Xubuntu dan Lubuntu Sebagai Alternatif Ubuntu

Ubuntu sebagai salah satu distro Linux yang cukup banyak penggunanya, juga memiliki beberapa varian yang dikembangkan oleh komunitasnya. Salah satu tujuannya adalah mengimplementasikan sistem operasi Ubuntu pada lingkungan dekstop yang lebih ramah sumber daya, atau bisa bekerja pada komputer dengan spesifikasi rendah, terutama untuk komputer lama dan netbook, yang misalnya hanya memiliki RAM sebatas 512 MB, atau pada prosesor yang menggunakan arsitektur ARMs.

Setidaknya untuk kondisi seperti ini, ada dua pilihan distro yang dibangun oleh komunitas yang dapat dijadikan pilihan, yaitu Xubuntu dan Lubuntu.

Pertama adalah Xubuntu, dibuat dengan menerapkan Xfce. Pertama kali muncul pada tahun 2005, melalui derivasi Ubuntu 5.10 Breezy Badger. Xubuntu dikatakan dapat bekerja pada RAM 128 MB dengan rekomendasi RAM 256 MB.

Xubuntu menurut beberapa penuturan penggunanya, memiliki kualitas dekstop yang cukup “eye candy”, istilah manis digunakan dan mudah dipahami. Namun meskipun ditujukan untuk membentuk desktop yang ringan, seringkali aplikasi yang berbasis Gnome tetap saja membuat dekstop ini hanya sedikit lebih ringan daripada menggunakan Ubuntu.

Berikutnya adalah Lubuntu, yang konon saat rilis Ubuntu 10.10 nanti akan dijadikan distro resmi tersendiri oleh Canonical, mungkin karena Lubuntu lebih memberikan prospek bagi desktop yang ringan untuk digunakan.

The objective of the lubuntu project is to create a faster, more lightweight and energy saving variant of Ubuntu by using LXDE, The Lightweight X11 Desktop Environment, as its default GUI. The ultimate goal of the lubuntu project is to earn official endorsement from Canonical. Members of the lubuntu team take care of LXDE and other packages that are part of the lubuntu installation. Please join us and contribute creating a lighter, less resource hungry and more energy-efficient Linux Desktop. It is our goal to make Linux run on more cost-effective machines and MIDs besides Intel CPUs based on ARM and Mips.

Lubuntu 11.04 sendiri dikatakan hanya memerlukan RAM 128 MB, namun untuk pemasangan dari live-cd dengan tampilan grafis, setidaknya memerlukan memori 256 MB. Lubuntu tidak lagi mendukung jenis CPU: VIA C3, AMD K6, National Semiconductor, AMD Geode. Jika Anda menggunakan CPU jenis ini, maka pilihan kembali pada edisi lawas Lubuntu 10.04 yang merupakan edisi LTS (dukungan jangka panjang).

Lubuntu

Bagi mereka yang memang ingin menggunakan sistem operasi ringan tanpa terlalu mementingkan efek tampilan grafis, maka Lubuntu biasanya lebih disarankan dibandingkan dengan Xubuntu. Karena menurut banyak pengalaman, Lubuntu jauh lebih ringan dibandingkan dengan Xubuntu.

35 tanggapan untuk “Xubuntu dan Lubuntu Sebagai Alternatif Ubuntu”

  1. tapi, klo di saya unitynya ngak jalan. malah desktop ubuntunya ancur berat. apakah ada spesifikasi yang kurang dari PC saya ???

    Suka

  2. saya sudah kecewa dengan ubuntu 11.04 dan kubuntu 11.10 >:(. di coba di virtualbox biasa2 aja. pas langsung di install di PC, desktopnya udah kaya kota Hirosima baru di bom atom. untung aja saya install ubuntu dan kubuntu pake wubi, jadi bisa di uninstall lewat windows
    saya sekarang mau mencoba lubuntu dan xubuntu,siapa tau hasilnya berbeda dari ubuntu dan kubuntu. btw, xubuntu dan lubuntu udah include wubi blum ???

    Suka

    • Melvin, kalau di VBox kan jadinya mirip tampilan yang roll-back, seperti Gnome standar, tapi kalau ke PC dengan grafis yang bagus langsung jadi Unity 🙂 – saya kira Unity cukup bagus. Ntahlah, saya tidak pernah memasang dengan Wubi, biasanya saya partisi manual, sehingga bisa diloading dengan GRUB 1 dari openSUSE, jadi kalau ndak suka, bisa dihapus dengan mudah sewaktu-waktu.

      Kalau Lubuntu sudah didukung resmi oleh Canonical, jadi mungkin saja sudah, tapi kalau Xubuntu setahu saya masih buatan komunitas. Yah, cara klasik, lihat halaman fiturya saja :D.

      Suka

    • Mas Ardianzzz, COMPASS yang aplikasi pengembangan <code>Java</code> itu ya? Wah, ilmunya jauh, saya hanya menggunakannya sebagai OS sehari-hari saja :).

      Suka

    • Bukan, COMPASS yang saya maksud adalah aplikasi Ruby. Fungsinya sebagai CSS preprosesor. TKP: compass-style.org

      Suka

  3. distro ringan sebagai anak turun ubuntu yg pernah aku cb baru puppy linux bli. waktu itu yg anak turunanya lucid

    Suka

    • yang aku suka dari si puppy ini, walau ringa dan "kecil" dia juga mendukung hampir semua perangkat keras terkini juga, bli. seperti induknnya, hanya saja jauh-jauh lebih "kecil" dan "ringan"

      Suka

  4. Waduh, kayaknya Unity 2D emang sedikit buggy deh. Kadang tampilan menu-barnya juga nggak muncul saat dihover 😦

    Suka

  5. @Iskandaria

    Oh! punyaku koq masih menyatu sama jendela/wndows yg dibuka, tapi harus di hover. Apa karena punyaku netbook ya?

    Suka

    • Wah, kok beda ya.. Tapi Unity yang saya punya itu versi 2D sih. Kalo yang 3D gak tau juga, soalnya VGA saya nggak support Unity 3D 😦

      Mas Padly pakai Unity 3D atau 2D?

      Suka

  6. Desktop Ubuntu sekarang (Unity) emang baru dan butuh penyesuaian. Namun saya pikir baik Unity ataupun GNOME 3 masih butuh penyesuaian. Namun kalau dipikir-pikir lebih enak menu tradisional yang sudah tidak ada lagi di Ubuntu 11.04.

    Alternatifnya ya KDE, namun KDE berat, alternatif lain XFCE….

    Bakal kangen GNOME yang tradisionil nih he he…..

    Suka

    • Can Masagi,

      Dekstop Unity di satu sisi membawa banyak perubahan besar bagi aksesibilitas di antarmuka Ubuntu. Namun di sisi lain, ia menyimpan beberapa 'kekonyolan' 😉

      Suka

    • Konyol-nya yang bagaimana Mas?

      Awal aku nyoba Linux, aku nyoba UNR, disitu awalnya aku ga terlalu suka dengan unity karena tampilannya yg fixed, sempat nyesal juga meninggalkan XP -Padahal XP ku ori lho-

      Tapi setelah 11.04 release, aku koq malah seperti ¨jatuh cinta¨ sama unity dan dash -tentunya dengan sudah melakukan perbandingan beberapa distro yg cocok buat netbook ku pastinya-.

      Suka

    • Salah satu bentuk 'kekonyolan' itu (menurut saya lho) yaitu pada posisi menu bar nautilus yang terpisah dari jendela aplikasi/direktori yang sedang kita buka. Sangat aneh dan kurang aksesibel, sebab ia baru muncul saat kita hover. Apalagi ketika jendela yang kita buka posisinya bukan di kiri atas dekstop. Masa harus menggeser kursor dengan jarak yang begitu jauh di atas untuk membuka menu bar 😉

      Suka

    • Ya pencet aja tombol start terus search Program yg ingin dijalankan, gampang kan -ga perlu menggeser kursor- 😉

      Setelah beberapa hari make 11.04, aku sekarang malah ga pernah lagi make mouse.

      Suka

    • Maksud saya bukan untuk nyari program, tapi untuk membuka menu bar (seperti file, edit, view, help, dsb) yang biasanya menyatu dengan jendela aplikasi yang sedang kita buka.

      Nah, pada dekstop Unity, menu-bar itu sudah terpisah dari jendela/window aplikasi.

      Suka

    • yup, global-menu 😀

      global-menu manurut saya akan terasa menarik dan user friendly jika di gabung dengan aplikasi semacam docky atau cairo dock

      Suka

    • Mas Is, saya juga membaca tulisan terbut. Memang jarak itu terkesan menjadi keluhan. Tapi mari kita coba lihat sisi positifnya. Saya tidak tahu jika saat ini masih ada yang menggunakan tetikus dengan trackball, yah mungkin bagi mereka ini akan jadi kesulitan, apalagi jika kemudian resolusi layarnya tinggi. Namun bagi pengguna tetikus dengan infra merah atau laser beresolusi tinggi (sebagaimana kebanyakan tetikus saat ini), maka jarak ini tidak masalah saya rasa. Karena hanya menggerakkan tetikus beberapa milimeter saja sudah bisa menjangkau "global menu" dengan segera.

      Satu lagi keuntungannya adalah navigasi menu yang selalu di satu area. Jika kita berpindah jendela aktif (dengan tombol Alt + Tab), maka untuk menjangkau menu jendela berikutnya, tetikus tidak akan berpindah terlalu jauh. Konsentrasi navigasi akan berpusat pada area layar kiri atas, dan ini memberikan fokus tersendiri bagi saya.

      Saya tidak akan menentang pendapat bahwa mungkin "global menu" memberikan masalah bagi yang menemukannya justru "me-ringkih-kan" navigasi. Tapi saya ingat apa yang pernah disampaikan seseorang yang darinya saya belajar Linux, daripada melakukan protes terhadap sistem yang ada, mengapa kita tidak bertanya terlebih dahulu cara memberdayakan sistem, adakah sebuah cara di mana sistem menjadi lebih mudah bagi kita? Saya rasa itu pertanyaan yang esensial.

      Duh…, malah jadi ngomong ngelantur. Tapi saya setuju kok sama pendapat Mas Is :).

      Suka

    • Ada benarnya juga sih mas Cahya 😉 Tapi yang sebenarnya agak bermasalah bagi saya yaitu ketika posisi jendela aplikasi bukan di sudut kiri atas, melainkan (misalnya) di tengah layar atau bahkan di sudut bawah layar. Rasanya agak sedikit merepotkan saja harus menjangkau 'global-menu' atau 'menu-bar' yang ada di sudut kiri atas layar.

      Kekurangan lain yaitu ketika kita membuka 'web-browser (peramban web), misalnya saja Chromium. Tampilan 'global menu' itu ternyata tidak bisa disembunyikan, padahal saya lebih suka jika tampilan Chromium cuma 2 lapis saja (yaitu lapisan Tab dan bilah alamat). Dengan adanya 'Global-menu' yang tidak bisa disembunyikan, tampilan peramban menjadi sedikit lebih tinggi/lebih tebal 🙂

      Tapi ternyata ada satu solusi ampuh, yaitu dengan menyetel sebagai layar penuh ('fullscreen') lewat menekan tombol F11 🙂

      Pada akhirnya, cuma masalah pembiasaan saja sih. Mungkin karena terasa membawa perbedaan besar dengan sistem antarmuka Ubuntu sebelumnya. Jadi, masih perlu sediikit waktu untuk beradaptasi.

      Suka

    • Mas Is, he he…, memang begitu sih, tapi kalau di Windows, bisa ada fungsi auto-hide untuk taskbar-nya :). Kalau tidak salah Chromium yang standar ( di Natty pakai versi 11.x, tapi sepertinya Mas Is pakai yang 13.x) tidak memiliki fungsi global menu disertakan, karena masih dalam tahap pengembangan, kecuali dikatifkan secara manual. Jadinya bar di atas itu tampak membosankan karena tidak berisi fungsi apa-apa. Kalau Firefox kan bisa berfungsi sebagai menu bar memang :).

      Suka

    • hhihi. setidaknya sudah hampir setahun semenjak saya migrasi ke bandung, komputer saya dirumah tidak pernah diupdate lagi perangkat lunaknya 😐

      Suka

  7. Selama ini baru mencoba Kubuntu itupun secara live CD/USB. Cukup menawan plasma desktopnya.

    Kali ini si Lucid di netbook aku timpa dengan openSUSE (coba desktop KDE) juga. 😀

    Suka

    • Ha ha…, KDE is so eye candy :D. Karena KDE lahir dari pemberontakan terhadap Gnome yang begitu strict, ibaratnya KDE itu preman jalanan yang tidak mau diatur dan dibatasi, karena memiliki visi yang berbeda dari Gnome. Bahkan desktop Unity ini sendiri konon lahir dari ide-ide brilian yang tertuang dalam KDE yang tidak ingin (bahkan dilirik) untuk diadopsi oleh Gnome :).

      Yah, coba saja Mas. Plasma desktop itu menyenangkan, nanti dibandingkan antara KDE 4.x vs Gnome 3.x mana yang lebih enak. Ditunggu review dari Mas Agung nih #todong :lol:.

      Suka

    • Sebenarnya saya memang menyukai keindahan dari desktop KDE tapi ya itu harus didukung perangkat yang mumpuni dan jatah pita lebar yang tidak sedikit 😦 — ini hanya sekadar mencoba Green Gecko di netbook saja. 😀

      Ah ya, sekarang lagi dilanda penyakit malas menulis lagi Mas Cahya dan alasan klasik, sibuk dengan kegiatan off line hehe….

      Suka

    • Ha ha…, mau bagaimana lagi kalau begitu. Saya juga sedang mengumpulkan beberapa koleksi Linux (halaman distro), tapi sepertinya tidak akan mengambil Debian, lihat besar berkasnya saja sudah geleng-geleng :D.

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.