Ayamku Yang Sehat

Karena tulisan Mas Asop yang berjudul, “Telur Ayam Kampung atau Telur Ayam Negeri?”. Maka saya rasa saya ingin menulis hal ini, sembari mengerjakan sesuatu (yang rahasia). Pertanyaan Mas Asop saya rasa adalah pertanyaan-pertanyaan yang umum terlontar di sekitar saya, karena saya sendiri banyak menjumpai pertanyaan-pertanyaan yang serupa, bahkan termasuk saya sendiri.

Semisalnya dalam kasus ini, sebagaimana yang saya berikan pendapat saya langsung (bukan jawaban) pada tulisan terkait. Saya rasa kita terikat akan sebuah paradigma – yang pada kasus ini, misalnya – bahwa telur ayam kampung lebih sehat dibandingkan telur ayam ras/petelur. Namun apakah itu benar?

Secara umum, paradigma tersebut tidaklah keliru. Sebagaimana diketahui oleh umum, bahwa ayam kampung tumbuh dan berkembang secara bebas (di alam bebas), mendapatkan makanan dari sumber-sumber alami, bergerak bebas, dan mendapat paparan cahaya matahari yang cukup. Ayam kampung lebih sehat, dan menurut mereka yang sering berkecimpung dengan ayam, jenis ayam kampung lebih tahan terhadap penyakit.

Jadi ketika ayam kampung bertelur, telur yang dihasilkan secara umum mengandung nutrisi (zat gizi) yang lebih kaya, dan dinilai lebih sehat. Saya rasanya pernah membaca bahwa telur ayam-ayam ini mengandung lebih banyak omega-3 dan vitamin E dibandingkan dengan telur ayam ras/petelur.

Namun mari kita perhatikan, pada kenyataan tidak semua ayam kampung hidup dalam lingkungan yang sehat. Bayangkan bagaimana jadinya jika ayam kampung tumbuh dan berkembang di lingkungan yang dijadikan tempat pembuangan akhir (sampah)? Atau lebih ekstrem lagi, bagaimana dengan ayam kampung yang mungkin berada di sekitar reaktor nuklir Fukushima yang bocor itu? Apakah Anda berpikir daging atau telurnya sehat atau bahkan aman untuk dikonsumsi?

Tapi jangan khawatir, rasanya tidak ada rasanya telur ayam baik kampung dan ras yang terkontaminasi bahan radioaktif di negeri ini beredar di pasaran. Hanya saja yang menjadi pertanyaan kemudian, jika ayam kampung mendapat perlakuan yang sama dengan ayam rasa/petelur, baik dari segi pengandangan, pakan/pangan, dan pengelolaan kesehatannya. Apakah akan ada perbedaan antara nilai gizi antara ayam kampung dan ayam ras/petelur. Nah, saya tidak mengetahui persis hal ini. Mungkin mereka yang dari gizi atau peternakan memiliki ilmu yang lebih pas untuk menerangkan lebih jauh.

Saya sendiri tidak terlalu khawatir, ayam-ayam saya cukup sehat, kecuali yang masih kecil (karena khawatir dimangsa predator) – ayam-ayam dewasa tidak dikandangkan. Mereka cukup bebas termasuk mencari makan di luar, tersedia pelbagai jenis biji, belalang, serangga atau apapun di luar sana.

Tarung Ayam

Mereka gemar berolahraga, tidak perlu disabung, mereka akan bertarung dengan sesamanya, terutama para jantan. Karenanya mereka sangat sehat, meski kadang jika tidak cepat dipisahkan, akan berakhir sebagai pertarungan berdarah, buruknya – salah satu bisa berakhir di atas wajan (nyum…nyumm…).

Sehingga, dari segi nutrisi dan gerak, ayam-ayam ini sangat sehat. Namun tentu saja kesehatan psikologis juga perlu diperhatikan. Karenanya perlu dijaga agar mereka tidak terlalu stres.

Ayam dan Anggrek

Masing-masing ayam memiliki hobinya masing-masing, misalnya ayam dalam foto di atas menghabiskan waktu luangnya dengan menikmati keindahan alam seperti memandangi anggrek. Ups, siapa tahu ayam-ayam betina juga memiliki hobi merajut, mengingat musim kering yang dingin belakangan ini.

Jika Anda melakukan domestikasi ayam masing-masing, maka tidak perlu dikhawatirkan bahwa daging atau telur yang dihasilkan memiliki nilai gizi yang rendah. Anda hanya perlu memastikan ayam-ayam itu sehat, dan memastikan bahwa bahan pangan dari ayam-ayam tersebut diolah dengan tepat sehingga memberikan gizi yang mencukupi dan seimbang bagi kita.

17 tanggapan untuk “Ayamku Yang Sehat”

  1. dan karena saya tidak punya ayam, maka kalau ada ayam bli cahya yang masuk penggorengan, dengan ini saya mengikrarkan akan sangat senang untuk membantu menghabiskannya………….

    😛

    Suka

  2. Kalau dari segi rasa sih bagi saya yang suka makan ini ndak terlalu beda ya karena tergantung memasaknya juga. Tapi kalau boleh memilih, saya akan memilih ayam kampung (ayam yang dipelihara secara sederhana/bebas) karena kesannya lebih alami dan aman dari segi kesehatan.

    Suka

  3. eitu urusan bersihin kotorannya apa gak repot bli? susah kan jalan2 di kebun kalo mata mesti awas setiap saat?! hehehe

    Suka

  4. Jadi ingat dengan peternakan ayam boiler (ras) untuk diambil daing nya. Dari umur sehari sudah di suntik untuk mempercepat perkembangan, umur 7 hari dan 15 hari juga di suntuk lagi. pas umur 34 hari harus sudah di panen kalau tidak begitu akan merugi.

    Kalau melihat ayam-ayam itu saat hidup tidak akan sama dengan pikiran kita saat mau memakan nya di kedai siap saji. Karena hidup cenderung gemuk tapi gak segera tapi kalau pas makan kita mau yang daging nya tebal. Hm ……

    Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan

    Suka

  5. nahhh… suka saya ini 😀

    cuma, dengan lahan yang terbatas, gimana bisa piara ayam? terus klo dari yang beli udah jelas kaga jelas *nah lo?*, namanya bukan piara sendiri.

    dan rasanya tidak cuma telur, hampir semua jenis makanan klo ditelusuri asal muasalnya, bisa2 ga berani makan semua kali yah hehehe kecuali ya itu, piara sendiri, tanam sendiri … *mudik aj amending klo gini sih hehehe*

    Suka

  6. Hehehe, jadi inget postingannya mas asop memang, saya juga sempat berpikir bli, ketika mau komen di blognya mas Asop.

    Dari segi danging saja ayam kampung lebih keras sehingga butuh pengelolaan ekstra untuk memasaknya.

    Dulu sempat makan telur di sandiego, saya pikir telur ayam kampung karena bentuknya putih dan kecil ternyata tidak itu telur ayam negri..kalu di sini kan warnanya agak kecoklatan untuk ayam negri.

    Kira2 pengaruhnya apa itu bli?

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.