Memasang Software dengan Nyaman di Ubuntu

Jika openSUSE memiliki YaST sebagai salah satu basis manajemen software-nya, maka saya bisa melihat bahwa Ubuntu Software Center memberikan kenyamanan serupa. Di dalam jendela Ubuntu Software Center, kita bisa memilih program apapun yang diinginkan asal tersedia, baik dari versi yang didukung Ubuntu dan komunitasnya, versi yang berasal dari partner kerja Cannonical seperti Adobe, hingga ke peranti lunak proprietary yang dapat dibeli di sana.

Hal ini akan sangat memudahkan pengguna Ubuntu untuk memasang dan membongkar program yang mereka inginkan, seperti add/remove software milik Windows. Keterangannya pun lumayan lengkap, setidaknya itu jenis software apa, dan data singkat software. Sayangnya memang tidak seperti Install/Remove Software milik openSUSE, kita tidak bisa melihat bahwa itu tepatnya berasal dari resource yang mana, jika di openSUSE – berasal dari repo yang mana.

Bahkan memasang peranti lunak ala Adobe AIR pun tidak sulit, hanya tinggal pilih “klik install”, sementara di openSUSE masih menggunakan command line. Ini sangat memudahkan para pengguna Linux Ubuntu itu sendiri. Rasanya nyaris sulit ditemukan kesulitan berarti saat menggunakan Ubuntu.

Jika memang ingin mulai melakukan eksplorasi dan migrasi dari Windows menuju Linux, maka Ubuntu adalah pilihan yang cocok. Atau Anda mungkin berpikir guna mencoba Linux Mint, turunan Ubuntu yang serba “Out of The Box“.

  Copyright secured by Digiprove © 2011 Cahya Legawa

20 tanggapan untuk “Memasang Software dengan Nyaman di Ubuntu”

  1. Untuk 'rolling release' seperti Arch Linux, yang paling terasa itu:

    1) versi (tahun) berapapun 'installer'-nya, bisa tetap di-'upgrade' ke versi terkini.

    2) dioptimasi (relatif stabil) untuk mesin i686 & x86_64. Tidak sekomplet Debian yang sangat multiplatform.

    3) tidak perlu ada ritual instal baru tiap 6 bulan. 🙂

    Suka

    • Bli Dani,
      Mungkin nanti setelah Tumbleweed openSUSE siap, baru akan mencoba bagaimana "rolling release", kalau sekarang ini baru sekadar ekstensi repo di 11.3.
      Yang paling terasa di versi non-rolling release adalah uji kesabaran untuk menunggu kompilasi sistem baru yang menarik setiap 8 bulan (openSUSE kan ndak 6 bulan sekali). Tapi lagi pula itu kan berarti bertahan bisa sampai 2 tahun, karena dukungannya kan bisa sampai selama itu untuk satu versi.

      Lalu pertanyaannya sebenarnya kalau mencari stabil, bukankah konsep yang terbalik dari rolling release akan jadi lebih baik, mungkin seperti 'Evergreen'?

      Suka

  2. Mas Cahya,

    Kalau tidak salah ingat, saat instalasi awal Arch Linux dulu, untuk pemasangan desktop Gnome saja sekitar 500Mb paket (tergantung paket apa saja yang akan dipasang) yang harus didownload. Itu pun masih pakai harap-harap cemas. 😦

    Nah, katanya setelah itu tinggal <code>pacman -Syu</code> untuk mendapatkan yang up to date.

    Suka

    • Mas Agung,
      Kayanya Ubuntu juga mirip begitu, saya bisa memasang cukup banyak hampir juga 500 MB, tapi kan selanjutnya Mas, lebih tenang sedikit.

      Suka

  3. Maaf mas, mungkin agak OOT.

    Saya berencana mau menginstall sistem operasi linux bersama dengan windows di laptop saya (intel core i3, memori 2 GB, VGA onboard). Kira2 bila windows dijalankan, apakah sistem operasi linux tersebut akan memakan memori atau performa?

    Lantas kira2 distro linux apa yang cukup lengkap, namun ringan dari pemakaian sumberdaya?

    Suka

    • Mas Rismaka,

      Pengguna Windows yang ingin menjalankan/mencoba Linux pertama kali bisa melakukan dua opsi pemasangan Mas.

      Pertama, memasang Linux di dalam Windows itu sendiri. Biasanya menggunakan peranti lunak virtual manager. Keuntungan cara ini adalah bisa mengontrol Linux, memasang, dan mencoba-coba tanpa khawatir merusak Windows terutama partisi. Kelemahannya, karena dijalankan di dalam Windows, maka resources akan terbagi dua. Untuk Linux separuh dan untuk Windows, ini akan menurunkan performa.

      Cara kedua adalah membuat partisi yang berbeda untuk Linux, misalnya HDD 80 GB, maka bisa dipecah 40 GB untuk Windows, dan kosongkan 40 GB untuk memasang Linux. Keuntungannya, karena sistemnya terpisah dari Windows, maka tidak akan mempengaruhi performa komputer saat dijalankan. Linux bisa menggunakan seluruh kemampuan CPU begitu juga Windows. Kelemahannya – mungkin hanya untuk yang memasang dual-boot pertama kali – kadang agak susah menentukan partisi untuk Linux itu sendiri.

      Mas Rismaka, semua distro rata-rata setara. Punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kalau mau yang relatig lebih lengkap, turunan Debian paling bagus, seperti Ubuntu atau Linux Mint. Jika ingin flexibelitas luas, turunan Gentoo biasanya yang diburu, seperti Sabayon. Jika ingin yang lebih standar dan klasik, yang berbasis Red Hat mungkin seperti Fedora dan openSUSE. Jika lebih ingin bisa menentukan dan membangun dari dasar hingga advance, maka distro ala Arch Linux atau Cakhra bisa dicoba. Atau mau yang canggih ala Slackware. Mungkin buatan dalam negeri seperti BlankOn dan IGOS?

      Tapi biasanya sih orang akan memilih Ubuntu karena paling mudah digunakan alias ramah pengguna, dan komunitasnya di Indonesia juga luas, sehingga mudah bertanya jika ada masalah. Kecuali Mas Ris menggunakan Netbook, maka versi Linux yang ramah Netbook mungkin bisa dipertimbangkan seperti Jolicloud, Ubiquity (milik Ubuntu), dan kalau tidak salah openSUSE punya Meegoo.

      He he…, kayanya banyak pilihan ya. Tapi Ubuntu cukup aman dipasang tanpa khawatir ada masalah banyak atau tidak. Setidaknya kalau data-data penting sudah dicadangkan lebih dulu.

      Suka

    • Hadooohh… panjang bener. Malah bingung milihnya 😀

      Baiklah, mungkin akan saya putuskan ubuntu yang akan saya pasang. Nah, bedanya Ubiquity dengan ubuntu itu sendiri apa? Mas cahya ada referensi untuk mengunduhnya dalam bentuk ISO image?

      Trims sebelumnya 🙂

      Suka

    • Mas Ris,

      He he…, saya juga bingung kok :D.

      Oh maaf, maksud saya Ubuntu Unity, yang didesain khusus netbook, membuat desktop-nya lebih sederhana untuk layar kecil, dan beberapa ikon yang didesain agar bisa pas jika menggunakan layar sentuh.

      Bisa langsung diunduh dari situs resminya Mas Is. Kalau dari Indonesia bisa diunduh dari server lokal di UI (http://kambing.ui.ac.id/) atau UGM (http://repo.ugm.ac.id), dan banyak lagi. Jika koneksi Internet terlalu lambat untuk mengunduh, bisa meminta dikirimkan CD instalasinya langsung ke Ubuntu secara cuma-cuma di https://shipit.ubuntu.com/.

      Tapi biasanya agak lama, bisa juga beli di Gudang Linux – tapi saya tidak pernah membeli dari sana.

      Suka

    • Mas Adi Rismaka,

      Data saya yang di windows XP aman-aman aja kok setelah saya install Ubuntu. Saya pakai partisi baru sih. Pakai dual boot juga. Jadi pas booting, ada list pilihan mau masuk ke sistem operasi mana.

      Untuk pemula dalam Linux, saya rasa Ubuntu adalah pilihan yang baik. Tidak sulit beradaptasi dengannya setelah bertahun-tahun terbiasa dengan antarmuka Wndows 😛

      Suka

    • Mas Ganda,

      Meego itu dirancang oleh Meego Community di dalamnya termasuk Linux Foundation, Intel, Nokia, Novell (penyedia openSUSE), ya bisa dibilang besutan Nokia juga :).

      Tapi openSUSE sudah mengeluarkan Meego untuk sistem operasi di Netbook. Ada juga yang menyebutnya Smeegol kalau tidak salah.

      Suka

    • Hoho…, Bro Ganda terus gOS dikemanain?

      BTW saya masih betah dengan Lucid Lynx yang LTS itu — support-nya lebih lama hehe. 😀

      Suka

    • Mas Cahya,

      Hahai…, belum ada koneksi Internet yang mumpuni untuk mencoba distro RR ('rolling release') lagi. 😦

      Atau menunggu bantuan konsultan saja kali ya? Hehehe. 😀

      Suka

    • Mas Agung,
      Bukannya biasanya "rolling release" itu lebih ringan di bandwidth, rasanya itu salah satu alasan Bli Dani memilih Arch.

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.