Kasta Dulu dan Kini di Bali

Kasta merupakan sesuatu yang tampak sebagai bagian yang identik dengan tradisi atau kultur budaya masyarakat Bali, dan bahkan tampak dekat dengan ajaran Hindu. Sehingga begitu identiknya sering disebut Hindu mengenal sistem kasta sebagai bagian dari ajarannya.

Saat berkunjung ke tempat adik sepupu saya, kami menggunakan hal-hal seperti ini sebagai lelucon. Dalam garis silsilah, adik sepupu saya memiliki garis silsilah dari Sri Aji Kresna Kepakisan, yang merupakan raja Bali yang memerintah di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit (1293 – 1527).

Sedangkan silsilah saya berada dalam garis Karang Buncing, sebuah kepatihan yang mengabdi pada Raja Bedahulu (Kerajaan Bedulu) dari Dinasti Warmadewa, raja Bali sebelum penaklukan Majapahit atas tanah Bali. Yang konon, hingga Mahapatih Gajah Mada saja tidak mampu menaklukan kepatihan ini tanpa bersiasat. Jika membaca Babad Sukahet atau Kekawin Gajah Mada, kisah ini ada di dalamnya.

Sepupu saya bilang, saya raja kamu patihnya, jadi saya lebih berkuasa. Saya akan bilang, walau patih tapi kan rajanya ndak kamu. Sebenarnya mungkin maksudnya hanya minta porsi pizza yang lebih banyak dan dapat transfer pulsa gratis. Yah, kami pun berbincang sambil tertawa cekakak cekikik.

Mendengar kisah kerajaan dan golongan-golongan di dalamnya, seperti mendengar dongeng nusantara lama. Dalam tatanan kerajaan Hindu di nusantara lama, selalu ada golongan para bangsawan atau ningrat, rakyat jelata, kaum pedagang, dan kaum pendeta atau brahmana. Sepertinya masyarakat terkotak-kotak dalam kelompok tertentu.

Sehingga ada kesan bahwa sebuah wilayah yang bernapaskan Hindu selalu menghadirkan kasta. Termasuk kini di Bali yang cukup kental terkesan adanya kelompok masyarakat dalam kasta. Namun apakah kasta itu sesungguhnya ada? Tentu saja kasta dalam pengertian bahwa kelompok masyarakat didasarkan pada garis keturunan.

Saya bukan ahli sejarah, namun saya melihat dalam beberapa tulisan ada kebebasan orang untuk pindah dari golongan brahmana ke golongan ksatria, atau pun sebaliknya sejak zaman kerajaan dulu. Sri Aji Kresna Kepakisan sendiri jika tidak salah berasal dari keluarga brahmana yang kemudian menjadi ksatria.

Dan setahu saya dalam sistem Hindu pun tidak ada istilah kasta, tidak ada sistem kasta. Ya, jika ada kelompok seperti brahmana, ksatria, waisya dan sudra, itu hanyalah pembagian profesi dalam tingkatan yang setara. Di setiap masyarakat pun akan ada yang menjadi penasihat, pemerintah, penggerak masyarakat dan masyarakat luas itu sendiri. Apa kemudian yang menjadi bupati lebih mulia dibandingkan yang menjadi tukang sapu di jalanan? Ya, kalau ada yang berpikir seperti itu, mungkin dia sendiri yang mengkastakan orang-orang di sekitarnya.

Dosen saya pernah berkata, walau suatu kamu jadi dokter, berjas putih tampak rapi dan bersih, tapi yang berperanan paling penting dalam rumah sakit tetap adalah orang yang sehari-hari terlihat kumal dan mengepel lantai setiap ruangan dengan sabar dan telaten. Bagi saya itu benar, karena tanpa ruangan yang bersih dan rapi, maka apa yang dilakukan petugas kesehatan untuk para pasiennya bisa jadi sia-sia. Penyapu dan pengepel lantai itu tidak bekerja untuk dilihat kehebatnya, jika seorang dokter ingin belajar menjadi lebih baik, maka ia mesti belajar juga dari yang membersihkan ruangannya setiap hari.

Di antara manusia, tidak ada perbedaan mendasar yang membuatnya menjadi lebih mulia dibandingkan manusia lainnya.

Kasta bisa berasal dari bahasa Latin, castus yang bermakna sesuatu yang murni atau tidak tercermar. Bagi penggemar novel & film Harry Potter tentu mengenal istilah pure blood, yang membedakan para penyihir yang ada dalam garis keturunan murni dalam keluarga para penyihir sejak zaman dulu. Ya, kurang lebih makna kasta seperti itu.

Konon, kasta mulai kental di Bali pada zaman penjajahan Belanda, karena dengan membuat sistem kasta kental, maka penjajah dapat membuat jarak pemisah antara raja dan rakyatnya, sehingga mudah diadu domba dalam politik devide et impera pihak kolonial. Dan sepertinya itu berhasil pada beberapa bagian.

Saya rasa masyarakat Bali setidaknya mesti bercermin pada sejarah. Ini seperti tefleksi kembali. Walau kasta tidak ada dalam sistem Hindu, namun apa yang ditinggalkan setidaknya membawa pengaruh dalam tradisi. Dan walau tidak sekental dulu, mungkin masih ada beberapa wilayah atau kelompok yang memang mempertahankan kasta di Bali. Jika tidak masyarakat Bali akan sangat mudah dipecah belah lagi – jika ada yang berniat demikian. Dan saya rasa masyarakat manapun yang masih mengotak-ngotakkan manusia dalam galur kemurnian seperti sistem kasta, pasti akan sangat labil akan perpecahan.

Oh ya, besok Bhyllabus taking a day off, karena bersamaan dengan Hari Saraswati.

20 tanggapan untuk “Kasta Dulu dan Kini di Bali”

  1. yah biarpun zaman modern tapi yg sedihnya di bali masih aja embel2 kasta dipakai untuk kepentingan suatu kelompok/pribadi contohnya di politik orang yg berasal dari kasta tertentu lebih dimudahkan jalannya untuk menjadi kepala daerah .,ini zaman modern yg menentukan status orang itu adalah sikap perilaku serta prestasi yg sudah ditorehkan suatu individu bukan KASTA !.. kita sebagai orang Bali sudah seharusnya lebih memikirkan kepentingan Bali secara bersama tanpa ada perbedaan..sekali lagi STOP FEODALISME KASTA

    Suka

  2. inilah pro dan kontra ttg kasta,
    dmn yg tidak setuju kbnyakan dari kaum sudra.
    hidup kemunafikan !!!

    Suka

  3. Mang lo 2 pd taw apa isi dr pikiran leluhur lo dulu…semua dah di perhitungkan sesuai dngn jamannya…so kt sebagai generasinya hrs menghormati apa yg leluhur kt kasi…nahh…klw kebudayaan kt hilang…lo maw jd apa…gk akn ada orng yg noleh lo…skalian aja lo semua hidup di hutan..sorry…

    Suka

    • Kris, saya rasa tidak ada yang tahu bagaimana isi pikiran para leluhur, seperti generasi penerus kita nantinya, bagaimana bisa mereka tahu isi pikiran kita? Siapa yang dimaksud dengan leluhur? Apakah orang-orang berkuasa yang menentukan kebijakan di masa itu? Apakah orang-orang bijak yang memberikan garisan petunjuk hidup?

      Setiap orang dalam masyarakat hadir dengan pemikiran yang berbeda-beda, tidak ada sebuah pemikiran tunggal pada zamannya, dan saya rasa tidak ada juga pada zaman leluhur kita. Jika apa yang tampak ke permukaan saat ini kita ambil sebagai sebuah pemikiran yang telah absolut benar, maka apa bedanya kita dengan orang-orang yang berteriak membenarkan idealisme mereka dan menyerang orang-orang lain yang berpandangan berseberangan? Seperti yang sering kita lihat di televisi.

      Saya rasa kita menerima apa yang diberikan, namun bukan berarti apa yang kita miliki sendiri harus dibuang untuk menerima semua itu. Pemikiran dari generasi sebelumnya, bukan berarti lebih tinggi derajatnya daripada pemikiran generasi saat ini ataupun generasi mendatang. Jika perubahan itu perlu, maka terjadilah, jika budaya itu hilang, maka terjadilah. Lihatlah kondisi kita saat ini, kafe remang-remang betebaran di mana-mana, perizinan pembangunan yang luar biasa dengan menggeser lahan hijau. Jika suatu saat generasi ini mengubah pulau Bali menjadi pulau beton, haruskah generasi setelahnya menerima begitu saja karena mereka mesti menghormati leluhurnya?

      Dalam pemikiran saya, kemanusiaan itu setara, jika kebudayaan dari leluhur berkata kemanusiaan tidak setara, ya maaf saya akan meninggalkan kebudayaan itu, jika agama berkata kemanusiaan tidak setara, ya saya akan meninggalkan agama itu, bahkan jika Tuhan pun berkata bahwa kemanusiaan tidak setara, ya saya akan tinggalkan Tuhan itu. Saya tidak perlu menjadi sesuatu yang hebat, saya tidak perlu ditoleh oleh orang lain.

      Suka

  4. salam..
    saya suka sejarah dan saya suka membaca tulisan ini. tentang kasta sepertinya di Bali memang masih kental ya.. terbukti beberapa waktu lalu salah seorang teman dari bali dia (perempuan) dari kasta Brahmana dan kekasihnya ternyata dari kasta Sudra. sempat di tentang hubungan mereka itu, tapi bersyukur akhirnya mereka bisa bersatu meski harus melewati beberapa proses (maaf saya kurang paham apa prosesnya) yang harus dijalankan.

    dan saya sependapat, jika segala perbedaan makin dipertajam maka akan sangat mudah untuk di adu domba..
    semoga Nusantara tetap jaya 🙂

    Suka

  5. Setahu saya, sistem kasta telah diterapkan oleh bangsa Aria untuk menjaga kemurnian ras. Aria menganggap dirinya unggul sehingga membuat sebuah sistem agar tidak bercampur dengan ras lain.

    CMIIW, saya tidak ingin menyinggung keyakinan dan agama manapun. Yang jelas, saya bukanlah penganut sistem kasta, pararaton atau kebangsawanan baik itu gaya barat maupun timur.

    Jikalau harus saling menghormati, itu adalah kod etik manusia sebagai makhluk sosial. Kita menghormati seseorang karena ketulusan hati, bukan karena “paksaan” sebuah sistem.

    Suka

  6. Bila dikaitkan dengan sistem kerajaan dan sejenisnya, maka istilah kasta itu identik dengan penggolongan kelas atau pemberian gelar tertentu sesuai kapasitasnya saat itu.
    Tentu situasi ini, sangat berbeda sekali dengan filosofi Catur Warna dalam konsep tradisi Veda, yang lebih mengutamakan “guna karma” seseorang dalam kehidupan ini.

    Suka

  7. Saya ndak anti dengan pengkastaan, walaupun saya berniat untuk menghapus beberapa kata dari nama saya yang menunjukkan sebuah kasta di Bali.

    Bagaimana pun, sikap seseorang kepada orang lain ndak bisa dilepaskan begitu saja dari kasta seseorang. Misalnya, ketika kita berhadapan dengan seseorang dari kaum agamawan (pendeta, ulama, dsb) pasti secara otomatis sikap kita ndak akan seenaknya saja seperti kita bertemu dengan orang lainnya. Begitu juga saat kita bertemu dengan seseorang dari golongan negarawan, misalnya Gubernur, tanpa kita sadari sikap kita akan dipengaruhi oleh kastanya yang seorang pemimpin. Hal itu sudah naluri manusia, yang kemudian menjadi budaya/tradisi. Jadi saya rasa masalah kasta di mana pun (ndak cuma di Bali) adalah berasal dari setiap manusia secara naluriah. *sekalian saya pengen membantah pendapat Yanuar.

    Tapi, saya heran kalau Hindu/Bali identik dengan kasta. Padahal menurut saya, beberapa tempat lain yang non-Hindu juga menerapkan hal seperti ini. Misalnya di Jogja pun masih ada sistem kasta seperti ini. Begitu juga di Inggris dan beberapa negara kerajaan lain di Eropa dan Timur Tengah.

    Sekali lagi saudaraku, ini cuma opini saya saja. 🙂

    Suka

  8. kasta saat ini menurut saya salah dalam pengaplikasiannya..saya bukan seorang ahli tatanan negara atau sejarah masa lalu..tapi pemahaman saya adalah kasta hanyalah penggolongna berdasarkan pekerjaan di masa lalu..kalo sekarang banyak orang yang berpikir kalo bernama depan IB atau IA maka kamu berada di kasta brahmana, menempati kasta tertinggi bla bla bla dan seterusnya..that's totally wrong.yang bernama i made, ni wayan etc berada di kasta sudra dan seolah2 berada di tempat terbawah..lebih salah lagi..

    menurut saya di era saat ini, sesuatu yang mengkotak2kan manusia sudah saatnya ditinggalkan..

    manusia tidak perlu dilihat dari namanya, agamanya, negaranya etc..dia hanya perlu dilihat bagaimana sikapnya, partisipasinya, tanggungjawabnya terhadap dirinya maupun masyarakat..sehingga nilai objektivitasnya lebih bermakna..

    thanx..

    Suka

  9. agreee…
    kasta hanya titipan dan pembesaran yang diwariskan oleh belanda. sayang kita masih memakainya dan lebih sayang lagi masih banyak orang yang berbangga.

    oohh.. baliku.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.