Pada tanggal 8 November 2010, Pusat Penasihat Debu Vulkanik Darwin melaporkan bahwa debu Merapi menembus hingga 7.600 meter ke atas dan meliputi daerah sejauh 110 kilometer.
Seperti yang Anda ketahui pemerintah telah menetapkan zona bahaya atau batas zona aman hingga 20 kilometer dari puncak Merapi, meski sudah diumumkan evakuasi secara meluas, namun masih terdapat korban jiwa. Sedangkan bahaya di luar wilayah itu saat ini adalah bahaya lahar, yang mengalir melalui sungai-sungai, seperti Kali Code yang sering kita dengar di televisi.
Gambar atau citra alami di atas memperlihatkan bumbungan asap dan debu vulkanik dari erupsi Merapi pada pagi hari tanggal 8 November 2010. Dilihat sepintas, tidak lebih pekat dibandingkan erupsi pada tanggal 5 November 2010 (baca kembali: “Merapi dari Mata Langit”).
Abu berwarna abu-abu muda membumbung tinggi dan bercampur dengan awan di sekitarnya. Citra ini diambil oleh Satelit Terra dengan Moderate Resolution Imaging Spectrotadiometer (MODIS).
Namun ternyata sedari akhir Oktober hingga erupsi terakhir di bulan November ini, Merapi tidak hanya menumpahkan abu vulkanik, lahar dan aliran piroklastik. Vulkano ini juga melepaskan sulfur dioksida, sejenis gas yang tidak berwarna yang dapat membahayakan kesehatan kita dan mendinginkan temperatur global/bumi.
Citra yang dikodifikasi dengan warna di atas menunjukkan kandungan sulfur dioksida pada 4-8 November 2010, sebagaimana yang diamata oleh Ozone Monitoring Instrument (OMI) milik NASA. Konsentrasi yang lebih pekat ditandai dengan warna yang lebih gelap, sedangkan yang lebih rendah pada warna yang lebih terang, dan diukur dalam satuan unit Dobson.
Jika Anda memampatkan semua sulfur dioksida pada suatu kolom atmosfer ke dalam lapisan tipis pada O° celcius dan tekanan standar atmosfer (1 atmosfer), maka satu unit Dobson adalah ketebalan 0,01 milimeter dan akan mengandung 0,0285 grams sulfur dioksida per meter perseginya.
Pada 9 November 2010, kembali Darwin Volcanic Ash Advisory Center yang berbasis di Australia melaporkan bahwa suatu awan sulfur dioksida teramati di atas Samudra Hindia, antara 12.000 meter hingga 15.000 meter pada troposfer bagian atas.
Efek sulfur dioksida sangat beragam tergantung jumlah emisi, titik bujur lintang di mana emisi, ketinggian di mana emisi gas tersebut terpusat, serta arah angin regional dan pola cuaca. Pada tingkat permukaan tanah, sulfur dioksida mengiritasi kulit, mata, dan saluran napas bagian atas seseorang. Pada ketinggian yang lebih tinggi, sulfur dioksida bisa mengalami beberapa rantai reaksi kimia yang mempengaruhi lingkungan. Jika bereaksi dengan uap air, maka sulfur dioksida bisa membentuk ion sulfur, yang merupakan prekusor hujan sulfur. Selain meningkatkan risiko hujan asam, partikel-partikel ini memantulkan cahaya matahari dengan sangat efektif.
Jika sebuah vulkano di ekuator menyuntikkan sejumlah sulfur dioksida yang mencukupi ke atmosfer, hasil dari reaksi-reaksi kimia dapat menciptakan aerosol-aerosol pemantul yang beredar di atmosfer selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, mendinginkan musim dengan memantulkan cahaya matahari. Hanya dengan jarak 7,5° di Selatan khatulistiwa, Gunung Merapi tepat berada di wilayah yang potensial di mana dampak seperti itu bisa muncul jika terjadi emisi raksasa. Bagaimana pun juga, pada awal November 2010, Merapi telah mengemisikan hanya sekitar 1% sulfur dioksida yang dilepaskan pada tahun 1991 oleh erupsi Gunung Pinatubo, yang mana hanya memiliki efek kecil yang dapat diukur pada temperatur global. Tapi tentu lain cerita dengan erupsi dan eksplosi Gunung Tambora yang memiliki riwayat letusan yang paling mengerikan dalam sejarah – tidak hanya nusantara, namun juga – dunia.
Citra yang ada di atas dan data-data yang melengkapinya diambil dari Earth Observatory oleh NASA.
Tinggalkan Balasan