Bhyllabus l'énigme

A Cahya Legawa's Les pèlerins au-dessus des nuages


Perlengkapan Yang Dibawa Dokter Muda

Ini hanya tulisan nostalgia, jadi bukan sebuah standar yang mesti digunakan dalam menempuh dunia pendidikan kedokteran. Beberapa tahun lalu, ketika menyelesaikan pendidikan kedokteran strata satu (sarjana), setiap mahasiswa akan selanjutkan memasuki dunia pendidikan profesi dengan gelar sarjana kedokteran yang sudah melekat bersamanya.

Setiap orang (kebanyakan tentunya), sudah mendengar terlebih dahulu bagaimana “neraka”-nya pendidikan profesi itu. Apalagi jika senior-senior yang usil sempat membisiki beberapa kisah yang dapat membuat nyali “nyungsep” hingga membuat wajah yang mendengarnya pucat. Meski demikian toh, pada akhirnya jalan itu mesti dilalui.

Sebelum memasuki hari “H” memulai pendidikan profesi, ada dua hal yang mesti dilewati dulu. Pertama adalah prosesi pengucapan “Janji Dokter Muda“, dan yang lain adalah mempersiapkan semua kebutuhan, termasuk perlengkapan yang diperlukan saat pendidikan profesi.

Dokter muda, tentu saja tidak masuk begitu saja ke dunia profesi, karena semuanya memerlukan etika profesi, etika medis dalam menjalankan pendidikan ini. Semua itu akan tertuang dalam “Janji Dokter Muda“, seperti misalnya tidak akan membeda-bedakan pasien berdasarkan kedudukan dan status sosial, dan sebagainya.

Meski demikian, sorotan masyarakat terhadap profesionalisme dokter muda selalu ada. Sebut saja yang baru-baru cukup hangat di Internet sebagaimana tersaji dalam tulisan dr. Deddy Andaka, “Sandal Jepit dan Profesionalisme Dokter“.

Lalu bagiaman dengan hal selanjutnya, yaitu perlengkapan yang perlu dipersiapkan untuk di bawa dokter muda? Sebagian besar peserta didik sudah akan memahami apa-apa saja yang mereka perlukan selama pendidikan profesi, dan sebagian menyiapkan alat-alat tersebut jauh-jauh hari sebelum pendidikan profesi dimulai. Karena tentunya akan digunakan juga kemudian, setelah pendidikan profesi berakhir.

Coba simak gambar berikut.

Peralatan medis

Gambar di atas, adalah contoh beberapa alat kedokteran yang saya miliki dan sebagian biasanya selalu di bawa ke rumah sakit jika sedang bertugas atau menjalani pendidikan profesi.

Ada sfigmomanometer (kiri bawah, umum dikenal juga dengan nama tensi meter) yang tipe pegas, karena lebih mudah dan praktis untuk dibawa ke mana-mana. Kemudian ada stetoskop, penlight (senter mini), termometer untuk mengukur suhu tubuh, dan palu refleks. Jangan lupa juga pita ukur, meski tidak terlalu sering dibutuhkan, namun juga sangat esensial, apalagi jika pemeriksaan melibatkan pengukuran antropometri.

Selain membiasakan diri untuk menggunakan alat-alat tersebut, dokter muda juga biasanya akan berhati-hati dalam menggunakannya, dan pasca menggunakannya. Jika sembarangan meletakkan dan kemudian hilang, ah…, untuk membelinya kembali benar-benar akan mengguncangkan neraca anggaran belanja, setidaknya untuk yang memiliki anggaran minimalis.

Update (13/02/2020)

Hampir sembilan tahun setelah tulisan ini saya muat. Kini giliran saya memerhatikan para dokter muda zaman sekarang.

Sekarang dokter muda membawa setidaknya gawai untuk mengakses informasi medis dan sekaligus alat konsultasi dengan senior mereka. Beberapa juga membawa pulse oxymetri digital. Model termeter digital pun berubah, dari yang sederhana seperti zaman saya, kini memanfaatkan teknologi infra merah.

 

Iklan


9 tanggapan untuk “Perlengkapan Yang Dibawa Dokter Muda”

  1. termometer ilang melulu 😦

    Suka

    1. Pokoknya semua alat mesti diberi identitas biar ndak tertukar atau dikira milik instalasi :D.

      Suka

  2. yang bentuknya seperti gunting kok ada bermacam macam 😀

    Suka

    1. Pak Jarwadi, ya karena fungsinya juga kan bermacam-macam :D.

      Suka

  3. Yang seperti huruf T itu kirain apa ternyata palu reflek 😆

    Kalau barang2 itu ilang kan gampang untuk mencari pengantinya. Tinggal di kompensasi dari pembayaran pasien yang datang, karena saya pernah ke dokter gigi yang baru membeli kursi pasien baru. Lha pas saya membayar dikenakan harga baru karena duduk di kursi baru terdbut 😦

    salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan

    Suka

    1. Pak Sugeng, dokter muda kan tidak mendapatkan kompensasi jasa medis 🙂 – jadi kalau mau beli, ya pakai anggaran sendiri. Saya memang pernah dengar kalau biaya medis memang tergantung fasilitas yang digunakan pasien, seperti pengguna ruang warat inap VIP tentang beda tarif yang dikenakan dengan mereka yang dirawat di bangsal kelas III misalnya. Tapi tidak pernah dengar kasus seunik kursi itu.

      Suka

    2. bayaran koas itu cuma “makasih ya de..” hahaha

      Suka

  4. kalau anak fkg mah bawaannya udah kayak orang pindah

    Suka

    1. Wah, bisa jadi tuh Bu. FKG memang lebih banyak peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan.

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

About Me

Hello, I’m a general physician by day and a fiction and blog writer by night. I love fantasy and adventure stories with a cup of tea. Whether it’s exploring magical worlds, solving mysteries, or fighting evil forces, I enjoy immersing myself in the power of imagination.

I also like to share my thoughts and opinions on various topics on my blog, where I hope to connect with like-minded readers and writers. If you’re looking for a friendly and creative person to chat with, feel free to message me.

Buletin

%d blogger menyukai ini: