Percakapan Si Bodoh (Bag. III)

Saat itu pertengahan musim gugur, sore dengan suhu udara dan kelembaban yang seakan bersaing menuju tangga terbawah, matahari tampak meninggalkan singgasana keemasannya nan jauh di Barat Daya. Daun maple pun sudah tidak lagi menyisakan kecerahan di awal musim.

Dua orang pemuda sedang berjalan menyusuri trotoar kecil di kota kecil mereka. Pemuda pertama berbadan lebih tinggi dan tegap, mengenakan jaket dan kelengkapan olahraga sambil menuntun sepeda sport-nya, sementara punggungnya menyandang tas ransel yang tampak cukup berat, dengan sepasang dumbell masing-masing setidaknya 3 atau 4 kilogram terikat menggantung rapi satu sama lainnya.

Pemuda satunya lagi berpakaian kemeja yang agak lusuh dengan warna cokelat keabu-abuan, seandainya matahari terbenam, mungkin saja ia langsung tidak tampak dalam temaramnya suasana senja. Tangan kirinya menenteng dua buku besar yang jauh lebih lusuh dan tua dibandingkan kemejanya, sebuah helaian kertas menjuntai disambut angin, sekilas tampak stempel perpustakaan setempat, namun ia tidak tampak kesulitan memegang dua buku yang cukup besar bagi tangannya yang mungil. Sementara tangan kanannya memegang lembaran kertas yang asyik ditatapnya melalui kacamata berbingkai persegi panjang yang agak melorot hingga ke separuh lapang pandangnya, tampaknya itu adalah manuskrip dialog untuk sebuah acara, karena sesekali ia terlihat bergumam sendiri namun menatap tajam seolah ada lawan bicara di hadapannya, pun sesekali memperhatikan lembaran kertas di tangannya.

Jadi kapan pementasan akan berlangsung?” Tanya pemuda pertama pada orang yang berjalan di sampingnya.

Pemuda kedua berhenti sejenak, “Direktur – merujuk pada sutradara, ed. – lusa berkata pada kami, kemungkinan dua minggu lagi” lalu ia kembali berjalan… “mungkin sekitar akhir minggu di saat semua pemeran mendapatkan waktu luang untuk tampil. Dan karena ini bukan bertunjukan besar jadinya tidak perlu mengorbankan waktu aktivitas yang lainnya.”

Kurasa kamu terlalu fokus dengan semua itu, setidaknya bersosialisasilah sedikit.”

Maksudnya…?”

Kamu baru datang ke sini seminggu yang lalu – dalam sebuah pertukaran pelajaran yang sangat aneh – hanya untuk mengikuti kelas teater. Tapi bukan berarti teman-teman di kelas belajar sendiri mesti tidak diacuhkan bukan, walau kami semua tahu kamu sibuk dengan teater itu.”

Tapi aku tidak tak mengacuhkanmu…”

Arghhh…” Si pemuda yang pertama tampak kesal dan mengacak-acak rambutnya sendiri. “Itulah mengapa orang bilang kamu tidak sensitif terhadap lingkungan sekitar.”

Benarkah…?” Si pemuda kedua memandang ke depan sembari sekali lagi membenahi posisi kacamatanya yang melorot.

Mendengar pertanyaan sederhana itu, helaan napas panjang pun rasanya tanda menyerah bagi si pemuda pertama. Mungkin hanya dia yang terlalu mengkhawatirkan suasananya, tapi jika dipikirkan kembali, dia rasa tidak ada yang perlu untuk terlalu dicemaskan.

Daun-daun kering yang berguguran kadang terangkat sekejap oleh angin, kemudian terhempas kembali ke jalanan. Kelembaban udara yang rendah bisa membuat orang baru di sini merasa cepat haus, sehingga cenderung minum lebih banyak sebagai langkah awal dalam beradaptasi.

Tiba di sebuah persimpangan jalan, si pemuda pertama berkata dengan heran. “Lho, kamu tidak ke kafe itu lagi. Biasanya kamu setiap sore selalu ke sana untuk menghabiskan waktu membaca semua naskah itu?” Sambil telunjuknya

Ah ya, kemarin ada tetangga baru di apartemenku. Malam ini aku diminta membantu menyiapkan makan malam, jadi aku ingin kembali lebih awal, siapa tahu ada bahan-bahan yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu.”

Si pemuda pertama dengan setengah kaget dan tidak percaya kalau orang yang tampak seperti kutu teater di depannya bisa memasak. Tapi ia merasa bahwa ia hampir terbiasa dengan setiap kejutan yang dibawa teman barunya itu. Lalu ia bertanya sekali lagi sambil mengalihkan pandangan ke kafe di mana temannya biasa duduk setiap senja.

Auttumn Cafe
Aku teringat saat engkau duduk di sana…

Mereka berkata bahwa musim gugur adalah musim yang romantis, karena ketika seseorang dapat menemukan bunga yang masih bertahan mekar setelah musim semi dan panas berlalu. Maka itu tanda ada keindahan yang mampu menahan hati seseorang untuk tetap berada di sana.

Si pemuda satu terperanjat, sambil berbisik tanpa melirik pun pada temannya. “Apa kamu harus pulang lebih awal, tidakkah dapat ditunda selama lima belas atau tiga puluh menit?”

Temannya itu pun menghentikan langkahnya yang sudah beberapa meter menjauh. Dia menurunkan naskahnya dari pandangannya, dan balik menatap sahabatnya yang kini sudah melihat ke arahnya, ia tersenyum pelan dan berkata, “bisa saja, apa ada yang darurat?”

Pemuda pertama itu menunjukkan pelan ke arah kafe yang mereka bicarakan. “Kamu lihat gadis cantik yang duduk di sana, yang sedang minum teh dan membaca buku setebal yang kamu bawa?”

Yang mengenakan syal abu-abu?”

Ya…, ya…” Pemuda pertama itu mengangguk sembari tak melepas pandangannya, “Dia sangat menawan bukan?”

Pemuda kedua kembali mengepaskan kacamatanya, di kejauhan ia bisa melihat seorang gadis dengan rambut keemasan, selain mengenakan jas semi formal lengan panjang dengan syal abu-abu, maka lain-lainnya tidak begitu jelas. Namun rasanya pandangan itu menimbulkan de’ javu dan membuatnya tersenyum geli.

Nah, aku tidak pernah melihatmu mendekati satu gadis pun di kelas. Itulah salah satu alasan kukatakan kamu kurang bersosialisasi. Ayo temani aku berkenalan dengan gadis itu, biar master – merujuk pada dirinya sendiri, ed. – yang memperlihatkan caranya.”

Ee…, bukannya aku protes, tapi kudengar kamu saja diputuskan?”

Hah…” Pemuda pertama itu kaget bukan main, “Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal itu?”

Aku kan sudah bilang, aku bukannya tidak acuh.” Sambil tersungging senyuman tipis di bibirnya.

Si pemuda pertama hanya bisa geleng-geleng saja, kali ini ia dibuat terkejut lagi. Siapa sangka orang yang tampak tak acuh di sebelahnya ini ternyata bisa mendapat informasi yang bahkan orang para pelakunya sendiri berusaha ditutup rapat. Mungkin setengah menggerutu, ia jadinya tidak bisa berkata apapun.

Ya, sudah. Apapun itu, ayo kita ke kafe itu.”

Wow, aku tidak tahu kamu tipe orang yang cepat bersemangat kembali. Tapi kurasa jika kamu bersungguh-sungguh, kamu tidak boleh lengah.”

Hah…, mengapa?”

Entahlah, namun kurasa gadis itu sedikit berbahaya.”

“Mana mungkin gadis semanis itu berbahaya.” Ia memandang kembali ke arah gadis itu dari kejauhan, dan tampak gadis itu tersenyum ke arah mereka. “Tidak mungkin berbahaya, ayo ke sana, dan kamu ambil tempat duduk di meja yang hanya ada satu kursi itu, sementara biar aku yang duduk di hadapannya. Dan belajar sedikit dari master – kembali merujuk pada dirinya sendiri, ed.”

Mempercepat cerita ini, si pemuda pertama setelah memperkenalkan diri dengan sopan, ia pun kini telah duduk berhadapan dengan gadis cantik itu. Sementara ia memesan segelas minuman dingin yang namanya terdengar aneh, temannya lagi satu duduk di meja di belakangnya, memesan paket green tea & light cakes, sambil tetap asyik melanjutkan membaca naskah lembarannya.

Pemuda pertama tampaknya asyik memulai perbincangan dengan gadis itu. Dalam sekejap mereka sudah tampak akrab, dan saling mengenal latar belakang satu sama lainnya.

Jadi apa yang membuatmu datang ke kota kecil kami, Nona?” tanyanya dengan sopan.

Seperti yang kukatakan sebelumnya, hanya membantu seseorang dalam kajian budaya lokal di daerah ini.” jawabnya tersenyum, sambil menuangkan kembali teh hangat ke dalam cangkirnya yang sudah kosong.

Hmm…, kamu tampaknya sangat menarik. Penduduk setempat pun jarang ada yang tertarik dengan budaya lokal.”

Dan inti pernyataan itu adalah…?”

Ah…, bukan apa-apa, mohon jangan salah paham, itu hanya pujian biasa.” Jawabnya agak tergagap oleh pandangan tajam di hadapannya.

Terima kasih atas pujiannya.”

Jadi siapa orang ini yang membuatmu datang jauh kemari membantunya dan meninggalkan semua pekerjaanmu?”

Suasana hening sejenak, sementara seorang pelayan membawa menu tambahan untuk mereka berdua. Matahari sebentar lagi akan terbenam di Selatan, dan lampu-lampu jalan yang berada di atas tiang terhias ukiran logam indah nan antik mulai dinyalakan.

Pertama-tama, kurasa aku tak begitu meninggalkan pekerjaanku, aku bisa bekerja dari mana saja – selama ada informasi, hal itu tidak akan sulit bukan.” Dia mengambil sepotong kue kecil dan menghabiskannya dengan seteguk teh hangat, “Lagi pula yang tidak dapat kutinggalkan adalah orang ini, dia sedikit ceroboh, apalagi dia adalah tunanganku – jadi kurasa aku harus menjaganya dari keteledorannya yang bisa dengan mudah ia buat.”

Pemuda itu cukup terkaget, walau ia bisa tampak tenang, dan melanjutkan percakapan mereka dengan biasa, “Hal seperti itu bukan tak pernah kudengar , tapi kurasa dia adalah pria yang sangat beruntung hingga tunangannya datang kemari untuk membantunya.” Sambil mengangguk pelan, tanda ia mencoba mencermati situasi.

Si gadis itu kembali tersenyum geli dan sedikit tertawa sebelum kembali berucap, “Ah, saya rasa dia tidak akan menganggapnya beruntung. Dia menganggap saya hanya sahabat baik – saya rasa, dia tidak pernah berkata setuju untuk pertunangan kami, walau juga dia tidak pernah berkata sesuatu yang menolaknya.” Ia kembali tersenyum sambil menatap ke langit senja, “Saya rasa karena ia tampak plin-plan seperti itulah saya mesti datang kemari untuk menjaganya.”

Tunggu dulu...” tiba-tiba si pemuda menyela pembicaraan gadis itu, “kamu datang kemari untuk mencoba menangkap dan mendapatkan hatinya? – maaf kurasa itu yang sekilas kutangkap dari kata-katamu.”

Hmm…, seandainya sesederhana itu. Dia mungkin selalu “clueless” terhadap perasaan khusus seseorang – walau bukan berarti dia tidak tahu, tapi dia selalu ada untuk membantu yang memerlukan bantuannya. Hatinya seperti lautan yang maha luas, keinginanku untuk menangkap hatinya akan menjadi seperti sentuhan angin kecil yang berusaha mengangkat seisi lautan menjadi dalam balutannya – dan itu adalah hal yang sia-sia.”

Pemuda di hadapannya menggeleng-gelengkan kepalanya, “Maaf, bahasa itu terlalu dalam untukku. Walau kurasa aku bisa mengerti.”

Si gadis menuangkan kembali teh ke dalam cangkirnya yang telah kosong, “Katakan saja dia orang yang tampak bodoh yang tidak sensitif terhadap perasaan orang lain, seharusnya itu lebih tepat dan lebih sederhana.”

Gurauan dan percakapan yang hangat-pun terus berlanjut hingga sekitar sepuluh atau lima belas menit kemudian. Suasana petang sudah mulai terasa, dan suara-suara aktivitas malam pun mulai menggantikan kesibukan di siang hari ini.

Kurasa sekarang sudah cukup gelap.” Kata si pemuda sambil mengacungkan tangannya, memberi tanda seorang pelayan untuk membawakan tagihannya. “Terima kasih atas waktunya sore ini, tapi saya harap saya tidak mengurangi kesopanan dengan pamit lebih awal.”

Kamu sangat sopan ya. Kebetulan aku juga ada janji sebentar lagi.”

Dengan tunanganmu. Wah, kuharap berjalan baik?”

Iya… kami ingin mencari bahan untuk dimasak sebagai makan malam nanti, terima kasih.”

Dan untuk kali ini biar aku saja yang mentraktir ya…” Sambil pemuda itu melihat bon yang diserahkan pelayan.

Mengapa?”

Nona adalah tamu di sini – di kota kecil kami – jadi sebagai tuan rumah, biarlah saya kali ini yang menjamu.”

Hmm…, jika begitu, tidak usah dibayarkan.”

Hah…, mengapa?”

Ya, karena kamu adalah tamuku. Apa aku belum bilang kalau kafe kecil ini adalah salah satu usaha milikku?”

Ah…” Si pemuda tampak menjadi canggung, “Maaf, aku tidak tahu, tapi…

Sudah, tidak apa-apa, anggap saja ini aku sedang menerima tamu yang menyenangkan dan telah menemaniku sore ini. Jadi tidak masalah kan, lagi pula tidak sopan lho menolak sajian tuan rumah.”

Baiklah jika begitu, terima kasih banyak. Tapi aku tetap ingin membayar untuk temanku, itu…” dia menunjuk pada pemuda kedua yang dari tadi terdiam seolah tenggelam dalam naskah-naskah yang dibacanya, “aku tadi menyeretnya kemari, jadi biar tagihannya aku yang bayar. Kamu tahu, dia biasanya selalu ada di sini setiap sore, kurasa kamu mendapatkan satu pelanggan setia.”

Mungkin bukan pelanggan setia sih, karena temanmu itu setiap kemari juga tidak pernah mengeluarkan sepeser uang pun.”

Apa…?” Si pemuda terkejut. Dia menepuk pundak temannya, dan bertanya, “Apa kamu duduk setiap sore di sini karena semuanya gratis.”

Hmm…, kurang lebihnya begitu.” Jawab pemuda kedua dengan senyum yang tenang.

Jangan-jangan kamu sudah kenal dengan Nona pemilik kafe ini?”

Hmm…, kurang lebihnya juga begitu.”

Hah…, ya sudahlah kalau begitu.” Si pemuda pertama, mengemasi barang-barangnya, “mau pulang bareng?” tanyanya pada sahabatnya.

Tidak, terima kasih. Karena aku sudah terlanjur duduk di sini, aku ingin berada beberapa lama lagi di sini. Tanggung, beberapa dialog lagi ingin kuselesaikan dulu.” Sambil menunjuk pada tulisan-tulisan di atas naskah yang ia bawa.

Nona terima kasih atas traktirannya ya..” Si pemuda memberi jabat tangan hangat pada gadis yang baru ia kenal, “Tolong titip sahabat saya ini di sini, tapi saya sarankan jangan terus membiarkannya duduk gratis – walau kutahu kamu orang yang baik.”

Gadis itu tersenyum pelan, “Sama-sama, sahabatmu ini akan kujaga dengan baik, jadi jangan khawatir.”

Selamat petang semuanya.” Si pemuda pertama pun melangkah pergi.

Suasana senja mengubah pemandangan kota kecil itu menjadi sebentuk keindahan yang memiliki keunikan tersendiri. Lampu-lampu kafe di tempat mereka berada kini sudah dinyalakan dan tampak sederhana dalam balutan aneka warna. Seorang pelayan sibuk menulis menu baru di papan tulis di hadapan kafe, karena menu yang berbeda ditawarkan untuk siang dan malam harinya.

Gadis yang tadi berdiri sejenak, kini mengangkat dan memindahkan sebuah kursi ke dekat meja si pemuda kedua yang masih asyik membaca naskahnya.

Jadi apa yang diperlukan untuk menu makan malam?” Tanya gadis itu pada pemuda pertama.

Pemuda itu melepaskan kacamatanya, dan memandang lembut pada gadis yang duduk di hadapannya. “Bagaimana jika untuk pembukanya adalah ‘baguette’ plus keju yang khas, untuk ‘appetizzer’-nya kurasa lebih nikmat dengan ‘escargot’. Dan menu utamanya adalah ‘filet mignon’, tapi aku akan memerlukan pemanggang yang bisa memanaskan ‘beef terdeloins’ hingga 400 derajat. Dan pasangan untuk menu utama, aku ingin sentuhan sayuran, bagaimana jika ‘rosemary roasted red potatoes’ dengan sayuran ‘julienne’ dicampur?”

Boleh juga, jangan lupa saos ‘bernaise’ untuk ‘filet mignon’ – tapi apa kamu bisa membuatnya?”

Hmm…, entahlah, kupikir kamu akan membantuku. Yang jelas aku tidak pandai membuat hidangan penutup, padahal aku ingin mencoba ‘creme brulee’ yang enak itu.”

Ya, ya aku akan membantumu.” Si gadis memandang wajah yang seakan sudah dikenalnya sejak lama.

Benarkah kali ini kamu akan membantuku?”

Tentu saja, bukankah aku yang minta dibuatkan makan malam. Aku akan membantumu dengan mengiringi acara memasakmu dengan lagu-lagu kesukaanmu.”

Pemuda itu menutup semua catatan dan naskahnya, serta memasukkannya ke dalam tas yang ia bawa. “Sudah kuduga kamu akan berkata demikian – tetangga baru yang merepotkan.”

Apanya yang merepotkan?” Si gadis menjewer telinga si pemuda itu hingga kemerahan, “Siapa yang meneleponku dan berkata ia perlu bantuan untuk pemeran tokoh wanita utama di acara teaternya nanti, dan membuatku menyeberangi separuh planet untuk sampai di sini?”

Ya… ya…, maafkan aku.” Si pemuda mengusap-usap telinganya yang masih terasa sakit. “Ayo kita mencari bahannya sebelum toko pada tutup.”

Ah…, iya.” Si gadis berjalan di sampingnya, “Hmm…, ternyata kamu suka menghabiskan waktu sore di kafe itu ya? Kurasa aku tahu alasannya.”

Benarkah?”

Ya, tempat itu mengingatkanmu saat seseorang pertama kali mengungkapkan perasaannya padamu kan?”

Mungkin, dan mungkin karena itu juga tadi aku rasanya melihat de’ javu – sudah lama juga ya.” Si pemuda bergumam sambil menutup matanya.

Jadi karena itu kamu membiarkan temanmu itu ngobrol denganku, tanpa menjelaskan apa-apa terlebih dahulu.”

Ya mungkin juga, rasanya sedikit terkenang saat-saat itu. Tapi kurasa aku hanya mengambil apa yang sudah disediakan. Kudengar manajer kafe itu mengubah penampilan kafe baru-baru ini, karena ada instruksi demikian dari pemilik pusatnya.” Si pemuda tersenyum penuh canda pada gadis di sampingnya, “Apa kamu sudah merencanakan ini sebelumnya?”

Dan dengan penuh tawa ceria mereka pun berjalan meninggalkan kafe itu berkelip dalam cahaya malam.

Prolog

Tiga hari sebelumnya di sebuah rumah mewah di NSW, ponsel pintar berdering dengan nada musik yang indah. Gadis pemiliknya pun mengangkat panggilan itu.

Ada ada Div?” tanyanya pada si penelepon.

Ah, tidak. Aku hanya perlu bantuanmu. Dua atau tiga minggu lagi aku ada pementasan teater.”

Ya, kamu sudah mengatakan itu seminggu yang lalu saat berangkat ke sana. Apa yang dapat kubantu?”

Aku perlu pemeran wanita utama.”

Kamu mau aku jadi pemeran wanita utama?”

Ya, karena aku tidak bisa berpasangan dengan orang lain.”

Gadis itu tersenyum hingga ke dalam hatinya, “Ya baiklah, kali ini aku akan bermurah hati padamu.” Ia berkata dengan nada cuek yang dibuat-buat, “Aku akan datang ke sana, tapi kamu harus menanggung semua akomodasinya, dan jangan lupa buatkan aku makan malam setiap malamnya, itu syaratnya!”

Epilog

Dalam ruang makan sebuah apartemen tua, tercium aroma keju dan terdeloin panggang yang sedap. Beberapa orang berkumpul di sana, karena ini juga adalah acara penyambutan seseorang yang baru saja menjadi warga di sana, walau mungkin nanti hanya sementara.

Sementara lagu yang khas yang dijanjikan tengah mengiringi seseorang yang asyik menyiapkan ‘creme brulee‘. Dan walau di sana cukup ramai, namun ruang yang mengisi di antara mereka berdua sama sekali tidak terganggu.

Hmm, desert itu tampak sedap.”

Tentu saja…, hmm…, boleh aku minta satu lagu?” Tanya pemuda itu.

Katakanlah.”

Yang mana saja dari New Harvest – First Gathering

Ya, tentu saja, untukmu, apa pun juga bisa.” Gadis itu tersenyum sambil mulai memetik gitarnya dengan irama yang hangat.

Sometimes I try to count the ways and reasons that I love you But I can’t ever seem to count that far I love you in a million ways and for a million reasons More than this I love you as you are More than this I love you as you are

You are my inspiration, you are the song I sing You are what makes me happy, you are my everything You are my daily sunshine, you are my ev’ning star Ev’rything I’ll ever need or want, that’s what you are Ev’rything I’ll ever need or want is what you are

You are my thoughts when I’m awake, my dreams when I’m asleep You are the reason for my smile, you are the words I speak Every role I play in life you play the leading part Ev’rything I’d ever hope to find is what you are Ev’rything I’d ever hope to find is what you are

You are my inspiration, you are the song I sing You are what makes me happy, you are my everything You are my daily sunshine, you are my ev’ning star Ev’rything I’ll ever need or want, that’s what you are Ev’rything I’ll ever need or want is what you are

You are… You are

  Copyright secured by Digiprove © 2010 Cahya Legawa

17 tanggapan untuk “Percakapan Si Bodoh (Bag. III)”

  1. @Gus Ikhwan, semoga saja saya bisa melanjutkannya, belakangan ini banyak sekali alasan untuk tidak menulis 🙂

    @TuSuda, terima kasih Dok atas apresiasinya 🙂

    Suka

  2. Orange Float,

    Agaknya susah membuat karakter yang berada antara sisi melankolis dan plegmatis ya 🙂

    Karena cerita ini dibuat dari dasar fleksibilitas (artinya gender-nya bisa ditukar jika diperlukan dalam penaskahan lebih lanjut), jadinya malah jadi tambah rancu.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.