Salah satu fungsi blog yang banyak digunakan oleh narablog adalah sebagai buku harian. Saya percaya bahwa blog bisa menjadi alternatif dari sebuah diary yang ditulis dan dibawa ke mana-mana. Tunggu dulu, rasanya saya pernah menulis seperti ini sebelumnya, ah…, tapi sudahlah, biar saya menulisnya kembali.
Saya membayangkan diri saya duduk di sebuah bus dalam perjalanan panjang menuju rumah. Jika saya ingin mencatat perjalanan saya itu pada sebuah lembaran, tentunya akan sangat nyaman jika kita memiliki buku harian. Atau di sisi lain, saya akan mengambil ponsel mungil saya, mengetik beberapa kalimat dan push it through email, dan saya sudah menulis buku harian saya secara daring.
Saya sudah lama menggunakan layanan Posterous untuk mengelola buku harian secara daring, hanya saja tidak selalu saya gunakan. Tidak banyak alasan khusus, hanya saja Posterous lebih mudah digunakan untuk fungsi-fungsi seperti ini, pengiriman tulisan via surel-pun lebih terjamin keamanannya.
Buku harian apapun bentuknya, sebenarnya bukan konsumsi publik namun tidak mesti menjadi hal yang super confidential, sehingga blog sebagai sebuah catatan/buku harian bukanlah sesuatu yang pas untuk dipromosikan atau dielu-elukan untuk diikuti – siapa juga yang tertarik menjadi diary follower – nanti justru menciptakan kultus yang tidak sehat.
Itulah mengapa saya membuat blog sebagai sebuah buku catatan secara terpisah dari blog di mana saya menuangkan ide-ide yang memang sengaja saya bagikan, seperti tulisan ini misalnya.
Namun tentunya saya tidak berkata bahwa narablog yang mencampur adukan tulisan yang berupa catatan harian dan tuangan idenya ke dalam satu blog itu tidak benar. Ada banyak narablog yang mampu menuangkan catatan hariannya dan meramunya dengan pemikiran-pemikiran unik sehingga nyaman dibaca, sebut saja salah satu, misalnya yang gurih untuk dibaca adalah “Blogombal” yang diracik oleh Antyo Rentjoko.
Bagi saya pribadi, catatan harian hanya sekadar mengisi kekosongan waktu dan menulis kembali apa yang baru saja dilewati. Itu hanya akan menjadi sebuah kubangan celoteh yang tidak bermakna, tertitip waktu untuk kemudian ditinggalkan oleh perjalanan hidup di lembaran yang baru.
Tinggalkan Balasan