Demam merupakan salah satu gejala yang paling umum dalam keluhan pasien selain nyeri. Demam secara khas sudah dianggap sebagai salah satu bahwa ada “sesuatu” yang salah dengan tubuh seseorang, karena temperatur tubuh telah meninggi.
Demam bisa jadi merupakan salah satu respons normal tubuh terhadap adanya suatu peradangan. Namun sering kali demam menjadi tidak tepat didefinisikan dalam keseharian, sehingga bisa menimbulkan kebingungan. Demam memang diartikan suhu tubuh yang bertambah di atas normal, namun tentu dengan ambangannya, lebih tinggi dari 37,8° C jika diukur per-oral (via mulut) atau di atas 38,2° C jika diukur per-rektal (via dubur) dengan termometer. Tentu saja untuk mengetahui demam maka temperatur tubuh selayaknya diukur, tidak hanya dengan berkata bahwa sedang merasa agak hangat, merasa dingin atau ketika berkeringat.
Temperatur tubuh merupakan sebuah kesetimbangan yang berasal dari produksi panas oleh organ-organ tubuh seperti hati, otot dan hilangnya panas melalui pinggir luar tubuh. Pusat pengaturan panas tubuh di hipotalamus biasanya mengatur agar suhu tubuh manusia tetap berada pada kisaran 37° dan 38° C (ini tidak selalu sama pada masing orang, di Indonesia misalnya, kisaran suhu tubuh pada 36,5° C dianggap yang paling ideal).
Ketika ada “sesuatu” yang meningkatkan titik panas pada hipotalamus, maka demam dihasilkan dengan memicu vasokonstriksi dan membalikkan aliran darah di perifer guna menghindari kehilangan panas; kadang dengan menggigil, yang mana akan meningkatkan produksi panas. Proses ini berlanjut hingga temperatur aliran darah di seputar hipotalamus telah sesuai dengan titik panas yang baru itu.
Nah sesuatu (substansi) yang menyebabkan demam disebut dengan pirogen. Pirogen bisa berasal dari luar tubuh – disebut sebagai pirogen eksogenus, biasanya adalah mikroba atau produk dari mikroba itu sendiri. Misalnya bakteri gram negatif memiliki selaput lipopolisakarida yang dikenal sebagai endotoksin paten. Pirogen eksogenus seperti ini biasanya menyebabkan demam dengan melepaskan pirogen endogenus (seperti IL-1, TNF, interferon-?, IL-6).
Sayangnya tidak semua demam bisa ditentukan penyebabnya dengan mudah, bahkan tidak mengarahkan dokter pada diagnosis umum seperti faringitis (radang tenggorokkan), demam dengue, demam typhoid (tifus), morbili (campak), atau diagnosis lainnya. Sehingga ketidakjelasan ini memunculkan istilah demam yang tidak diketahui asalnya, atau fever of unknown origin (FUO).
FUO didefinisikan sebagai temperatur tubuh di atas 38,3° C yang tidak dihasilkan dari penyakit sementara dan sembuh dengan sendirinya, penyakit yang fatal, atau penyakit dengan batas gejala lokal yang jelas atau tanda atau dengan abnormalitas pada tes-tes umum seperti rontgen dada, urinalisis atau kultur darah. Menurut Petersdorf dan Beeson (1961), temperatur tersebut setidaknya menetap lebih dari 3 minggu selama sakit, dan gagal mencapai sebuah diagnosis walau telah menjalani penyelidikan rawat inap selama 1 minggu.
Tentu saja FUO bukan berarti tanpa penyebab, hanya saja penyebabnya bukan sesuatu yang umum atau gampang diduga dan dilacak. Karena itulah melacak demam yang disebabkan oleh FUO bisa jadi menjadi sesuatu yang membuat frustasi.
Penyebab FUO biasanya dikategorikan menjadi 4 bagian besar: infeksi (25-50%), penyakit jaringan ikat (10-20%), neoplasia/keganasan (5-35%), lain-lain (15-25%).
Infeksi adalah penyebab FUO yang paling besar, apalagi pada pasien dengan HIV, maka infeksi-infeksi opportunistic (seperti TB, jamur, sitomegalovirus) sebaiknya diselidiki.
Penyakit jaringan ikat yang umum menyebabkan FUO antara lain SLE, RA, giant cell ateritis, vaskulitis. Pada keganasan, yang paling umum adalah limfoma, leukemia, karsinoma sel renal, karsinoma hepatoseluler, dan karsinoma metastase. Sedangkan penyebab lainnya seperti reaksi obat, deep vein thrombosis, emboli paru berulang, sarkoidosis, dan inflammatory bowel disesase.
Teka-teki FUO sering kali membuat dokter harus merombak ulang semua penyelidikan yang ada. Tidak jarang mesti mengasumsikan bahwa semua data yang dikumpulkan secara akurat oleh klinisi sebelumnya sebagai sebuah kesalahan. Sehingga pemeriksaan dimulai lagi dari titik nol.
Penggalian riwayat difokuskan guna menggali adanya gejala fokal dan fakta-fakta yang bisa mengarahkan ke penyebab demam (seperti perjalanan, pekerjaan, riwayat keluarga, paparan pada vektor hewan, riwayat asupan makanan).
Pada riwayat penyakit saat ini seharusnya dapat mengungkapkan pola (kontsan atau intermiten) dan durasi demam yang terjadi. Pola demam kadang hanya sedikit atau justru malah tidak bermakna dalam diagnosis FUO, meski pun beberapa penyakit tertentu memiliki pola demam yang khas, misalnya pada malaria (terutama pada pasien dengan faktor risiko untuk itu). Nyeri fokal seringkali membantu menentukan lokasi (meski bukan faktor penyebab) dari penyakit yang mendasari. Sehingga nyeri tubuh mesti ditanyakan secara umum, dan kemudian spesifik pada tiap-tiap bagian tubuh.
Pada peninjauan sistem tubuh, gejala-gejala nonspesifik juga mesti diperhatikan, misalnya penurunan berat badan, anoreksia, kelelahan, keringat malam hari, dan nyeri kepala. Juga gejala-gejala yang menandakan kelainan jaringan ikat (seperti myalgia, athralgia, dan ruam) serta kelainan saluran cerna (seperti diare, steatorea, dan ketidaknyamanan perut) selayaknya dilacak.
Riwayat penyakit sebelumnya yang bisa menjadi kunci melacak demam juga digali. Penyakit-penyakit yang sebelumnya dapat menyebabkan demam kembali ditanyakan apakah pernah ada, seperti kanker, TB, penyakit jaringan ikat, sirosis alkoholis, penyakit peradangan usus, demam rematik, dan hipertiroidisme. Klinisi selayaknya memperhatikan kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan terjadinya infeksi, semisal kondisi immunocompromise (misal karena infeksi HIV, kanker, diabetes, atau penggunaan immunosupresan), penyakit jantung struktural, kelainan saluran kemih, operasi, pemasangan alat invasif (seperti jalur intravena, pacemaker, prostesa sendi).
Riwayat obat-0batan yang dapat memicu demam juga ditanyakan. Misalnya obat yang bisa meningkatkan produksi panas, seperti amphetamines, kokain, methylenedioxymethamphetamine (MDMA, ekstasi), antipsikotik, anestestik. Sementara beberapa obat lain dapat menginduksi reaksi hipersensitivitas, seperti antibiotik beta-laktam, obat-obatan sulfa (fenitoin, karbamazepin, prokainamid, quinidin, amfotericin B), dan interferon.
Riwayat sosial juga termasuk pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada kemungkinan datangnya infeksi, seperti penggunaan jarum suntik bergilir, praktek seksual berisiko tinggi (seperti seks bebas tanpa pengamanan, banyak partner seks), kontak dengan penderita terinfeksi (misal TB), perjalanan ke daerah endemis, kemungkinan paparan terhadap vektor (misal gigitan serangga). Faktor risiko untuk kanker juga selayaknya dapat diungkap, termasuk merokok, penggunaan alkohol, dan risiko paparan bahan kimia pada saat bekerja. Lingkungan yang sedang mengalami penyakit atau wabah tertentu juga selayaknya masuk dalam catatan.
Beberapa riwayat keluarga juga diperhatikan jika terdapat kemungkinan beberapa penyebab demam yang diwariskan (seperti pada familial Mediterranean fever).
Pada pemeriksaan fisik penampilan umum diperhatikan, beri catatan terutama jika ditemukan cachexia, jaundice dan pucat.
Perhatikan juga permukaan tubuh terutama kulit, eritema fokal bisa menjadi tanpa tempat infeksi terjadi, sedangkan ruam bisa menjadi tanda penyakit sistemik (misal pada SLE); inspeksi diarahkan pada perineum dan kaki, terutama pada pasien diabetes yang cenderung mendapat infeksi pada daerah ini. Klinisi juga sebaiknya memeriksa ada tidaknya temuan kutaneus akan endokarditis, termasuk nodula subkutan eritematosa yang sangat nyeri pada ujung-ujung jari (nodul Osler), makula hemoragik tanpa nyeri pada telapak tangan atau kaki (lesi-lesi Janeway), petekiae, dan perdarahan splinter di bawah kuku.
Seluruh tubuh (khususnya pada area tulang belakang, tulang, persendian, abdomen, dan tiroid) dipalpasi untuk mencari area dengan nyeri tekan, pembengkakan, atau organomegali; pemeriksaan rektum digital dan pemeriksaan pelvis juga termasuk di dalamnya. Gigi diperkusi untuk adanya nyeri (jika diduga ada abses apikal). Selama palpasi, perhatikan adanya adenopati regional atau sistemik. Misalnya pada adenopati regional merupakan karakteristik penyakit cat-scratch yang berlawan dengan adenopati difus pada limfoma.
Pemeriksaan jantung juga dilakukan untuk menemukan adanya tanda-tanda infeksi pada jatung, baik endokarditis maupun perikarditis.
Tanda-tanda temuan yang memerlukan perhatian lebih ketika anamnesis dan pemeriksaan fisik berlangsung adalah adanya kecurigaan immunocompromise, murmur jantung, adanya peralatan yang masuk ke dalam tubuh, perjalanan baru-baru ini ke daerah endemis.
Beberapa tes laboratorium mungkin akan membantu. Misalnya darah lengkap dengan hitung jenis leukosit, laju endap darah, tes fungsi hati, kultur darah, tes antibodi HIV, uji konsentrasi RNA, dan uji PCR, tes kulit tuberkulin. Kecurigaan adanya faktor rematik di dalamnya, perlu dilakukan tes ANA. Jika dicurigai karena malignansi atau abses di dalam tubuh, maka pemeriksaan X-RAY, USG, CT-SCAN, MRI dan pencitraan lainnya akan diperlukan bersamaan dengan tes invasif seperti biopsi.
Dokter umum seringkali kesulitan dalam melacak kompleksitas dari sebuah FUO. Sehingga pada kondisi tertentu perlu merujuk pasien pada dokter yang lebih ahli sesuai dengan kecurigaan terbesar penyebab FUO.
Untuk memahami bagaimana manajemen FUO yang baik, silakan merujuk pada artikel Fever of Unknown Origin pada situs eMedicine dan Merck Manual. Perlu dipahami bahwa selain seringkali menyulitkan, pelacakan demam yang tidak jelas sering berefek pada beban biaya kesehatan yang tidak sedikit pada pasien, apalagi jika sampai memerlukan pemeriksaan penunjang yang canggih seperti pencitraan dengan kontras radioaktif atau uji laboratorium imunoserologis. Seorang klinisi juga perlu mempertimbangkan cost benifit sebuah prosedur pemeriksaan penunjang bagi pasiennya.
Tinggalkan Balasan