Tak Usah Kebencian Disebar

Mungkin saya tidak terlalu memahami, atau mungkin lebih tepatnya saya terlalu cuek, sering kali tak acuh. Ataukah di sisi lain saya hanya sudah terlalu lelah melihat bagian dari masyarakat yang semakin kusut dan muram. Orang bisa menyumpahi, meneriaki, bahkan bisa lebih semena-mena lagi pada orang lain, entah karena dasar emosi, ataukah karena dasar pemikiran yang telah mengakar untuk membenci sesuatu.

Seseorang bisa menemukan pelbagai alasan untuk membenci, apa pun! Bahkan rasa tidak suka sederhana pun ketika tergelincir dapat menjadi sebentuk kebencian yang berakar dalam. Bahkan ketika orang-orang tahu kebencian bukanlah solusi, namun pengetahuan itu telah gagal membuat kebencian itu sendiri berhenti mengakar di dalam dirinya.

Dan ketika kebencian menjadi begitu dalam, seluruh pandangan ke dunia akan terliputi oleh rasa benci ini. Setiap suara akan tersaring ke dalam kebencian. Dan setiap kata-kata serta tindakan, akan terselip rasa yang selalu bisa menyesakkan dada ini.

Itu mungkin mengapa orang bisa dengan mudah mengungkapkan kebenciannya, hingga mengajak orang lain turut serta larut ke dalam lautan kebencian. Dan orang baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, menciptakan potensi pada lingkungannya untuk berakar sebentuk kebencian yang serupa.

Rasa tidak suka akan sangat cepat muncul pada diri seseorang, apalagi ketika dipercikkan oleh orang dekat atau orang yang dipercayai. Saya rasa ini bukanlah sesuatu yang baik yang bisa muncul di masyarakat. Tapi toh kita bisa mendengarkan berita bahwa pertentangan hingga pertikaian tidak hanya individu namun juga kelompok masyarakat tidak jarang terjadi karena faktor dendam dan kebencian – tak peduli apapun alasan yang melandasi.

Saya tahu bagaimana rasanya sebuah kepercayaan disalahgunakan, sebuah ketulusan yang disalahartikan, bahkan beberapa hal yang lebih ekstrem yang tiba-tiba saja dapat mendidihkan sesuatu yang begitu pekat di dalam diri kita bernama rasa tidak suka yang merupakan benih dari kebencian.

Rasa ini bukanlah sesuatu yang bisa dilepaskan begitu saja, ia lekat dan bisa memanas dengan cepat, meledak dalam amarah, bisa jadi sumpah serapah atau bisa jadi bogem mentah. Dan setiap orang bisa merasakannya, dapat mencicipinya dalam kehidupan ini, karena ini bukanlah sesuatu yang mahal yang hanya bisa dijangkau kalangan tertentu saja.

Dan bayangkan bagaimana jika didihan ini menyebar luas dalam kelompok masyarakat, tentu saja semakin banyak luapan panas ini bisa menjadi seperti gunung vulkanik yang siap meletus kapan saja. Kekacauan bisa menjadi pemberhentian berikutnya. Dan ini bukanlah sesuatu yang diinginkan orang-orang sebagai sebuah bagian dari perjalanan hidupnya.

Bahkan ketika saya tahu betapa bahayanya perasaan benci yang hadir dalam diri kita. Saya sendiri tidak pernah berusaha mengontrol, memerangi ataupun menaklukkan kebencian dalam diri saya – itu hanya akan menciptakan bentuk kebencian lain, ketidaksukaan yang lain terhadap rasa yang ada di dalam diri saya. Dan kebencian yang itu dan yang ini tidak berbeda bahayanya.

Ketika saya berjalan dan memanggul sejumlah besar karang yang tidak akan pernah saya gunakan dan hanya membebani diri saya, maka ketika menyadari hal itu, apa yang akan saya lakukan? Ya, tentu saja saya tidak perlu menghujat karang, memeranginya karena menjadi beban hidup saya. Cukup lepaskan saja, buang saja, dan langkah akan menjadi ringan. Dan ini bisa terjadi secara alami, hanya ketika saya bisa menyadari bahwa karang itu hanyalah beban belaka – dan setelah melepaskannya maka langkah saya bisa menjadi lebih ringan.

Demikian pula rasa benci, saya tidak punya waktu untuk mengontrol kebencian, tidak ada waktu juga untuk mengontrolnya, mengapa saya mesti melakukannya jika saya bisa melepasnya langsung tanpa perlu basa-basi yang sia-sia. Kecuali saya tidak mampu melihat betapa esensialnya berjalan tanpa beban, dan betapa beban kebenciannya adalah sesuatu yang sia-sia, maka saya mungkin akan melekat selamanya pada kebencian itu. Tapi hanya ketika kesadaran akan betapa sia-sianya kebencian itu hadir, maka secara alaminya kebencian akan luntur dengan sendirinya, dan secara alaminya kebencian tidak akan memiliki kesempatan menjangkiti lingkungan di sekitar saya.

Kadang orang setengah tidak percaya dan bertanya, “Apa kamu tidak membencinya, rasanya tidak mungkin kamu tidak membencinya?”, dan sebenarnya jawaban untuk itu sederhana, “Ya ya…, mungkin saya pernah membencinya, dan mungkin saya akan membencinya di kemudian waktu, tapi tidak sekarang, saya hanya tidak sempat membenci saat ini dan saya tidak perlu, jika ada kebencian saat ini, saya tidak akan sempat menghidangkannya secangkir teh atau kopi yang akan membuatnya betah bersama saya, jadi toh dia akan pergi dengan sendirinya.”

Kebencian mungkin akan datang pada seseorang, tidak ada manusia yang bisa mengetahui masa depan. Namun jangan tambah kekhawatiran akan kebencian itu hadir.

Sebagai admin blog, saya juga kadang mendapatkan tanggapan bernada kebencian pada pihak-pihak tertentu atau golongan tertentu. Saya tentu saja tidak bisa membiarkan tanggapan seperti itu ada. Dan saya akan menghapusnya. Saya tidak percaya tanggapan seperti itu bisa menyelesaikan isu nyata yang dilontarkannya, sementara ia sendiri tidak dapat menyelesaikan isu nyata di dalam dirinya sendiri – yaitu kebencian!

Manusia selayaknya hidup dalam kebebasan, yang bermakna juga bebas dari kebencian. Jika Anda sulit menemukan sesuatu yang bisa Anda pegang di saat badai kebencian melanda, mungkin Anda perlu mengenal mengalah. Walau itu bisa jadi pada akhirnya tidak memberikan bantuan apa-apa selama esensi kebencian itu tidak tampak.

  Copyright secured by Digiprove © 2010 Cahya Legawa

21 tanggapan untuk “Tak Usah Kebencian Disebar”

  1. Bagaimana jika sebuah kepercayaan yang dikhianati dan meninggalkan rasa tidak percaya yang tidak bisa dikembalikan lagi menjadi percaya?

    Kebencian mungkin bisa dihilangkan, tapi bagaimana menumbuhkan rasa percaya setelah pengkhianatan?

    Atau mungkin itu perkara lain.

    Suka

    • Bli Wira,
      Mungkin kepercayaan bukanlah sesuatu yang nyata yang ada dalam sebuah fakta kehidupan, tapi lebih pada sebentuk pendapat dan opini dalam batin seseorang. Jika ternyata opini itu salah tidak sesuai dengan fakta, tentu saja akan gugur. Dan seperti daun yang gugur tidak akan bisa dipasangkan kembali pada tangkainya, memang begitulah hukum alamnya. Jangan dipaksakan.

      Tapi bukan berarti kita mesti membenci karena memang fakta berkata lain. Kepercayaan itu seperti sebentuk sifat posesif, jika kehilangan – ya, rasanya memang tidak akan pernah nyaman.

      Suka

  2. Jika menyangkut blog, dan tulisan kita mendapatkan tanggapan negatif, bahkan out of focus, yah itu bagian dari risiko. Untunglah fungsi admin bisa menyaring. Tapi kalau terlalu banyak repot juga. Sekali lagi namanya juga risiko… Ruang kebebasan yang kita buka dipakai untuk menebar kebencian bahkan kadang nggak nyambung sama topik.

    Suka

    • Kalau narablog beberapa saya rasa masih bisa mengelola blognya dan menangani spam, tapi media berita yang seringkali membuka borang tanggapan justru tidak mengelola hal ini secara baik, sehingga seringkali malah memperuncing kebencian jadi permusuhan.

      Ah…, hanya bisa menghela napas panjang.

      Suka

  3. Ujung-ujungnya dikaitkan dengan blog juga…ha..ha..ha..

    Iya tuh. Saya beberapa kali mampir ke blog yang isinya cukup menohok tajam. Tapi sebagian masih bisa saya nilai sebagai wujud kritikan membangun. Cuma gaya bahasanya saja yang cukup bikin panas kuping 😛

    Kalau yang murni menyiratkan kebencian, pernah juga sih saya baca. Semoga saya tidak sampai begitu deh. Belakangan ini saya lebih berhati-hati saja saat menulis komentar maupun posting.

    Suka

    • Mas Is,
      Jika orang mengkritisi dengan tajam, maka ia juga harus terbuka dikritisi dengan lebih tajam lagi. Jika tidak hanya akan muncul debat kusir yang tidak memberikan solusi maupun resolusi. Selama orang bisa adil terhadap sikapnya sendiri, sih tidak ada masalah mengkritisi dengan tajam – Bli Dani sering begitu (he he…, semoga dia ndak baca) – tapi dia bisa adil dan tidak benci sama sekali dengan orang yang mengkritik ataupun dikritik.

      Kritisi bisa jadi sebuah wujud perhatian atau suka yang sedang "gregetan", tapi belum tentu kebencian, dan mungkin memang tidak perlu kebencian.

      Rasanya sedikit narablog yang sudah lama berkecimpung di dunia blog seperti Mas Is, Mas Ris, Pak Aldy, Mas Ganda, dan lain-lain yang saya kenal memberikan kritisi karena landasan benci, tapi semua yang biasanya masuk ke saya selalu bersifat membangun, dan saya rasa itu memang diperlukan dalam salah pandangan narablog untuk selalu saling berbagi :).

      Suka

    • Setuju mas.
      Sebelum mengkritik harus 'mengaca' dulu pada diri sendiri. Tapi jika isi kritikan pernah juga dilakukannya di masa lalu, saya rasa tidak perlu sampai keterlaluan dalam menulis kritikannya. Apalagi sampai menyiratkan kebencian yang amat sangat. Toh, ia sendiri dulu pernah melakukannya 😀

      Yang saya sedikit heran (seperti komentar Pak Aldy di atas), hal-hal kecil kok kesannya terlalu dipermasalahkan. Bahkan sampai terkesan sangat membenci hal yang sebenarnya sangat sepele tersebut. Itu diperparah dengan pemahaman yang masih dangkal atau parsial terhadap materi kritikannya. Jadi blunder deh akhirnya 🙂

      Suka

    • Mas Is,
      Kalau masalah kecil kemudian dibesar-besarkan, saya rasa itu kita kembalikan pada dasar karakter seseorang. Kalau sudah berurusan dengan karakter yang keras dan tidak bersedia membuka diri untuk menggali masalah sesungguhnya secara objektif tanpa perlu emosi berlebih, saya rasa saya akan angkat tangan saja.

      Suka

  4. ????? ???? ????? ??(???*)(*???)???(????????????????)?
    benci kan Bli hal biasa yang muncul dari hati manusia.. karena punya perasaan nggak suka akan suatu hal. Saya klo mau benci orang ya benci aja.. cuma sebentar juga hilang klo tiba2 orang itu nyapa atau senyum dikit aja.. langsung dech bencinya menguap dan hilang…
    Tapi memang sebaiknya benci tidak meracuni hati kita… tapi sulit juga…
    (??

    Suka

    • Fad,
      Senyum memang obat yang baik untuk beberapa hal, tapi kerasnya hati manusia tidak ada yang bisa mengukur. Yah, benci itu sesuatu yang sulit-sulit gampang…

      Suka

  5. Memang seharusnya kebencian itu tidak dipelihara namun ada juga sekelompok orang yang memang melihat potensi kebencian itu bisa menjadikan pundi-pundi eang nya bertambah. Saya pernah mengenal seseorang yang kerjaan nya membuat suasana keruh. Kalau ada konflik malah dikipas-kipasi dan yang aku tahu dia sudah lulus kursus manajemen konlik dengan nilai memuaskan 😆
    Btw, kadang aku mau komentar disini agak binggung sekarang, gak tahu kenapa yang jelas ada yang beda dari kemarin2. (ada banyak form yang harus saya isi)
    Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan

    Suka

    • Pak Sugeng,
      Rasanya yang 'berprofesi' seperti itu selalu ada – memancing di air keruh.

      #OOT, borang tanggapannya masih sama seperti dulu Pak Sugeng, memasukkan nama dan alamat surel, kalau alamat website bisa dimasukkan sebagai pilihan (tidak muncul langsung).

      Suka

  6. Menyimpan kebencian sangat meracuni hati …
    buang jauh kebencian dan ganti dengan perdamaian …
    Peace!

    Salam dari Solo

    Suka

  7. Ketemu juga post comment-nya? ngumpet…
    Kalau kita membenci seseorang itu sama halnya dengan memberikan racun ke pikiran kita, semakin dalam kebencian kepada siapapun orangnya akhirnya timbul dendam, kalau sudah begitu jadilah kita orang tidak normal, jadinya kalau meliat dia sedang senang kita sakit, meliat dia sakit kita senang?? nggak waras toh jadinya

    Suka

    • Selain meracuni pikiran, menanam kebencian juga meracuni hati …
      tinggalkan kebencian dan tebarkan kedamaian …
      Peace …

      Salam dari Solo

      Suka

  8. kebetulan saya ga pernah mau benci sama orang, soalnya gada untungnya sih…mending banyak teman,sahabat dan saudara daripada banyak musuh..

    Suka

  9. Sepakat Mas, memelihara kebencian dan menyebarkannya kepada pihak lain sama saja dengan menggali liang lahat untuk diri sendiri.

    Saya sering tidak mengerti, mengapa karena permasalahan yang sangat sederhana seseorang bisa sedemikian dahsyat bencinya. Bahkan hanya karena perbedaan pendapat atau tidak sepaham, seseorang tega menyebarkan fitnah agar orang lain turut serta membenci. Mungkinkah rasa benci itu berhubungan langsung dengan tingkat pengetahuan yang rendah dan wawasan berfikir yang sempit? (terlepas dari sifat bawaan)

    Suka

    • Pak Aldy,
      Entahlah Pak, mungkin karena orang ingin merasa aman, dan untuk merasa aman, dia mesti berada pada pihak yang benar, meski itu benar secara parsial atau dengan membangun pembenaran sendiri.

      Suka

  10. Rasanya memang manusiawi bila seseorang itu ingin mencari dukungan. Oleh karena itu seringkali mereka (atau bahkan kita sendiri) menebarkan kebencian akan sesuatu kepada orang lain agar orang lain pun turut membencinya.

    Kalau benci spam dan kemudian posting di blog dg tema "memerangi spam" itu namanya menebar kebencian juga ga ya mas? 😀

    Suka

    • Rismaka,
      Ya, mencari dukungan dan kebencian adalah hal-hal yang manusiawi 🙂 – menyadarinya juga manusiawi.

      Mas Rismaka, ada masalah-masalah dalam kehidupan yang memang mesti diselesaikan, tapi tidak dengan kebencian di dalamnya. Saya tidak suka spam, karena itu adalah hal yang tidak perlu, lalu saya hilangkan si spam – tapi toh tidak perlu sampai membenci kan Mas Ris? Nah kalau judul, biasa-lah, strategi marketing, he he… :).

      I think we still should solve our daily problems, but with smile, not hatred :D.

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.