Latar Belakang
Ketika saya masih duduk di bangku SMA, sebuah akses Internet adalah barang mewah bagi pelajar di pinggiran kota kecil. Hanya ada sebuah warung Internet kecil yang tampaknya sempit dengan hanya sekitar lima unit komputer yang berusaha saling berhimpit satu sama lain guna mengisi ruang yang mungil. Akses Internet kala itu cukup mahal untuk seorang pelajar dari pinggiran kota, namun saya rasa saat ini pun hal tersebut belum berubah sepenuhnya.
Jika ada yang menggunakan dunia maya saat itu, mungkin hanya untuk mengirim surat elektronik yang tak terhindarkan. Atau memasuki apa yang dikenal sebagai ruang obrolan atau chat room bagi mereka yang ingin melepas penat dengan menemukan percakapan dari wajah-wajah yang hanya muncul dalam bayangan pikiran dan beberapa baris teks pada layar komputer di hadapannya.
Beberapa tahun setelah lulus dari SMA, saya sempat kembali menjenguk sekolah lama saya dengan seorang sahabat dan – entah bagaimana – kemudian mendapati diri saya turut serta dalam menghadiri rapat antara orang tua siswa dan pihak sekolah. Dan salah satu topik yang diangkat adalah memulai proyek pendidikan melalui dunia maya di sekolah, atau mungkin bisa disebut juga sebagai school cyber education.
Pelajar dan Internet
Sebuah topik yang sering saya dengar ketika itu, namun mungkin belum pernah terpikir di kala saya masih menjejalkan buku-buku pelajaran dan tugas sekolah hingga penuh sesak ke dalam tas punggung saya. Pendidikan bukan lagi hanya berbekal transfer pengetahuan dari buku teks dan bekal pengetahuan para guru, namun juga diperkaya dari pelbagai uniform resource identifier (URI) di Internet.
Hal baru ini – dalam benak saya – tentu akan menggoda para pembelajar muda untuk menjelajah dan memperkaya pengetahuan dengan sebuah metode yang pendekatannya – sepenuhnya berbeda dari cara-cara klasik. Namun tentu saja akan memerlukan pengalaman dan pembelajaran tersendiri, karena tidak seperti halnya buku teks yang telah terstandardisasi, isi Internet perlu terlebih dahulu disaring oleh penggunanya untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dan menghindari memperoleh hasil yang keliru.
Karena sebagaimana yang telah dikenal oleh publik luas pengguna Internet. Maka kita bisa menemukan bahwa dunia maya itu layaknya sebuah pedang bermata dua, di satu sisi dapat memberi manfaat positif bagi dunia pendidikan, sedangkan di sisi lain bisa mendatangkan “malapetaka”. Namun tentu saja, sebagaimana halnya semua hasil teknologi kreasi manusia, Internet memerlukan kecerdasan dan juga secara bersamaan kearifan dalam menggunakannya, atau dengan kata lainnya, kita mesti “melek Internet”.
Ya, jika dunia pendidikan berniat mengadaptasi teknologi modern yang disebut Internet ini ke dalam ranah mereka, maka baik pendidikan dan pelajar selayaknya “melek Internet”. Karena sebagai sebuah jalur komunikasi dan pemindahan pengetahuan antara pendidik dan pelajar, maka jalur ini selayaknya dipahami dan mampu digunakan dengan baik oleh kedua belah pihak. Dengan analogi sederhananya, Anda tidak akan bisa pergi mengantarkan barang dengan sepeda motor, jika Anda sendiri tidak bisa mengendarai sepeda motor, meski Anda pernah dengar dan pernah melihat orang bersepeda motor di jalanan.
Bayangan Sebuah Revolusi
Hingga saat ini, sejauh yang saya (kadang kala) sempat memerhatikannya, bahwa penggunaan Internet bagi para pelajar hanya untuk mencari “bahan” untuk “tugas sekolah”, sebagaimana yang diinstruksikan oleh para gurunya. Bahkan tidak jarang, situsnya telah ditentukan terlebih dahulu. Gambaran ini kadang mengesankan minimnya kreativitas dalam memanfaatkan teknologi dunia maya.
Kebanyakan sisa penggunaan dunia maya oleh kaum pelajar adalah untuk berinteraksi dengan sesamanya, semisal melalui jejaring sosial. Jadi tidak heran jika saat ini kita bisa melihat anak SMP dan SMA hingga anak kuliahan di kota-kota yang telah tersentuh modernisasi teknologi ini, sibuk dengan ponsel cerdas mereka untuk sekadar berbincang dengan teman-teman mereka di dunia maya, pun bisa juga justru memaki-maki kondisi sekolah, para guru atau staf pengajar karena kecewa dengan hal-hal tertentu. Sehingga kadang kita bisa menyaksikan berita di televisi yang mengabarkan pelecehan siswa melalui status jejering sosialnya pada pihak sekolah ataupun pihak pengajar.
Lalu, apakah kini Internet di mata pelajar hanya sebagai sebuah tambahan dalam ranah mencari “bahan” untuk “tugas sekolah”, dan sisanya hanya untuk bersenda gurau dalam ruang maya? Jika demikian, maka akan lebih baik untuk proses pendidikan menyediakan sebuah kepustakaan digital yang mumpuni, berisi koleksi buku elektronik yang lengkap untuk diakses para pelajarnya, ini akan jauh lebih bermanfaat, efektif serta produktif daripada sekadar mencari “bahan” untuk “tugas sekolah”.
Namun Internet bukanlah sekadar buku digital, bukan sekadar sumber referensi yang bisa dicomot begitu saja untuk disalin ke dalam buku pekerjaan rumah para pelajar. Jika kita tidak mengenali potensinya, berarti kita tidak memahami seluk beluk dunia maya, dengan kata lain, generasi pembelajar kita sama sekali belum “melek Internet”.
Jika seorang pelajar merasa melek “melek Internet”, cobalah untuk menjawab beberapa pertanyaan seputar dunia berikut ini:
- Jika pelajar ingin mendapatkan buku pelajaran digital, ke manakah ia harus menuju?
- Jika pelajar tidak ingin terkecoh hasil pencarian mesin telusur untuk mendapatkan hasil valid bagi referensinya, apa yang mesti ia persiapkan dan kerjakan?
- Jika pelajar ingin membagi pandangannya tentang karya sastra atau mendapat panduan menciptakan karya sastra, di mana ia bisa berbagi dan mendapatkannya?
- Ada sebuah persoalan matematika yang rumit, di manakah kira-kira solusinya bisa ditemukan dengan di dunia maya yang luas ini?
- Pelajar yang memiliki hobi dan ketertarikan untuk kegiatan ekstrakulikuler yang sama, medium apa yang terbaik bagi mereka untuk saling terhubung dan berbagi?
Nah, pertanyaan itu hanyalah sedikit dari sekian banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk melihat apakah apakah kaum pelajar kita telah “melek Internet”. Namun jawabannya sendiri tidaklah esensial untuk melihat hal ini, namun jawaban yang Anda harapkan. Jika Anda berharap sebuah jawaban tunggal yang tepat seperti halnya pilihan ganda, maka Anda mungkin jauh dari “melek Internet” itu sendiri, karena pada dasarnya dunia maya adalah dunia yang bisa dikustomasi dengan tanpa batas sesuai dengan kemampuan dan kesukaan penggunanya.
Semisalnya, seperti apa yang dituliskan Bli Andi – demikian saya menyebutnya – seorang dosen Teknik Geodesi di UGM dalam tulisan anyarnya “KulOn: waktu nyata, daring dan murah” tentang bagaimana memanfaatkan Internet untuk membuat kuliah secara daring. Ya, kuliah online, begitu istilah kerennya akan memberikan optimalisasi pemanfaatan Internet secara baik. Bayangkan, seorang dosen tidak perlu datang secara langsung ke tempat berkumpulnya peserta didik jika mereka berada di wilayah berbeda, cukup dengan teknologi telekonfrensi maka proses belajar mengajar bisa tetap berjalan dengan baik.
Tentu ini akan menghemat biaya, jangan dilihat dari teknologi komputerisasinya, namun biaya yang dihemat dari perjalanan antar wilayah atau antar negara hanya untuk menghadiri proses belajar mengajar. Yang jika diakumulasi akan jauh lebih mahal dibandingkan biaya teknologi itu sendiri. Maka dengan potensi ini, kita bisa menekan biaya pendidikan itu dengan sendirinya, dan bahkan menyebarkan pendidikan ke pelosok-pelosok terpencil negeri ini melalui dunia maya.
Atau adakah Anda telah membaca tulisan saya sebelumnya tentang “Kehidupan Kedua di Dunia Digital”? Anda bisa membayangkan bagaimana dunia maya mampu menghadirkan dunia kedua untuk berinteraksi dengan pelbagai orang di seluruh dunia, sebagai kita berinteraksi di dunia nyata, dan kemampuan menciptakan lingkungan yang kita inginkan. Inilah salah satu teknologi dunia maya yang disebut sebagai “Second Life”, menghadirkan dunia virtual yang bisa didesain untuk mewakili dunia nyata.
Bayangkan dengan teknologi “Second Life”, kita bisa menciptakan seluruh nusantara ke dunia digital, termasuk tradisi dan budayanya. Anak-anak sekolah dapat mengunjungi museum-museum di seluruh nusantara dalam sebuah dunia virtual tanpa perlu datang jauh-jauh ke provinsi-provinsi yang jaraknya begitu jauh, melelahkan dan menguras biaya. Atau misalnya anak-anak yang menyukai kegiatan mendesain robot bisa menciptakan dunia digital mereka dan berinteraksi dengan anak-anak dengan kesukaan sama di seluruh dunia, bertukar ilmu dan pengalaman tanpa perlu bepergian jauh dan berkumpul di satu lokasi.
Internet adalah sebuah dunia yang isinya diperkaya setiap saatnya. Pelbagai ilmu dan pengalaman baru dimasukkan setiap waktunya. Saya memberikan rasa salut saya pada para pengguna Internet yang telah membagikan ilmu dan pengalamannya untuk kemajuan dunia pendidikan di Indonesia, dengan tentu tidak memandang sebelah mata bahwa dunia pendidikan senyatanya tidak hanya hadir di tempat-tempat formal, namun juga pendidikan non-formal, pendidikan budaya dan pendidikan budi pekerti. Dan bagi mereka yang menggerakkan dunia pendidikan secara nyata, serta memberi dan mendapat dorongan di dunia maya, sebut saja salah satunya adalah penggiat Taman Bacaan Pelangi yang pasti sudah banyak dikenal di kalangan pemerhati pendidikan di dunia maya.
Revolusi pendidikan melalui dunia maya hanya dapat terjadi jika kita telah mengenal dan memahami seluk beluk dunia maya itu sendiri, sedemikian hingga kita akan melihat potensinya secara nyata.
Kendala dan Harapan
Tentu saja untuk optimalisasi pendidikan melalui dunia maya, negeri ini memiliki banyak kendala. Pertama adalah infrastruktur, dan hal ini sangat jelas. Jangan akses Internet yang masih termasuk mahal dan mewah di negeri ini, bahkan banyak bangunan sekolah pun terkesan terlantar. Ketika sekolah menjadi sesuatu yang mahal dan mewah untuk kebanyakan rakyat di negeri ini, apalagi infrastruktur Internet untuk pendidikan, bisa jadi itu hanya mimpi di atas awan bagi kita semua.
Negeri ini memiliki masalah multidimensional, tidak perlu saya jelaskan, televisi selalu menayangkannya dalam porsi yang cukup banyak daripada yang kita bisa telan setiap harinya. Jadi saya ragu, jika ada unsur di negeri ini yang mampu menyediakan infrastruktur ini. Apakah pemerintah? Ah, saya juga ragukan itu. Apakah pihak swasta? Hmm…, tapi apa ada yang bersedia berinvestasi pada sesuatu yang hasilnya hanya akan baru tampak bagi negeri ini dalam dua atau tiga generasi setelahnya?
Ketika infrastruktur itu sendiri masih abu-abu untuk dapat terwujud, kita memiliki kendala lain yang lebih fundamental, yaitu mentalitas kita. Kebanyakan dari kita ingin hasil dari teknologi itu serba instan, kita tidak mau bekerja keras untuk memahaminya. Sebagai contoh, coba saya tanya, seberapa banyak dari Anda yang menggunakan komputernya masih menggunakan program/berkas bajakan, termasuk sistem operasinya? Dan sebagian besar saya perhatikan masih menikmati teknologi bajakan di negeri ini, asal mudah dan asal gampang, serta asal murah. Kita cenderung membenarkan sesuatu yang jadi kebiasaan kita dan menjauhkan diri dari membiasakan yang benar. Dan kebanyakan hal ini dilakukan oleh orang-orang yang telah mengenyam pendidikan cukup tinggi untuk mengetahui mana yang pantas dan mana yang tidak pantas.
Ketika kita tidak siap memahami dan mengadaptasi teknologi komputerisasi dan Internet secara baik, benar dan pantas. Maka kita adalah pribadi yang tidak pantas untuk turut serta dalam pembaruan pendidikan di negeri ini. Jika kita ingin turut serta dalam pembaruan pendidikan di negeri ini, baik dengan manual klasiknya maupun dengan teknologi informasi terkini, maka pertama-tama kita harus menjadi pribadi yang layak untuk itu. Sehingga kita pada akhirnya berhak untuk memetik buah yang baik dari kerja keras kita dalam mewujudkannya.
Saya tidak pernah berkata bahwa merevolusi pendidikan melalui dunia maya itu mudah dan tak perlu kerja keras. Namun teknologi informasi untuk itu telah ada kini dan sekarang, bukan esok ataupun seabad lagi. Yang kita perlukan adalah determinasi dalam pengoptimalannya. Sehingga harapan saya, negeri ini akan memiliki sumber daya – sumber daya untuk semua itu, termasuk dalam pembangunan infrastruktur yang menunjangnya.
Penutup
Maka di akhir kata saya ingin mengutipkan apa yang pernah disampaikan Martin Luther King Jr., "Faith is taking the first step, even when you don’t see the whole staircase." Pendidikan dengan memanfaatkan teknologi informasi adalah tuntutan yang tidak bisa dihindari di era globalisasi, jika kita telah siap dan pantas sebagai sebuah bangsa untuk menghadapinya bersama-sama, maka yang perlu kita lakukan adalah percaya dengan mengambil langkah pertama masuk ke dalamnya.
Tulisan ini disertakan dalam Lomba Blog TechnoCorner 2011 yang diselenggarakan oleh KMTE UGM dengan mengambil tema “Cyber Education for Better Future of Indonesia”.
Tinggalkan Balasan