Percakapan Si Bodoh (Bag. IV)

Setelah dua puluh menit berkuda, melewati padang rumput dengan perpaduan antara warna langit yang mulai menjingga dan domba-domba yang nyaris seperti gerumulan beribu kapas putih di antara pandangan mata. Dia masih ragu, dan melihat kembali peta lusuh dan kompas tua yang diberikan sebagai bagian dari kesepakatan kali ini, tentu saja di benaknya dia masih merasa lebih mudah menemukan dengan menggunakan GPS mapping.

Namun tentu saja dia tahu bahwa penawaran kesepakatan ini memang cukup “mahal” – ah, sekilas dia berpikir seharusnya dia tidak minta bantuan saja untuk kasus “teater” itu.

Namun pikirannya yang menggerutu itu segera berakhir, dia melihat apa yang dicari, sesuatu yang di peta lusuhnya bertuliskan “the last preaching tree”.

Taranaki sunset

Di bawah pohon ditemukannya kotak terakhir yang dicari – tentu saja setelah menggali batu yang menjadi tanda di mana kotak itu tertanam. Dia cukup penasaran, kira-kira apa yang akan ada, apakah ada petunjuk lagi. Lalu dia pun membuka dengan kunci tua yang diberikannya padanya. Betapa terkejutnya dia sebuah kertas tua dengan dengan tulisan, dan bukan peta lagi – dia bersyukur karena instingnya berkata berarti ini bukan perjalanan lagi – karena matahari sudah nyaris terbenam sepenuhnya.

Tulisan yang kini ada di hadapannya tampak sangat lucu, dengan huruf-huruf yang unik.

I don’t know who you are. But if you find this letter where it was hidden, then you probably around the last preaching tree – which is just a common tree that named like that by my grandpa.

I am writing this letter, but since I’m still a little girl, I can say nothing much. I just wish to share something so memorable here. This North Island was the birth place of my late grandma, so grandpa always love to take me here, to visit her graveyard. Grandpa said that grandma always see sunset from Taranaki, and I can see that grandpa has already becomes in love with the scene of sunset too not long after he met her.

I want to share this beauty to someone who is precious to me. Like grandma did. So if you find this letter because of I who did asking you to, then, the last thing you could help me with my wish is to find me.

I am waiting you at my grandma’s graveyard.

Dia tersenyum membaca surat itu. Dan tampak diam sejenak memandang ke arah matahari terbenam, dan kemudian ke arah yang berlawanan. Tak lama kemudian dia memacu kudanya dan melewati rerumputan yang keemasan. Seakan angin menunggunya untuk datang lebih awal, dan memberinya petunjuk melalui ilalang yang merunduk.

Akhirnya, dia bisa melihat sosok yang memandang terbenamnya surya dari kejauhan.

Div, kamu terlambat lagi. Ah…, padahal mataharinya sudah sudah terbenam.” Gadis tersenyum senang dengan setengah mengejek.

Tapi aku sudah memenuhi apa yang kamu tulis di sini.” Dia menyerahkan surat lusuh itu.

Si gadis menerimanya dan berkata, “Setengah benar, tapi apa yang membuatmu berpikir demikian?”

Posisi pun diambil, satu lengannya berada tersilang di belakang, dan satu lagi memperbaiki posisi syalnya.

Ada beberapa hal yang menjadi pemikiranku, pertama kakek nenekmu, kedua ‘last preaching tree’, ketiga matahari terbenam, dan keempat Taranaki. Tapi tentu saja ada yang menjadi hal yang paling jelas dan menghubungkan semua bagian itu, yaitu kuda

Kamu memintaku menunggang kuda dan mencari banyak sekali petunjuk, sebelum tiba di petunjuk terakhir. Dan ada sesuatu yang kusadari saat mengikuti semua petunjuk itu, bahwa perjalananku selalu mengarah ke Barat Laut, arah di mana matahari terbenam.”

Kakek dan nenekmu menyukai pemandangan dan menikmati matahari terbenam, dan tampaknya kamu juga menyukainya. Mungkin mereka berdua suka memandangnya dari Taranaki. Jadi melihat matahari terbenam sepanjang perjalanan di Taranaki juga bisa jadi apa yang mereka rasakan, dan apa yang ingin mereka bagi pada orang yang mereka sayangi, yaitu dirimu saat kecil yang sering diajak kemari. Ya, kurasa aku bisa melihat itu sepanjang jalan, rasanya mendamaikan. Tempat-tempat petunjuk untuk ke lokasi petunjuk berikutnya merupakan tempat terindah untuk menyaksikan matahari terbenam, jadi kupikir yang meninggalkan petunjuk pasti begitu menyukai matahari terbenam. Apalagi tempatnya tidak begitu berjauhan, satu sama lain masih dapat dilihat dalam jangkauan pandangan. Ini seperti tempat permainan, dengan lokasi-lokasi yang istimewa.”

Hanya saja satu yang mengganggu pikiranku, tempat terakhir, the last preaching tree, bukanlah tempat yang istimewa untuk melihat matahari terbenam. Namun di salah satu dahannya aku melihat ada banyak bekas terkelupas, dan sudah tampak sangat tua. Kurasa ada yang menjadikannya tempat dudukan, dan dari sana bisa melihat matahari terbenam dengan baik. Tapi mengapa? Mengapa harus repot untuk itu? Entah mengapa aku merasa seharusnya itu bukan tempat yang baik untuk menyaksikan matahari terbenam.”

Kurasa ada sesuatu yang terjadi, tempat yang sebenarnya ada lebih jauh lagi, namun karena beberapa hal, seseorang tidak dapat mencapainya. Sehingga harapannya untuk melihat matahari terbenam berakhir di sini. Tapi tempat yang tidak bisa dicapai ini pastilah lokasi yang istimewa, mungkin dari situ bisa memandang matahari terbenam di Barat dengan bebas. Dan the last preaching tree – mungkin adalah tempat di mana jarak terdekat ke tempat itu yang masih dapat dicapai. Aku tidak tahu itu pastilah tempat yang tidak bisa dicapai dengan mudah, apalagi sisi Barat Egmont tidak memiliki akses, kecuali hanya semak ilalang, sedemikian hingga mungkin pada masa kakek nenekmu, berkuda pun perlu kondisi yang benar-benar prima.”

Kata-katanya berhenti sejenak…, dia menarik napas panjang melihat wajah di depannya masih tampak menunggu lanjutan dari apa yang ingin disampaikannya.

Aku mengingat kembali bagaimana lokasi-lokasi sebelumnya memperlihatkan matahari terbenam, dan melihat kesamaan yang unik, sesuatu yang tidak ada di the last preaching tree – jadi dengan melihat itu, aku mencoba melihat tempat yang kira-kira mereka pilih menjadi tempat yang istimewa itu.”

Then I see I spot that probably has a good spot to view the sunset. Jadi aku datang ke sebuah tempat yang ada setelah perbukitan kecil di hadapanku, dan tibalah aku di sini. The last preaching tree adalah doa kehidupan untuk sampai ke tempat ini lagi. Ah, sebenarnya aku melihat siluetmu dari kejauhan, jadi aku langsung kemari.”

Sunset on Taranaki

Sesaat keduanya terdiam, dan gadis itu kembali memandang ke arah matahari terbenam.

Div, entahlah, kurasa itu tetap setengah benar.”

Eh…, kenapa?”

Gadis itu terduduk di atas lempeng batu besar, “Pertama, karena surat ini (menunjuk kertas lusuh dalam pegangan tangannya) bukan aku yang menulis, tapi ibu. Dan ibu hanya menyerahkan petunjuk yang sama yang kuberikan padamu sejak awal. Katanya itu seperti permainan, tapi ibu meninggal sebelum aku sempat memulai permainannya, saat aku menemukan pesan petunjuknya tanpa sengaja beberapa tahun lalu, aku mengikuti semuanya – termasuk jadwal yang mengharuskan berangkat sore. Saat menemukan pesan terakhir ini, kukira aku akan bertemu ibu di tempatnya menunggu, saat itu aku masih kecil, tapi aku pun mencari ke semua tempat dengan harapan itu, di antara padang ilalang ini. Tapi kurasa ibu pun tidak akan kutemukan lagi. Aku melakukan seperti apa yang kamu lakukan tadi, kuharap jika kamu menemukan tempat yang berbeda berarti aku bisa menemukan di mana tempat yang ibu maksudkan.”

Apa aku mengecewakan…?”

Dan si gadis pun tertawa geli, “Tidak, itu membuktikan bahwa kamu tidak lebih cerdas daripadaku, atau mungkin kamu lebih bodoh karena berada di sini setelah melihat siluetku.”

Apa kamu ingat batu yang digunakan sebagai tanda kotak terakhir?” Tanyanya pada si gadis.

Ya, tentu saja, aku memeriksa berulang kali dengan mengharapkan mendapatkan petunjuk.”

Apa kamu menemukan sesuatu?”

Tidak, kecuali kurasa batu itu sedikit dibentuk agar menyerupai pola tertentu.”

Begitu ya, aku juga merasa demikian tadi.”

Benarkah, apa kamu bisa mengenalinya dengan sekali pandang?”

Ah tidak, hanya saja itu tampak familier bagiku.” Dia tentu saja tidak bisa berkata bahwa itu tampak seperti salah satu emblem dari pentaneera, sebuah pengalaman yang membuatnya kehilangan kesempatan melihat keindahan Bruges – sebuah kisah lama., “Dan saat berkuda tadi, aku melihat dari kejauhan jika ada pola serupa muncul di tempat ini.”

Benarkah, di mana?”

Hmm…, kamu sedang mendudukinya.”

Gadis tersebut seketika melompat dari duduknya dan melihat dari atas bebatuan tempatnya duduk, dan betapa kagetnya dia tidak menyadari selama ini, walau memang di beberapa sisi tampak sudah banyak yang rusak termakan usia, atau tertutup ilalang tinggi – dia tetap bisa langsung melihat sesuatu yang menyentakkan benaknya.

Kukira ini adalah tempat yang dimaksud, kamu sudah berada di sini selama ini, dan di sinilah kenangan mereka semua menantimu.” Dia tersenyum pada si gadis, dan melihat wajah yang bahagia dengan mencoba mengumpulkan puing-puing ketidakpercayaan pada apa yang ada di situ.

Gadis itu bersimpuh di atas batu, dia tampak bernostalgia dalam alam pikirannya sendiri. Namun itu hanya sekejap, dia segera bangkit dan mendekati kuda yang terikat tak jauh dari sana, “Ayo kita pulang, sudah mulai gelap, walau savana ini tidak akan gelap, tapi….”

Tapi kita sudah menemukan apa yang kita cari…?”

Gadis itu mengangguk dan mereka segera dibawa melaju dalam langkah cepat menyusur ilalang di bawah cahaya bintang dan rembulan.

Prolog

Malam itu Div mengangkat teleponnya, suara yang dia kenal terdengar seakan hendak memberikannya firasat buruk.

Div, apa kamu sudah tiba kembali dari pagelaran teatermu?”

Ya, aku baru tiba sore tadi.”

Kalau begitu kebetulan sekali, minggu depan datanglah ke tempatku, ada sebuah tempat yang ingin kutunjukkan padamu.”

Ah…, mengapa perasaanku tidak tenang ya.”

Hei, jangan begitu, ini kan sudah kesepakatan setelah kubantu dengan proyek teatermu.”

Tidak begitu, baiklah…, aku akan datang.”

Dan percakapan malam itu segera berakhir, hingga Div menemukan dirinya beberapa hari kemudian di salah satu kota sibuk di bagian Selatan NSW. Dan dia hanya mendapati sebuah tiket terbang 3,5 jam ke Tenggara dan sebuah tulisan yang dikenalnya yang berisi petunjuk perburuan kecil.

Dia langsung menyadari bahwa dirinya sudah terjebak permainan lagi. Tapi sepertinya dia ingin mengikuti ke mana angin membawanya kali ini.

Epilog

Div sangat senang disambut hangat di salah satu rumah sederhana di Stratford, di mana jika siang hari mereka dapat melihat puncak Fantham. Walau merasa lelah, namun suasana kekeluargaan mencairkan semuanya.

Apa kamu menikmati hari ini?” Tanya sang gadis.

Tentu saja, jika kakek dan nenekmu menyukainya, ibumu juga menyukainya, kurasa aku juga sudah menyukai alam di sini begitu tiba. Apalagi sudah lama juga tidak berkuda dengan bebas, itu menyenangkan sekali.” Dia tersenyum lebar dengan kapucino hangat menemaninya terduduk di beranda.

Jadi bagaimana besok? Apa tertarik mengunjungi ke Danau Matheson?”

Apa…?” Div terkaget, “Terbang ke Selatan hanya untuk danau?”

Kenapa heran begitu, kamu baru terbang lebih dari separuh dunia untuk datang mendapatkan petunjukku, dan terbang lagi untuk menunggang kuda. Ayolah, kita hanya ke pulau Selatan.”

Tapi, apa kamu tidak lelah?”

Ah, tidak, lagi pula besok kita tidak hanya berdua.”

Jangan katakan ketiga orang itu juga ikut, dan apa ini sudah direncanakan sebelumnya?”

Ya, kamu benar lagi. Ada sedikit permintaan pekerjaan yang memerlukan kita berlima.”

Tiba-tiba Div merasa masuk ke dalam jebakan lainnya. “Dan siapa yang jadi kliennya kali ini?”

Ah, itu saya…” Jawab sebuah suara dari ruang dalam, dan Div menengok seorang laki-laki tua keluar dengan bantuan tongkat kayu untuk berjalan. “Dapatkah kami berbicara berdua saja?” Tanyanya pada gadis itu.

Tentu saja, ‘great grandfather’” Dan gadis itu masuk ke dalam.

Div menatap orang yang dipanggil ‘great grandfather’ itu, ia tampak begitu tua, mungkin usianya sudah di atas seabad, tubuhnya sudah melayu dan bungkuk, namun walau matanya telah keruh, tapi sinar matanya belum pudar. Tapi yang lebih mengejutkan adalah bros yang tersemat di leher kemeja kakek itu.

Jadi kamu sudah pernah bertemu dengan pentaneera?” Tanya kakek itu secara langsung dalam pandangan tajam.

Ya.” Div menjawab tegas, “Dan bagaimana Anda bisa tahu?”

Aku mendengar dari beberapa penerus kami, bahwa ada anak muda yang sering mereka minta bantuan secara diam-diam.” Kakek itu menepi ke luar dan memandang langit malam, “Biasanya kami tidak bekerja sama dengan kelima keluarga besar, atau dalam bahasa lainnya, kami tidak pernah ada di dunia kalian. Tapi zaman sudah berubah, rasanya sudah tidak ada lagi yang sama.”

Lalu apa hubungannya dengan permohonan anda sebagai klien kali ini?”

Si kakek melepaskan brosnya, dan meletakkannya di meja terdekat, “Serahkan ini pada seseorang.”

Jadi ini berarti generasi sudah berpindah arus?”

Tapi jangan sampai siapa pun tahu, pentaneera tak pernah ada, apa kamu paham itu?”

Hmm…, paham apa? Kami hanya akan berjalan-jalan ke danau biasa.” Kata Div sambil mengambil potongan kecil kue dari piring di sisi meja.

Kakek itu tersenyum kecil, pertanda ia mendapatkan jawaban yang dikehendaki. Dan dia pun masuk kembali, tubuhnya sudah tidak kuat lagi dengan udara malam.

Sementara Div melepas pandangnya jauh, kali ini dia tidak hanya terjebak sekali, tapi dua kali. Dia tidak pernah punya pengalaman yang tidak merepotkan dengan logo seperti yang terpatri dalam bros yang sudah masuk ke dalam saku jasnya. Apa yang akan mereka temui besok, dia sendiri tidak ingin menduga-duganya, walau tentu ada kekhawatiran dalam benaknya.

Tapi seseorang segera datang lagi dan menghapus semua rasa khawatir itu. Mereka berbincang dengan ditemani bintang dan langit Selatan yang indah.

8 tanggapan untuk “Percakapan Si Bodoh (Bag. IV)”

    • Mas, borang komentar ini bisa dijadikan contoh untuk opaksiti, kalau nggak salah niat seperti ini, ada latar halus pada area postingan 😀

      Suka

    • Pak Aldy,

      Tapi setelan ini dibawa langsung sama Disqus, saya tidak tahu bagaimana isinya (malas ngintip), nanti coba saya cari jalan keluarnya.

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.