Oke, ketika saya berbicara tentang ini, maka saya tidak sedang berbicara tentang negeri saya tercinta, yaitu Indonesia. Namun saya berbicara tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diprakarsai oleh WHO dan telah disepakati oleh 173 negara di dunia guna memerangi epidemi tembakau di seluruh dunia, yang sayangnya Indonesia tidak turut serta di dalamnya. Karena tampaknya perintah kita tidak tertarik dengan memerangi epidemi tembakau di negeri ini, jadi jangan heran jika Indonesia termasuk negara terbelakang dalam penerapan kebijakan mengenai tembakau.
WHO memahami bahwa ancaman epidemi tembakau adalah hal yang sangat serius. Tahun ini, epidemi tembakau diperkirakan akan menyebabkan hampir 6 juta kematian, termasuk sekitar 600.000 orang bukan perokok (10%) yang akan meninggal akibat paparan asap tembakau. Dan jika kondisi ini berlangsung terus, maka pada tahun 2030 bisa menyebabkan 8 juta kematian. Dan tentunya ini belum termasuk dampak-dampak di luar kematian itu sendiri.
Dan jangan lupa bahwa tembakau juga merupakan penyumbang terbesar terhadap epidemi “noncommunicable disease” seperti serangan jantung, stroke, kanker dan emfisema – yang tercatat pada 63% kasus kematian, dan hampir 80% terjadi di negara-negara berpendapatan menengah dan rendah. Setidaknya separuh pengguna tembakau akan – pada akhirnya – meninggal dunia karena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan tembakau.
Itulah mengapa FCTC mengikat banyak negara untuk membuka kesadaran akan hal ini, dan memerangi epidemi tembakau di seluruh dunia. Karena setiap anggota FCTC berkewajiban untuk:
- Melindungi masyarakat dari paparan asap tembakau.
- Melarang pengiklanan dan penjualan tembakau pada anak di bawah umur.
- Memberi peringatan kesehatan yang besar pada paket tembakau/rokok.
- Melarang atau membatasi aditif pada produk-produk tembakau.
- Menaikkan pajak tembakau.
- Menciptakan dan menyelenggarakan mekanisme koordinasi nasional untuk kontrol tembakau.
Saat ini di pelbagai belahan dunia yang tergabung dalam FCTC telah membuat kebijakan-kebijakan nyata dan spesifik untuk menanggulangi epidemi tembakau. Seperti misalnya:
- Uruguay mensyaratkan adanya tanda peringatan kesehatan yang menutupi 80% paket tembakau.
- Australia sedang dalam proses untuk mensyaratkan semua produk tembakau dalam paket yang polos, tanpa boleh ada merek.
- Mauritus pada tahun 2008 menjadi negara Afrika pertama yang mengharuskan adanya gambar-gambar peringatan pada paket-paket tembakau.
- Irlandia pada 2004 telah melarang merokok di lokasi-lokasi publik/umum.
- Pajak rokok di Sri Lanka setara dengan 73% harga eceran.
- Pada tahun 2006, Iran melarang segala bentuk pengiklanan rokok.
- Awal bulan ini, Cina menerapkan pelarangan merokok pada tempat-tempat umum seperti restoran, teater dan bar.
- Pada tahun 2009, Turki menerapkan pelarangan merokok yang sama.
Epidemi tembakau bukanlah masalah satu – dua negara saja, namun masalah seluruh negara di pelbagai belahan dunia. Melihat fakta-fakta tentang tembakau dan pengaruhnya, saya rasa adalah tanggung jawab kita semua sebagai warga dunia untuk menanggulangi epideminya.
Indonesia boleh jadi tidak ikut serta dalam kelompok FCTC, namun saya berharap negara ini memiliki regulasi pun kebijakan yang jelas mengenai tembakau di negeri ini. Karena selama ini serba tidak jelas, serba kabur, sehingga tidak heran jika Indonesia menjadi lahan utama pemasaran produk tembakau tidak hanya dari dalam negeri, namun juga dari luar negeri.
Satu-satunya regulasi yang cukup nyata adalah Undang-Undang Kesehatan tahun 2009, jika saya tidak salah ingat dalam pasal 113 dinyatakan tembakau sebagai zat adiktif, itu-pun konon pasal tersebut sempat menghilang saat undang-undang tersebut sudah siap disahkan. Entah bagaimana ceritanya, regulasi tembakau di negeri ini mungkin juga akan bernasib serupa.
Setidaknya nasib Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau masih saling tarik ulur. Sekitar awal bulan ini, Menko Kesra mengatakan bahwa RPP ini tidak akan disahkan oleh pemerintah, karena beberapa hal yang telah menjadi pertimbangan. Karena tentu saja ada protes keras, terutama dari kalangan petani tembakau. Dari pelbagai argumen yang saling beradu, saya hanya melihat satu hal yang jelas. Para petani khawatir kehilangan mata pencahariannya, dan pemerintah tidak menunjukkan kesiapan dan kepastian untuk memberi solusi bagi para petani, dan mungkin juga para pelaku industri rokok. Nah, jika status quo epidemi tembakau di negara ini tidak berubah dan cenderung memburuk, mau salahkan siapa coba?
Perbedaan pandangan antara pihak-pihak terkait juga tidak memberi solusi dan arahan yang positif. Misalnya jika menengok pendapat seorang perokok yang terwakilkan oleh pimpinan Smokers Club Indonesia (yang saya kutip dari Harian Seputar Indonesia), menurut pandangannya regulasi tentang penerapan kawasan bebas rokok adalah aturan yang sangat diskriminatif, dan jangan karena faktor rokok masyarakat menjadi dibeda-bedakan. Lha, padahal di sisi pandangan lain, justru perokok yang berkeliaran secara bebaslah dengan asap rokok menjadi terlalu semena-mena dengan merengut hak orang lain untuk menghirup udara bersih dan mendapat lingkungan yang sehat. Perbedaan pandangan masyarakat ini mungkin karena belum semuanya mengerti dengan benar antara fakta dan mitos tentang tembakau di negeri ini.
Jika hal ini berlangsung terus menerus, maka saya khawatir, sebuah upaya peningkatan kualitas kesehatan di masyarakat kita tidak akan mencapai posisi yang diharapkan. Karena kesehatan bukanlah sesuatu yang terpisah-pisah, namun sesuatu yang holistis – dan menanggulangi epidemi tembakau adalah salah satu bagian kecilnya.
Gambar terakhir diculik dari blog SaktiSoe.
Tinggalkan Balasan