Hari ini adalah Hari Pendidikan Nasional, tentunya perjuangan jatuh bangunnya mereka yang memperjuangkan pendidikan di negeri ini tidak dapat dihitung dan diukur lagi, dan saya rasa memang tidak perlu, toh mereka yang sungguh-sungguh memperjuangkan pendidikan bagi bangsanya tidak pernah merasa perlu usahanya dihitung dan diukur – yang kemudian mungkin hanya akan menjadi celah-celah bagi proyek-proyek “orang atas” dan membuang lebih banyak potensi ke saku-saku tak kasat mata yang sebenarnya mampu digunakan untuk memperbaiki pendidikan di negeri ini.
Saya termasuk yang sudah lelah dan pasrah terhadap kondisi pendidikan di negeri ini, sekolah elit dinilai dari prestasi yang berhasil diraih, banyak tersedia ekstrakulikuler, mampu membawa siswanya ke jenjang pendidikan berikutnya yang tak kalah bergengsinya. Tapi mungkin acap kali lupa bahwa pendidikan itu sendiri merupakan bagian dari kemanusiaan.
Saya termasuk yang mengeluh dengan helaan napas panjang dengan program wajib belajar, lha, belajar kok wajib? Memang sih salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi kalau mewajibkan, ya tolong didukung juga kan mestinya, bukannya membangun sekolah bagi anak-anak jalanan malahan membangun gedung mewah dan asyik berplesir-ria ke mancanegara sebagaimana yang ditunjukkan bagian negara yang mewakili rakyat yang seharusnya dicerdaskan.
Inilah sebuah negeri yang lucu, namun saya tidak akan berbicara banyak, karena saya sendiri tidak memiliki solusi nyata untuk masalah negeri ini. Ada puluhan, bahkan mungkin ratusan orang hebat telah bersuara, itu pun hanya seperti berbicara pada angin yang hanya singgah untuk berlalu.
Ada banyak yang memperjuangkan memperbaiki wajah pendidikan kita, sementara lainnya… ah…, mungkin seperti “Sajak Palsu” (1998) oleh Agus R. Sarjono berikut ini…:
Selamat pagi Pak, selamat pagi Bu, ucap anak sekolah dengan sapaan palsu.
Lalu mereka pun belajar sejarah palsu dari buku-buku palsu.
Di akhir sekolah mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka yang palsu.Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru untuk menyerahkan amplop berisi perhatian dan rasa hormat palsu.
Sambil tersipu palsu dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan nilai-nilai palsu yang baru.Masa sekolah demi masa sekolah berlalu, mereka pun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu.Dengan gairah tinggi mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu.
Mereka saksikan ramainya perniagaan palsu dengan ekspor dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga pinjaman dengan izin dan surat palsu kepada bank negeri yang dijaga pejabat-pejabat palsu.
Masyarakat pun berniaga dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu.
Maka uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam nasib buruk palsu.Lalu orang-orang palsu meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan gagasan-gagasan palsu di tengah seminar dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu.
Hendak ke mana pendidikan di negeri ini?
Tinggalkan Balasan