Saat melewati gang-gang kecil di sekitaran dusun dengan sepeda motor tua saya, kadang saya jumpai beberapa anak yang asyik dengan gulungan benang dan layang-layangnya. Beberapa sedang berusaha menerbangkan layang-layangnya, beberapa lagi tenggelam bersama angin menerbangkan benda kecil itu meliak-liuk di udara.
Saya suka bermain layang-layang saat kecil, namun kali ini ada yang berbeda. Mereka tidak bermain di lapangan luas, namun di gang-gang kecil yang walau tak sempit namun tak bisa membuat kaki kecil mereka berlari bebas sebebas di tanah lapang. Mereka tak menerbangkan layang-layang di langit bebas, namun masih harus beradu cerdik guna menghindari kabel-kabel listrik yang bergantungan.
Ketika saya kecil, ada musim-musim di mana langit desa-desa di Bali di hiasi berbagai layangan aneka rupa. Saat itu tidak banyak permainan berteknologi tinggi seperti sekarang, apakah itu PlayStation ™, XBOX ™ atau lain sebagainya, bahkan sebuah konsol video game di era itu lumayan mahal (meski saya tidak mengatakan bahwa saat ini bisa didapat dengan murah). Tidak juga ada banyak acara televisi yang menarik. Bahkan belum ada telepon seluler yang kini lebih banyak berada di genggaman orang-orang era sekarang, tidak juga ada situs jejaring sosial dan internet yang menarik minat kami di zaman itu.
Yang ada hanyalah langit biru yang luas, tanah yang cukup lapang seperti persawahan dan pantai, dan waktu yang berlimpah. Kami memiliki segala sesuatu yang disediakan alam kecuali teknologi tinggi.
Then, lets paint the sky with colors!
Balik ke tempo dulu, anak-anak berkreasi untuk mewarnai langit dalam berbagai warna yang indah. Mungkin zaman sekarang layang-layang bisa dibeli dengan murah, tapi bentuknya hanya itu-itu saja jika saya lihat di sekitar dusun saya.
Tidak ada yang berkreasi bentuk dan motif layangan yang baru. Tidak ada ada yang menghabiskan waktu bareng untuk mencari bambu, membuang rangka layang-layang hingga menciptkan motif untuk desain jadinya. Tidak ada lagi anak-anak yang ke toko untuk memilih benang/tali layangan yang cocok untuk layangan mereka. Atau berapa masih layangan yang dilengkapi alat sederhana seperti “guangan” untuk bernyanyi di atas langit sana.
Saya tidak pandai membuat layangan. Semisal ketika saya membuat layangan bermotif ikan, maka di saat layangan lain terbang dengan kepala ikan meluncur ke atas, maka layangan buatan saya justru meluncur dengan bagian ekor terlebih dahulu.
Walau saya tidak pandai membuat layangan, namun saya cukup sering memiliki layangan yang bagus. Bagaimana bisa? Tentu saja di masa kini mungkin agak sedikit mustahil, namun di masa dulu di mana langit adalah taman layang-layang, maka hal ini tidaklah mustahil. Jika setiap hari langit penuh akan layang-layang yang indah, maka di situ ada kemungkinan salah satu atau dua dari layang-layang tersebut akan putus, jadi tidak aneh, jika seorang anak iseng berjalan-jalan di pematang sawah, dia bisa menemukan sebuah layang-layang terdampar di tengah sawah, tersangkut di pucuk pepohonan atau lain sebagainya setelah terbawa angin entah dari mana.
Atau di saat yang tepat, anak-anak yang bermain di tanah lapang bisa melihat sebuah layang-layang yang putus – ah tentu saja kita bisa dengan cepat yang mana layang-layang yang putus dan mana yang diulur benangnya jika sudah terbiasa. Maka tanpa perlu dikomando lagi, semua akan ambil ancang-ancang langkah seribu untuk mengejar layang-layang putus itu. Dalam sekejap kerumulan yang tadi – misalnya – asyik bermain bola akan tampak berlari-lari kencang dengan kepala-kepala yang sesekali mendongak ke langit biru. Rasanya ada sejumlah energi yang terkumpul entah dari mana, bahkan kita dapat berlari lebih kencang daripada saat jam olah raga di sekolah, tidak peduli dengan rintangan, jangankan hanya pematang sawah atau parit-paritnya, bahkan sungai curam berbatu, padang ilalang, kandang sapi, semak berduri, tidak akan ada yang bisa menahan laju lari anak-anak yang mengejar layang-layang.
Seakan-akan kami saling berlomba untuk sampai di mana pun angin akan berhenti membawa layang-layang itu, namun di sisi lain saling bantu satu sama lain, semisal ketika harus melewati tanah yang cukup tinggi untuk dipanjat seorang diri. Semua itu begitu menyenangkan bagi anak-anak, tidak tahu mengapa, atau mungkin lebih tapatnya kami tidak terlalu mempermasalahkan alasan. Karena siapa pun yang tiba lebih dulu untuk mendapatkan si layang-layang belum tentu menjadi pemiliknya, karena biasanya layang-layang yang dikejar bersama akan diberikan pada yang sedang tidak punya layang-layang atau paling sedikit punya layang-layang. Pun jika layang-layang itu cukup besar untuk dipelihara satu anak (karena layang-layang berukuran jumbo juga memerlukan biaya pemeliharaan) maka, layang-layang itu akan jadi milik bersama. Ah…, rasanya hal-hal seperti kepemilikan tidak terlalu diperhitungkan, karena esok hari kami akan berkumpul lagi di tempat yang sama untuk menaikkan semua layang-layang bersama-sama.
Mungkin layang-layang kami akan putus, dan di kejauhan sana, akan ada kelompok anak-anak yang sama persis yang akan mengejar layang-layang kami yang putus. Walau kadang sedikit kecewa, tapi tidak rasa penyesalan yang mendalam atau berlarut-larut. Kami hanyalah bagian dari jaring-jaring kecil yang menghiasi langit, dan segala sesuatu yang terik dan berangin di atas sana adalah penghubung kami anak-anak di seluruh pulau, kisah-kisah kami terajut dan terangkai oleh langit dan layang-layang. Biarlah kisah itu terbang tanpa nama ke berbagai penjuru, dan demikianlah kami berbagi hal-hal yang tak pernah terukir dalam sejarah.
Hari ini saya berada kembali di negeri layang-layang masa lalu, namun dengan sedikit kekecewaan. Seharusnya ini adalah musim yang cerah, 15 atau 20 tahun yang lalu biasanya langit biru cerah dengan puluhan layang-layang menghiasi, tapi kali ini hanya ada mega-mega tebal dengan peluang hujan yang sangat besar. Sepertinya perubahan iklim banyak mengubah wajah langit negeri ini. Hmm…, mungkin selanjutnya saya akan mengunjungi negeri gajah saja ya…
Tinggalkan Balasan