Sejak saya kecil saya sangat sering mendengar bahwa orang mestilah baik dalam berbagai hal. Intinya, orang selalu mengatakan pada anak-anak, “Nak…, jadilah manusia yang baik.” – mungkin lebih mengena jika meniru logat Mario Teguh saat mengucapkan kata-kata itu.
Apakah saya baik ketika masih kecil dulu? Wow…, mungkin tidak. Bahkan jika saya dan gembong saya ketika di desa dulu bercermin di comberan, kami lebih mirip Gerombolan Si Berat dalam majalah Donal Bebek daripada The Three Musketeers. Tapi tentu saja saat itu kami tidak mengakui kalau kami sebodoh mereka (Gerombolan Si Berat) yang nyaris selalu gagal mengosongkan brankas Paman Gober).
Apa yang dilakukan anak-anak nakal pada zaman itu, itulah yang kami kerjakan. Menghilang dari rumah dengan cepat, sepeda mini BMX™ butut-pun bisa dikayuh cepat memutari desa hingga ke desa-desa tetangga. Adalah wajar jika saat itu anak-anak nakal tidak pernah mengenal kata tidur siang, kecuali kalau lagi sakit, atau lagi malas karena habis kena marah.
Meretas belukar, melewati persawahan, sungai-sungai kecil tapi terjal, jembatan-jembatan dengan maksimal dua bilah bambu sebagai pijakan yang di bawahnya batu cadas, lumayan membuat gegar otak jika jatuh. Takut…? Mungkin, mau tidak mau saat pertama kali melewati tempat-tempat seperti itu kaki akan gemetar dengan sendirinya.
Kadang pulang dengan luka-luka, lecet-lecet, pakaian penuh lumpur atau bahkan kotoran sapi. Anak-anak nakal yang hidup di pinggiran desa, yang bahkan menemukan bahwa menangkap capung dengan getah pohon nangka-pun adalah hal yang menyenangkan – mengingatkan saya pada Spongebob yang menemukan kesenangan dengan menangkap ubur-ubur.
Membuat para orang tua khawatir, itulah "italian job-nya” pada anak-anak nakal. Mungkin hingga kini karakter anak desa yang semrawut masih melekat kental pada saya. Seperti yang dibilang dalam istilah wong ndeso™ yang sering bingung kalau masuk kota.
Tapi kadang saya bertanya, apakah saya begitu jahatnya? (Ya, kalau saya sendiri menjawabnya dengan cepat kemudian kabur).
Saya kadang berjalan bertemu dengan seseorang, mungkin pada awalnya saya tidak sadar sampai ada rasa dingin yang menyengat dengan tiba-tiba di sekitar leher – barulah saya menoleh. Dan ternyata, ada orang yang bisa menatap saya dengan begitu tidak sukanya.
Saya tidak kenal dia, tapi mengapa dia menatap saya kemudian membuang pandang seakan-akan saya adalah makhluk terjahat (plus mungkin menjijikkan) sejagat? Walau saya tidak menolak jika memang dituduh demikian. What I’ve done to you in past life? – Kadang rasanya ingin bertanya seperti itu jika tidak ada yang bisa saya ambil dari celah ingatan saya.
Well, mungkin saja kami pernah duduk berseberangan di gerbong yang sama saat kereta malam di suatu waktu, dan saya mendengkur sedemikian kerasnya sampai dia tidak bisa tidur sama sekali tanpa saya sadari. Yah, terserahlah, apa pun alasannya – saya ogah ambil pusing.
I am not a good one, and I shall not pretend to be a good one nor shall I defend myself to be recognised as a good one – since I know I am bad.
Tinggalkan Balasan