Yang Terwarisi Yang Dicintai

Tidak menyangka memang saya kembali lebih awal ke Jogja, dan ternyata di Jogja hujan sudah mengguyur, namun entah mengapa setelah kedatangan saya tampaknya hujan masih enggan datang kembali. Dan kini Jogja masih tetap panas seperti biasanya, dalam artian sebagaimana bulan-bulan sebelumnya.

Saya sempat menengok Jogja Java Carnival semalam dengan semaraknya, yah lumayanlah meski saya tidak begitu menyukai keramaian. Setidaknya acara tersebut bisa menggugah kesadaran kita akan warisan budaya nusantara. Dan ingat mengetahui tidaklah sama dengan menyadari akan kebudayaan itu sendiri, hal yang sama seperti mengenal pasangan anda tidaklah sama dengan mencintainya.

Menyadari membuat kita memahami dalam sebuah artian yang lebih indah dan menawan hati. Menyadari akan membuat kita cermat dan bijak tentang kebudayaan yang kita warisi bukan sekadar berbangga dan latah. Saya melihat kita begitu “latah” dalam hal bangga berbudaya, belakangan ini kita sibuk mendukung Pulau Komodo sebagai World Wonder of Nature yang saya lihat sama sekali tidak esensial bahkan menjurus pada praktik mafia pariwisata yang tak akan menguntungkan negeri ini. Mengapa kita begitu antusias, ya karena mungkin – dalam pandangan sempit saya – bahwa kita latah dalam berbangga.

Baru-baru ini ada isu bahwa Borobudur akan dicabut dari World Heritage (Warisan Dunia), dan entah dari mana kabar ini berhembus, tampaknya media sangat senang mengomporinya sehingga menjadi isu yang panas dan menaikan peringkat dan kelarisan berita. Dan isu ini tidaklah baru, bahkan kadang ditambahkan bahwa karena Borobudur bukan lagi bagian dari “New 7 Wonders of the World” maka ya kita semakin kehilangan popularitas Borobudur di mata dunia.

Namun saya rasa jika kita dapat bijak, maka kesampingkanlah popularitas dan ketenaran terlebih dahulu. Kebudayaan kita berpijak pada kejujuran dan kerendahan hati, mengejar dan mempertahankan popularitas tidak akan membawa kita ke mana-mana. Kebudayaan kita memang mendukung kehidupan masyarakat kita melalui pergerakan perekonomian berwawasan budaya, dan ya kemajuan perekonomian memerlukan popularitas, namun dapatkah Anda percaya jika saya katakan bahwa kehidupan berkebudayaan yang baik itu sendiri akan menarik popularitas yang selayaknya tanpa perlu dikejar-kejar?

Borobudur masih berdiri dan masih terdaftar sebagai warisan dunia di UNESCO World Heritage, setidaknya itu yang masih saya ketahui sebagai anggota UNESCO World Heritage yang meski tidak pernah aktif. Jika kita dikatakan tidak peduli, coba cari tahu seberapa banyak anggota masyarakat kita yang tak acuh dengan warisan kebudayaan kita seperti halnya Borobudur? Anda akan menghina mereka yang bekerja mati-matian saat menyelamatkan Borobudur dari debu Merapi.

Para politisi mungkin tidak peduli, tapi bukan berarti rakyat Indonesia tidak peduli dengan kebudayaannya. Kita peduli, meski dengan cara yang berbeda-beda. Meski saya tidak ingin konyol seperti mendukung Taman Nasional Komodo masuk ke dalam 7 Wonders of Nature, yang entah sudah membuang berapa banyak dana untuk sekadar mewujudkan mimpi membanggakan diri.

Sebelum membanggakan diri, kita mesti memiliki jati diri. Untuk apa bergabung pada 7 Wonders of Nature jika setelah membuang uang begitu banyak, kita cuma dapat selembar sertifikat namun uang tidak balik lagi, perekonomian setempat tetap sama, atau pengelolaan justru jatuh ke tangan penyelenggara dan menghasilkan monopoli gaya baru seperti kasus Freeport.

Saya setuju dengan Pak Sugeng dalam tulisannya beberapa waktu yang lalu, bahwa di planet ini, bahkan di tata surya ini, jika penduduk dunia ingin melihat naga terakhir di habitatnya, maka mereka akan pergi ke Pulau Komodo tanpa perlu tahu apakah itu bagian dari 7 Keajaiban alam atau tidak. Apalagi jika kita mampu mengelola tempat wisata ekologi yang nyaman dan edukatif, maka promosi akan berjalan dengan sendirinya.

Saya suka filosofi yang dibawa oleh Avast Software, bahwa Anda tidak perlu iklan dan promosi untuk produk anda, jika produk itu bagus dan Anda memberikan pelayanan yang memuaskan, promosi akan terjadi dengan sendirinya secara positif dan meski dalam waktu yang agak lama, tiba-tiba Anda sudah berada di depan. Nah, tapi apa yang kita lakukan, kita sibuk mengejar pencitraan dengan berupaya mendongkrak popularitas. Dan kita masih cukup bangga menyebut diri kita melakukan hal yang hebat untuk kebaikan yang lebih besar.

Saya akui kita memiliki kebanggaan yang besar akan budaya yang kita warisi, namun kita memiliki kesadaran yang sangat kecil untuk hal itu. Kebanggaan yang besar tanpa adanya kebijaksanaan yang lahir dari kesadaran, tidak akan membawa kebaikan apapun pada negeri ini.

Jika sebuah konsep kesadaran berbudaya sulit dipahami, mengapa Anda tidak sesekali duduk di pelataran pertunjukkan Prambanan sekadar menyaksikan sendratari Ramayana.

Duduklah beberapa saat dan nikmati pertunjukkannya.

Anda bisa melihat sebuah pewarisan kebudayaan yang tak kasat mata terpatri indah di antara perpaduan bentuk seni drama dan tari tersebut.

Namun jika suatu ketika kita menyadari bahwa budaya bukan sekadar apa yang selama ini bayangkan ketika mendengar kata tersebut, mungkin dapat tersampaikan bahwa ada hal-hal yang lebih mendasar lagi. Misalnya dalam sebuah contoh kecil adalah keramahtamahan kita terhadap para wisatawan baik yang asing maupun lokal.

Keramahtamahan adalah budaya negeri ini, namun jika dipandang bahwa untuk menunjang pariwisata sebuah bangsa mesti beramah tamah, maka pemikiran itu akan terbalik. Karena bangsa ini ramah, maka tidak ada yang segan untuk berwisata budaya ke negeri ini. Betapa pun gelar yang disandang pelbagai tempat wisata di negeri ini, jika penduduknya tidak sadar sebuah warisan budaya yang bernama keramahan, maka sia-sia sudah semua itu.

Negeri ini memiliki sejuta budaya dan potensi untuk menjadi pendukung kehidupan masyarakatnya. Anda tidak perlu membeli ketenaran untuk semua itu dari bangsa lain, Anda hanya cukup menyadarinya (bukan sekadar mengetahuinya) dan Anda akan tahu apa yang mesti dilakukan sebagai bagian dari bangsa besar yang kaya akan warisan budaya.

Jika kita telah melestarikan budaya kita dengan baik, warisan kekayaan alamnya yang unik, menjadi ramah pada keseharian kita, maka dengan sendirinya popularitas itu akan datang tanpa diundang, dan guliran perekonomian akan terwujud dengan berkesinambungan.

Jika Anda berharap angin sepoi-sepoi masuk ke dalam rumah anda dan menikmatinya, jangan mengundangnya, namun rapikanlah rumah anda, ruangan anda, beranda anda, bukalah pintu dan jendela lebar-lebar dan dengan sendirinya angin sepoi-sepoi dapat bebas masuk ke dalam.

Foto-foto sendratari Ramayana diambil oleh Oktiyanto S.

21 tanggapan untuk “Yang Terwarisi Yang Dicintai”

    • Mas Rangga, ha ha…, saya tidak tahu dulu kenapa Beliau terpilih jadi menteri, saya lebih suka baca tulisan Che Gendovara jika sedang menyinggung tentang industri pariwisata daripada yang keluar dari Kemenbudpar.

      Suka

  1. setuju,bli…percuma pencitraan gemerlap keluar kalau internalnya bobrok..orang2 menyebutnya branding yg gagal..*tsaaaah :))

    oia, saya juga bingung tentang “new7wonders” itu…sepertinya mencurigakan, dan kebetulan tadi siang ngeliat video hitler yg marah2 karena JK mendukung new7wonders :))

    Suka

    • Gung, kadang menurut saya pemerintah tidak begitu jelas melihat permasalahan di bidang kebudayaan dan kepariwisataan kita. Misalnya saat PKB yang lalu, bisa kita dengar banyak keluhan bahwa meski dengan ramainya kunjungan namun produk kerajinan tangan lokal sama sekali tidak menarik minat sebagian besar pembeli, sehingga banyak pedagang mesti membanting harga hanya agar sekadar untuk bisa membayar biaya “nongkrong” di Art Center dan sesuap nasi. Dan hasilnya, harga barang di pasar pun pasca itu menjadi kacau, karena banyak konsumen yang menuntut harga yang lebih rendah, dan banyak pedagang yang mau melepasnya rendah daripada nanti merugi lebih banyak. Ini kalau berlarut-larut, bisa jadi menimbulkan krisis, meski mungkin dalam teori pasar akan ada perbaikannya.

      Ha ha…, kalau mencurigakan, ya diselidiki dong :D.

      Suka

  2. Wah jarang-jarang aku baca tulisan kamu yang tersimpan “emosi” di dalamnya. Tentang Komodo dan “7 wonder of nature” aku sich sms beberapa kali kemarin karena toh untuk handphoneku tidak dikenai biaya (pake paket dong jadi gratis, hehehe) dan jujur aja aku sempat malas untuk ngelakuin itu tapi akhirnya yawda aku lakuin karena mikir “gak ada salahnya toh, terlepas dari peristiwa yang akan datang seperti pengeksplorasian berlebihan dari oknum tertentu atau mungkin sebaliknya, ekonomi akan tetap jalan di tempat tapiiii paling tidak…aku lakuin yang bisa aku lakukan untuk negeri ini”. Terlihat naif? Entahlah. Aku pun sudah baca beberapa pro-kon tentang pemilihan ini, seperti di Priyadi.com dan langsung ke situs “7 wonder of nature”. Dan memang sangat diperlukan pengawasan ttg pemilihan “award” ini. Karena masa iya ajang se-wah ini ditentukan berdasarkan sms. Ya begitulah Cahya…btw, aku mendadak ingat logo Sea Games yang komodo itu ya…astaga, itu komodonya kok ya gak keliatan “komodo” justru lebih mirip cicak 😀

    Suka

    • Deva, memiliki salah satu bagian dari negeri ini menjadi ternama di mata dunia bukankah itu bagus? Maka saya kira ide awal yang kita terima tidaklah keliru. Namun segala sesuatunya mesti jelas, apalagi menyangkut negara.

      Coba sekarang bayangkan, pas DPR mau bangun gedung baru kita protes setengah mati, bukannya kita tidak setuju DPR punya gedung yang lebih baik dari pada gedung lama, tapi karena apa yang diperlukan untuk mewujudkan semua itu dan apa yang dihasilkan – rasa-rasanya agak timpang. Nah sekarang masalah Taman Nasional Pulau Komodo, siapa yang tidak suka di negeri ini jika taman nasional kita jadi salah satu ikon keajaiban alam dunia? Saya rasa semua suka. Hanya saja alangkah bagusnya jika apa yang digunakan untuk mewujudkan itu adalah sesuatu yang wajar dan selaras dengan apa yang ingin didapatkan.

      Nah, kalau pemerintah dan swasta mau mengeluarkan puluhan juta dolar untuk ini (dana yang tidak sedikit yang mungkin bisa digunakan untuk melakukan promosi pariwisata yang lebih tepat guna), mengapa tidak. Tapi setidaknya dalam sepuluh tahun ke depan mesti kita mendapatkan keuntungan puluhan milyar dolar dari kampanye ini. Karena ini saya lihat murni bisnis semata. Kalau tidak bisa, ya berarti kan kita ibarat petani yang jual sawahnya buat bangun rumah mewah biar bisa pamer, tapi kehilangan pemasukan dan akhirnya menderita kelaparan. Dan saya rasa hal seperti ini bukanlah bentuk nasionalisme yang sehat.

      Boleh saja ini dijadikan bisnis, ya silakan dong. Tapi jangan bawa nama-nama nasionalisme, apalagi kalau dikaitkan-kaitkan dengan pengakuan lembaga dunia seperti UNESCO, ya ndak nyambung kan. Dan selayaknya bagi mereka yang turut mendukung acara ini, beri penjelasan dengan terang, apa itu kontes 7 world wonders of nature, berapa banyak yang kita telah keluarkan untuk ini, dan apa yang akan kita peroleh jika menang, apa yang diperoleh pihak penyelanggara, pihak swasta The New Open World Corporation (yang berada di balik semua ini, karena bukan UNESCO), bangsa ini, dan bagaimana prospeknya dalam satu dekade ke depan, termasuk siapa yang akan melakukan audit untuk semua ini.

      Semuanya mesti jelas, agar rakyat tahu, jangan sampai kita digadang-gadang rasa nasionalisme semu :).

      Suka

    • The New Open World Corporation – membuat aku senyum sendiri. Kapan-kapan diskusi tentang ini, Cahya. Menarik lho membahas itu 🙂

      Suka

    • Tong kosong yang nyaring bunyinya sambil baca buku ekopolin ya? Hahaha…jarang lho ada yang tahu term The New Open World Corporation 🙂

      Suka

    • Deva, ah ndak, paling saya cuma baca Kung Fu Komang saja :lol:. Lha kalau mau berbicara tentang 7 wonders yang sekarang, mau tidak mau kan mesti merujuk pada NOWC, the master mind behind it. Kalau berbicara tentang NOWC, ya jangan ke saya dong, bicaralah dengan mereka yang “berkoar-koar” mendukung “Vote Komodo” karena jika mereka sudah berani mendukung, berarti mereka tahu benar tentang organisasi penyelenggaranya dan memberikan kepercayaan penuh sampai bersedia menyerahkan puluhan juta dolar pada NOWC ;).

      Tuh, coba deh tanya sama yang ngirimin Deva BBM “Vote Komodo” :).

      Suka

    • Ah kamu nyindir aku. Aku kan juga kirim sms dukungan *buru-buru hapus sms konfirmasi panitia*
      Kalau kamu baca Kung Fu Komang, aku mah baca Candy-Candy aja dech #eaaa

      Suka

  3. Berarti kontes 7 Wonder itu hanya akal-akalan orang cari duit aja, ya? Cerdas sekali itu penyelenggaranya ngakali orang banyak. Sebuah misi komersial namun dibungkus rapi pakai menggugah nasionalisme dan dalih pelestarian budaya juga. Weleh-weleh…! 😦

    Suka

    • Pak Joko, lha kalau mau masuk saja mesti membayar jutaan dolar demi lisensi dinamakan “7 wonder of nature” lalu kalau bukan bisnis untuk cari duit, saya tidak tahu lagi apa namanya. Ini mungkin kontroversi, kalau mau membaca detilnya, ada tulisan menarik dari salah satu pelaku dunia wisata di “New 7 Wonders of Nature Controversy“.

      Entahlah, tapi saya tidak mau sebuah nasionalisme yang sekadar memboroskan uang negara, apalagi sampai jutaan dolar hanya untuk selembar lisensi yang entah bisa digunakan sampai kapan.

      Suka

  4. Kalau sudah masuk 7 keajaiban dunia, lalu apa? Mungkin begitu pertanyaan saya. Memang terkesan latah dan cuma mengejar popularitas. Kita juga mungkin “dituntut” secara halus untuk mendukung atas nama nasionalisme. Sampai SMS dukungan digratiskan atau cuma 1 rupiah. Saya pikir nasionalisme begitu sangat sempit. Tak jauh bedanya dengan model kontes pencari bakat di TV-TV yang mendasarkan polling SMS sebagai penentu kemenangan/juara. Kualitas? Nanti dulu 🙂

    Suka

    • Mas Is, entahlah, saya juga kurang tahu maunya apa kalau sudah jadi 7 keajaiban dunia, bahkan saya tidak bisa membayangkannya. Nah, kalau soal pemilihan melalui “vote”, kadang untuk sesuatu yang populer okelah, tapi masa 7 keajaiban dunia ditentukan melalui popularitas? Kalau saya mau memilih konsep nasionalisme-pun saya akan mempertimbangkan bahwa tanah negeri ini tidak satu pun lebih “ajaib” daripada yang lainnya.

      Suka

    • Yups. Setuju deh. Selain itu, saya juga masih bingung tentang kriteria untuk menentukan itu “ajaib” atau biasa saja ;p Tapi terdengar aneh rasanya jika itu hanya melalui proses polling atau “vote”. Apalagi jika diperoleh dengan membayar. Wew, apa bisa semudah itu ya ditukar dengan uang/dollar..

      Suka

  5. kita ini kenapa suka aneh, suka membangga banggakan apa yang kita miliki, tapi males malesan memperjuangkan apa yang menjadi kebanggaan kita

    jadi kesannya maunya cuman enaknya saja 😀 hehe

    saya semalam hanya nonton jjc di tv, agak males buat ikut turun ke jalan 😀

    Suka

    • Pak Jarwadi, Indonesia gitu loh, kalau saya bilang bahwa kita ini kol*t dan bod*h dengan mengikuti acara 7 Wonders seperti itu, nanti pada emosi. Kali ini saya secara pribadi tidak mendukung kegiatan yang bahkan didukung oleh Pak Jusuf Kala ini, meski saya apresiasi keinginan untuk memberikan Indonesia nama di muka dunia.

      Saya lebih suka kebijakan yang diambil UNESCO World Heritage Sites bahwa masing-masing bangsa dan negara selayaknya mengambil inisiatif dan kemandirian dalam menjaga warisan budaya dan alamnya. Acara kebanggaan seperti ini siapa yang diuntungkan tidak pernah jelas, tapi siapa yang dirugikan itu sudah pasti. Dan tentunya semua mesti dijaga dengan kerja keras, bukan cuma nampang nama saja, kalau artifak kita dicuri cuma bisa menyalahkan, kalau batik dan tarian tradisional kita dipuji ikut berbangga saja, sisanya tak acuh, ya sia-sia saja.

      He he…, memang sebaiknya nonton dari rumah saja Pak, kecuali punya tiket VIP 🙂 – tapi kalau suka berdesakan dan beramai-ramai, ya boleh saja sih.

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.