat ini bli 😛

    saia ngaku juga deh, saia sering malah membuat blog sbagai bahan referensi, tapi untungnya dosen saia gag mempermasalahkannya 😛

    Suka

    • ian,

      Wah…, dosenmu baik banget (bukan dosen dari Rearth kan? :p) Ga apa-apa sih, kalau penelitian bagi pelajar kan fungsinya menguasai metode penelitian 🙂

      Suka

  4. Jadi kalau saya mau ambil referensi dari blognya mas Cahya boleh kaga 😀

    Ada yang bilang, sumber tercepat adalah blog. Saya rasa benar tapi gimana kalau kita menilik orang di dalamnya? Misal yang bikinnya adalah seorang peneliti dan dia menaruh penelitiannya dalam blog, bisa kah dijadiin referensi?

    Suka

    • Pak Huang,

      Hi hi, memangnya Pak Huang mau ngambil apa dari blog saya, coba deh salin-tempel kalau bisa 😀

      Memang saat ini diinternet sumber tercepat yang bisa dilacak adalah blog, bukan hanya karena SERP dan SEO blog sudah bagus, tapi juga banyak yang punya blog berlomba meningkatkan pagerank-nya di mesin telusur. Jadi kalau pas mencari, sudah umum blog yang paling sering muncul.
      Ada sih beberapa orang yang memublikasikan penelitian akademiknya melalui blog, tapi yang berarti kemudian kan bukan blog itu yang dirujuk jadi sumber referensi Pak Huang, mengapa kita tidak mencari langsung penelitian aslinya dari si empunya blog, kan lebih valid lagi?

      Suka

  5. betul juga..blog memang belum bisa dijadikan bahan referensi. blog hanya sebagai informasi awal saja..tetapi jika bahasannya menarik untuk dijadikan bahan referensi, sebaiknnya mencari sumber awalnya dulu..

    Suka

  6. Mungkin karena blog lebih bersifat personal, sulit diakui keabsahannya sebagai referensi yang akurat. Sedangkan situs tertentu dengan kajian ilmiahnya semisal hasil riset atau jurnal, seringkali dapat dijadikan sumber pustaka studi kasus penelitian.

    Suka

    • TuSuda,

      Hmm…, begitu ya, kadang unsur personal yang membumbui blog mungkin bisa menjadi bias bagi keilmiahan artikel yang ditulis.

      Suka

  7. Dengan semakin mudahnya membuat Blog, kini para Blogger hadir dari semua kalangan, pegawai kantor, PNS, petani bahkan sampai penjual sayur. Dari yang berpendidikan tinggi sampai yang rendahan. Kita sering lupa, tulisan di Blog sering dijadikan referensi oleh banyak orang. Buat Saya yang ilmunya pas-pasan lebih memilih menulis yang ringan2 saja.

    Suka

    • Nanang

      Saya juga senang ada sumber pengetahuan terbuka seperti blog di internet. Selama kita bisa menimang informasi yang diberikan, mungkin akan memberi manfaat yang baik.

      Suka

  8. kendati begitu pun masih banyak peselancar (pencari referensi) menjadikan tulisan-tulisan di blog sebagai acuan untuk sebuah karya ilmiah, namun jika di lihat dari segi kebenaran dari tulisannya, terkadang saya juga meragukan *JIKA TULISAN TERSEBUT TIDAK BISA DI BUKTIKAN* saya setuju jika para pencari bahan atau materi tulisan untuk sebuah referensi, ada baiknya tidak terpaku kepada satu / dua tulisan saja terlebih untuk mempercayai secara langsung 😀

    salam hangat

    Suka

  9. Beberapa artikel di blogspot saya (tentang entertainment) juga dijadikan bahan/sumber rujukan untuk menyusun skripsi oleh beberapa mahasiswa. Bahkan saya pernah dimintai untuk wawancara via email sebagai pendukung skripsinya tentang film. Wow, gimana ya menyikapinya.

    Tapi saya yakin, mereka tahu persis kalau mayoritas konten blog saya itu adalah OPINI. Mungkin mereka memang butuh rujukan berupa opini untuk memperkuat karya ilmiah mereka. Bisa jadi salah satu metode mereka yaitu menggunakan opini masyarakat terkait objek penelitian mereka.

    Namun secara ilmiah, tentu saja opini tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ia bukan fakta soalnya. Bukan pula hasil penelitian yang berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah. Opini narablog sebatas pengaya wacana.

    Suka

    • Mas Is,

      Ya, seperti yang disampaikan oleh teman-teman yang lain. Ada yang membolehkan, ada juga yang melarang. Kalau memang tentang opini dalam bidang budaya (termasuk perfilman, drama, novel, kesenian, dsb) saya rasa kebanyakan tolok ukur juga adalah opini kan? Ya, kalau untuk yang satu ini mungkin blog lumayan cocok Mas Is, apalagi bisa berkomunikasi langsung dengan pemiliknya.

      Tapi ya kembali, sampai di mana tingkat opini yang diperlukan. Apakah opini publik umum, opini penggemar, opini seorang pengamat, atau mungkin yang lebih susah lagi opini seorang kritikus?
      Kalau sudah sampai dalam ranah kritik sastra, kritik budaya, atau kritik film, maka mungkin susah ya mencari blog yang memuat sampai setajam itu, karena pendidikan untuk itu hanya diperoleh melalui pendidikan sarjana yang khusus dengan buku teks yang juga sangat tebal. He he, kembali lagi, blog itu sulit dijadikan referensi 🙂 *pusing*

      Suka

  10. Sebenarnya bisa sebuah Blog menjadi bahan refrensi… Asalkan juga kita mw bekerja keras…

    Kita mencari kbenaran blog tersebut dan Bahasa kita sempurnakan.. 🙂

    Suka

  11. Secara tegas..semua dosen prof lia tidak menerima blog bahkan wikipedia sebagai references….:( … jadi sblm mengajukan biasanya nanya dulu.. Prof klo info dr website ini bisa diambil nggak ? klo nggak ya berarti nggak…
    Ya untungnya dr kampus disediakan beberapa situs member untuk mengakses ribuan jurnal.. jd cukup membantu 🙂

    Namun menurut lia pribadi… blog atau situs2 pribadi lainnya bisa jadi bahan perbandingan untuk kita… dari info yang mereka tuliskan kita bisa mencoba mencari keabsahannya.. nahh sumbernya itu lah yg kita jadikan referensi 🙂

    Suka

  12. Ketika kuliah dulu saya juga sering browsing blog untuk tambahan wawasan, tapi gak pernah ta copas ke laporan. Ada syarat tertentu sebagai sebuah referensi, misalkan jurnal, buku, atau penulis artikel adalah orang yang berkompeten..

    Saya punya pengalaman malah ditanya-tanya seputar dunia logistik oleh rekan2 yang mampir, menyenangkan juga loh berdiskusi dengan rekan2 yang mampir, apalagi topik diskusi nya pas dengan kontennya…

    Suka

  13. blog tidak ada jaminan ilmiah namun sangat mudah untuk diakses oleh siapa saja, bahkan jika malu bertanya pada yang ahlinya maka internet bisa menjadi pilihan utama

    Suka

  14. Hanya blog bukan website kan Mas Cahya ?
    Semua juga sepakat tidak semua blog bisa dijadikan acuan. Saya sepaham, khususnya blog yang berkaitan dengan tinjauan ilmiah sekalipun yang menulisnya pakar, jika masih dalam bentuk asumsi dan pendapat tidak layak dijadikan acuan. Mungkin agak berbeda kasusnya dengan W3C. Sayang saya nggak tahu banyak (*?*)

    Suka

  15. ehm,, jadi lupa mau comment apa… pas nyampe sini. habisnya dari atas ke bawah panjang banged… hehe… sebentar… sambil QK baca ulang posting nya ya… 😀

    Ya… ya … betul.. sebuah blog memang nggak bisa dijadikan bahan referensi apalagi untuk menyusun sebuah karya ilmiah. Ah, QK mau cerita aja dech..
    Klo ditempat QK kuliah… dosen”nya pada nggak mau kalo referensinya dari blog.

    dan QK kira itu wajar… coba aja seandainya QK sedang membutuhkan sebuah data A. sudah QK cari dimana” data itu tapi susah banged dapatnya. Nah disini posisi QK, punya blog.

    Bisa bayangkan kan klo misalnya QK mau berbuat curang dengan membuat sendiri data yang QK butuhkan itu di blog na QK. terus QK kasih dech sebagai referensi… aneh kah??

    yach begitulah kira”… nggak nyambung ya maz? :mrgreen:

    HIDUP!!! ^_^

    Suka

    • kikakirana,

      Yah…, kalau blog tidak diizinkan dijadikan referensi, tapi bukan berarti tidak boleh kan dijadikan titik awal penelusuran ke sumber lainnya? 🙂

      Suka

  16. +1 aja bli cahya. hehe, blog emang sulit dijadikan referensi, karena walau kita bebas menulis, tetap terbatas dalam segi pembahasan,(kurang lengkap)

    Suka

    • hanifilham,

      Jika referensi mungkin susah, tapi kalau ide, seperti yang disampaikan Bli Dani, maka berawal dari blog turun ke buku teks 🙂

      Suka

  17. Blog ‘kan memang berasal dari berbagai sumber. 🙂
    Tapi bagiamana kalau suatu blog dikelola oleh ahlinya, atau blog dikelola oleh kelompok riset yang menjalankan suatu penelitian? Bisa dipercayakah?

    Suka

    • Asop,

      Trust in scientific world is something which so much complexity. Then we should asking first before who is(are) the researcher(s)? what is the research? how the research done? are the method valid? by what/whom we know that research valid? is the publication based on the research still has the same validity?

      Lha, pokoknya begitu dah, dan lain sebagainya, kadang bingung juga. Ya, kembalikan ke metode lama, sebaiknya kita konsultasikan dengan yang ahli di bidangnya, atau wawancara langsung dengan pengelola blog-nya 🙂

      Suka

  18. OpenMedicine berbentuk blog. Hasil penelitian dituangkan ke blog.
    Gunther Eysenbach juga banyak menulis di blog dengan memberi tautan penelitiannya.
    Kembali ke kualitas jurnal dan yang meninjau.

    Wikipedia dengan sumber-sumber yang valid (bukan sekadar menyebut tanpa mudah ditelusuri) kadang bisa diterima di kalangan ilmiah. Pak Budi Raharjo juga pernah mempertanyakan tentang ini di blognya.

    Topik lain yang belum mengemuka di media lain, tapi berawal di blog, mengapa tidak?

    Suka

    • Bli Dani,

      Dalam artian tersebut kan tidak semua blog bisa “pas” dijadikan referensi, ada yang memberikan sumber referensinya, ada juga yang tidak.

      Saya rasa saya dan Bli Dani memiliki kekhawatiran yang sama tentang sumber referensi (yang mudah ditelusur balik) dan pengutipan oleh pihak ketiga. Mungkin kita menulis sesuatu di blog yang bersifat ilmiah, menyertakan referensi, dan tentu dengan pembatasan (disclaimer). Tapi kebanyakan pelahap informasi, tidak akan melirik lagi sumber referensi apalagi pembatasan.

      Not all of us thinking scientifically, looking for a reference were pain in the head for most of people (this is why plagiarism so popular).

      Jika berbicara di ranah kalangan ilmiah, tentu saja masing-masing sudah memiliki bekal untuk membedah dan membedakan antara sumber yang valid dan mana yang meragukan. Tapi bagaimana dengan masyarakat umum (publik), semisal ada yang berbicara tentang teknologi keamanan IT di berita televisi, terus mengambil sumbernya dari blog (antah berantah), bagaimana saya tahu itu valid karena saya bukan orang dalam ranah ilmiah IT?

      Mungkin blog adalah media/sumber yang paling ringan untuk diproses sebagai sebuah presentasi langsung pada publik. Tapi saya sendiri masih ragu dalam tingkat kepercayaan dan validitas, blog (in general) masuk ke dalam level yang mana? Tapi karena banyaknya faktor sebagaimana yang saya tulis dalam konten di atas, saya rasa menyampaikan bahwa blog adalah sumber yang valid itu “susah” 🙂

      Suka

    • Bli Dani,

      Saya rasa bukan masalah apakah disebutkan “menurut media/sumber…” karena itu sudah jadi etika pengutipan yang umum, tapi seberapa validkah media atau sumber tersebut dijadikan sebagai “sumber” 🙂

      Suka

  19. Ada kejadian lucu yang pernah menimpa saya. Artikel saya pernah dijadikan referensi oleh mahasiswa dalam membuat laporan praktikum. Begitu sang dosen (yang kebetulan adalah teman saya sendiri) tahu bahwa yang dijadikan referensi itu blog saya, akhirnya dosen tsb membuat pengumuman melalui mailist. Di situlah keributan akhirnya terjadi.

    Ada baiknya para dosen juga turut mensosialisasikan atau menyeru agar tidak menjadikan blog sebagai bahan referensi yang berhubungan dengan akademis, karena citra publikasi yang di dalamnya mengacu pada sebuah blog itu dapat menurunkan validitasnya sendiri.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.