Katanya sih alam ini sebuah titipan pada manusia yang menjadikan tempat hidup & bernaung. Saya rasa saya sering kali tidak merasa nyaman jika terlalu jauh dari “ruang hijau”, begitu pula ketika beberapa kali saya berkunjung ke daerah ibu kota Jakarta, meski hanya beberapa jam atau beberapa hari, rasanya sangat cepat sekali menyesakkan pikiran. Sehingga kadang saya merasa terheran-heran, bagaimana orang bisa tinggal di wilayah yang minim ruang hijaunya.
Meski pendapat saya mungkin sering kali akan bertentangan dengan mereka yang sungguh-sungguh bisa mencecap kenikmatan metropolitan ataupun megapolitan. Atau misalnya oleh yang sudah terlalu lama bersentuhan dengan ruang hijau belaka, misalnya oleh Pak Aldy. Namun tetap saja bagi saya ruang hijau itu perlu.
Di masa-masa kuliah dulu, dengan suasana panas yang selalu berdendang melantun ke segenap sudut-sudut Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Saya sering kali terselamatkan oleh ruang hijau di kampus. Saya pun juga terselamatkan karena tinggal di pedusunan yang memang memang mencukupi ruang hijaunya.
Menata ruang hijau perlu tidak hanya keterampilan, namun juga komitmen. Misalnya saja di kampus saya, di antara ruang yang semakin sempit dan pembangunan pelbagai fasilitas baru. Maka ruang terbuka dan ruang hijau juga mesti mendapatkan porsinya. Saya rasa konsistensi & komitmen semacam ini dapat menjaga keseimbangan antara manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Perumahan juga demikian adanya, saya tahu harga tanah dan bangunan sekarang tidaklah murah. Tapi tetap saja ada orang-orang kaya yang bisa membuat saya terkejut dan keheranan, setelah membangun rumah besar nan megah, ternyata halaman dan ruang hijaunya hanya secuil di depan atau di belakang saja. Bahkan perumahan pun banyak didesain seperti itu.
Adakah kemungkinan kita sebentar lagi seperti peradaban-peradaban di dunia Barat, yang menghabiskan lahan hidupnya untuk perumahan, tempat kerja dan area hiburan tanpa menyisakan ruang hijau. Dan kemudian membuat nota kesepahaman dengan negara-negara yang masih memiliki hutan agar tidak menebangi hutannya, seakan-akan membeli napas (baca: oksigen) dari negara-negara tersebut.
Di Bali, tanah kelahiran saya, ruang hijau-pun semakin menipis. Pariwisata yang dulu memberikan kontribusi banyak pada pembangunan, kini malah menjadi sebuah industri yang semakin mengikis alam pulau itu sendiri. Vila, hotel, resort, dan pelbagai bangunan yang ditujukan untuk industri pariwisata sudah membludak. Jika Anda menyeberang dari Jawa ke Bali melalui jalur laut dan darat, akan terlihat sekali perubahan ini dari tahun ke tahun.
Ruang hijau juga mulai terkikis di Bali karena penambahan ruas jalan, kemapanan yang ada justru menambah sesak jalan-jalan utama di pulau itu. Kini kemacetan menjadi pemandangan wajar, berbeda sekali dengan 20 tahun silam, apalagi 20 tahun sebelumnya. Dapatkah kita bayangkan apa jadinya Bali 20 tahun lagi? Dan juga tentunya tempat-tempat lain juga di nusantara.
Sayangnya, yang menjadi ancaman bagi ruang hijau adalah tidak lain dari makhluk (yang konon mulia) yang bernama manusia. Karena tidak ada hewan lain yang menebang pohon untuk dijadikan pangan, sandang dan papan plus hiburan & pemuasan bagi kaumnya. Dan saya rasa, selama laju pertambahan penduduk di muka ini senantiasa bertambah, maka ancaman itu akan senantiasa juga semakin menjadi-jadi.
Jadi jika kita menemukan bahwa dunia telah terlalu sesak, dan ruang hijau semakin menipis, maka jangan salahkan siapa-siapa, ambillah sebuah cermin dan hadapkan diri anda, dan Anda akan menemukan tokoh yang bertanggung jawab atasnya. Mungkin dengan demikian masing-masing dari kita bisa memberikan perhatian lebih pada semesta.
Tinggalkan Balasan