Melewatkan Rilis Linux Mint 12 “Lisa”

Sebenarnya saya cukup antusias dengan rilis distribusi Linux Mint 12 “Lisa” sebagai yang masuk dalam memeriahkan pelbagai distribusi baru setelah Ubuntu 11.10, Fedora 16, openSUSE 12.1 dan yang lainnya. Ini adalah hujan distro di akhir tahun, bagi mereka yang memiliki alokasi lebar pita Internet yang mencukupi, tentunya ini akan sangat menyenangkan, apalagi yang sudah memiliki komputer high-end dengan spesifikasi tinggi pada area 64-bit.

Saya sendiri sebenarnya, jika sempat akan sangat senang mencicipi Lisa, tapi dengan pelbagai pertimbangan, kali ini saya akan melewatkannya. Komputer saya masih cukup stres setelah mengunduh Oneiric dan Asparagus beberapa waktu yang lalu.

Saya tertarik dengan bagaimana Linux Mint mengembangkan MGSE (Mint Gnome Shell Extensions) untuk mengimbangi sejumlah ketidaksukaan terhadap Gnome Shell pada Gnome 3 yang merundung banyak pengguna Linux berbasis Gnome, termasuk pencipta Linux sendiri. Memang tampak baru, tapi saya malah mungkin akan langsung bosan, karena openSUSE sejak dulu menggunakan branding dekstop yang serupa pada era Gnome 2. Tapi ini memberikan kesan tradisional, bagi mereka yang alergi terhadap Gnome Shell.

Bagi para pengguna Mint, mungkin Lisa akan jadi sebuah sentuhan yang serba baru setelah Katya yang dulu mempertahankan gaya dekstop lawas.

Namun jangan kaget, jika Anda tidak akan menemukan Google sebagai mesin telusur asli pada Lisa. Sejak kerja samanya dengan Duck Duck Go, sebuah mesin telusur berbasis Bing, maka inilah yang saat ini menjadi mesin telusur asli. Dan saat saya mencobanya, hasilnya cukup bagus untuk pencarian Internasional.

Sayangnya, atau mungkin juga sebuah langkah bijaksana. Versi lengkap Linux Mint 12 saat ini hadir melalui berkas pemasangan berformat citra DVD, kecuali untuk edisi yang diciutkan tersedia dalam ukuran citra CD. Memang harus diakui, bahwa perkembangan pustaka dan banyak hal, membuat Linux berjenis Out of Box yang menggunakan teknologi Gnome terkini, sulit dimuat dalam sebuah CD.

Namun jangan khawatir, berkas DVD untuk instalasi penuh, ukurannya hanya 1 GB, tidak sampai 4 GB. Saya sendiri tengah membagi versi 32-bit melalui jaringan per to per (torrent) sebagai seeder, dengan menggunakan jaringan Smartfren di Yogyakarta, hanya perlu waktu antara 15 – 20 jam untuk mengunduhnya. Seharusnya semakin banyak penabur benih (seeder), maka makin cepat bisa diunduh.

Untuk menggunakannya, Anda setidaknya memerlukan sebuah komputer berarsitekstur x86 atau x64 dengan minimal RAM 512 (dan direkomendasikan 1 GB untuk kenyamanan penggunaan), ruang HDD setidaknya 5 GB dengan ketersediaan kartu grafis yang mendukung resolusi minimal 800 x 600. Jangan lupa adanya DVD ROM atau porta USB untuk pemasangannya.

Keterangan lebih lengkap tentang Linux Mint 12 “Lisa” dapat dibaca di pengumuman rilisnya.

25 tanggapan untuk “Melewatkan Rilis Linux Mint 12 “Lisa””

    • Mas Alief, mungkin jalannya perlu diperlebar lagi 🙂 – itulah mengapa saya tidak begitu suka memakai Internet yang berkuota dengan kecepatan tinggi hingga sejumlah transfer data tertentu.

      Suka

  1. saya belom mengunduhnya … maklum masih pusing dalam “membagi jatah” … ini kalau di instal … mau di install di mana 😆 HD penuh semua sama film hasil jarahan torrent … multi OS yang terinstall rasanya sayang untuk dihapus karena sudah kadung nyaman dan lagipula masih dapat “jaminan” update dari pengembang 😀 … nanti lah kalau sudah di tata rapih file-nya …

    Suka

    • Mas Rangga, ha ha…, saya saja mesti menggunakan dua mesin (komputer) untuk mengunduh, biar semua jatah terbagi secara merata :D. Oh, kalau saya sudah dipindah ke HDD eksternal 1 TB, lumayan untuk menyimpan harta jarahan, kalau mau disebut demikian :lol:.

      Iya, kalau mau ganti OS itu malas sekali rasanya, tapi kalau tidak dicoba bisa tidak tidur karena penasaran, betul kan? :D.

      Suka

    • Setujuuuuuu…ha..ha..ha..

      Ngomong-ngomong masalah pembagian jatah (partisi), saya harus rela mengorbankan beberapa distro yang sudah saya instal di ‘hard-disk’ laptop saya. Fedora dan Bodhi Linux adalah 2 di antara korbannya 😉

      Penyebabnya, saya merasa kurang cocok ama Fedora. Kalau Bodhi Linux, masalahnya adalah pada instalasi driver VGA SiS (yang selalu gagal). Entah kenapa tidak semulus di Ubuntu Lucid yg merupakan induknya.

      Suka

  2. Ha..ha..Saya cuma perlu waktu sekitar 2 jam-an untuk menyelesaikan proses pengunduhan si Lisa ini 😉 (sombong banget ya..he..he)

    Tapi tampilan panel kiri bawah Lisa di notebook saya kok nggak kayak yang di screenshot itu ya (#bingung). Apa mesti disetel dulu atau udah otomatis ya Mas? (tampilan menu utamanya itu).

    Atau jangan-jangan ini gara-gara VGA yang (lagi-lagi) tidak support. Btw, saya masih dalam tahap ‘meraba-raba’ si Lisa ini (sambil ‘mengelus’ yang lain, yang juga belum lama saya unduh dan pasang).

    Suka

    • He he…, maklum Mas Is, sekarang jadi fakir pita Internet dulu :D.

      Linux Mint menggunakan dua jenis, namun saya sendiri belum yakin bagaimana keduanya bekerja. Apakah Mas Is menggunakan MATE atau MGSE, kalau MATE mungkin tampilannya akan lawas, tapi kalau MGSE ya seperti pratampil di pojok kiri bawah itu.

      Suka

    • Oh iya. Saya mencoba yang versi MATE ternyata. Belum nyobain yang MGSE sih. Sepertinya yang MGSE tidak otomatis muncul di notebook saya.

      Suka

  3. Setelah bermain dengan Joli, Aku sangat puas rasanya…

    Tapi buat simpanan di USB dan juga buat merayu teman untuk menggunakan Linux, Aku nyimpan Mint Debian version, rolling realese katanya Bli.

    Suka

    • Mas Padly, Joli cuma saya mainkan lewat Google Chrome Apps 😀 – jadi ya cuma itu-itu saja. Kalau 5 atau 6 tahun lagi notebook saya sudah tidak bisa mengikuti perkembangan Gnome dan kawan-kawannya, maka ada kemungkinan besar Joli OS akan jadi lirikan ;).

      Saya sebenarnya senang merekomendasikan rolling release, tapi tidak banyak yang punya koneksi Internet stabil, jadi agak khawatir juga. Sehingga normal release lebih aman, jika ada yang meminta rolling release, mungkin ArchBang yang saya rekomendasikan, tapi harus diunduh dulu versi terbarunya.

      Suka

  4. Semakin hari paket-paket instalasi semakin besar, slogan linux berjalan dimesin yang jadul-pun sepertinya mulai ditinggalkan dan ada kesan ingin berlomba-lomba hanya menyaingi Windows.

    Suka

    • Pak Aldy, untuk yang mengejar grafis dan kenyamanan, memang paket besar dan komputer berspesifikasi tinggi tidak bisa dihindari. Namun bagi yang memang sudah cukup berkerja dengan kebutuhan yang esensial, tidak perlu terlalu banyak pembaruan, tidak mengejar mode, tidak masalah dengan penampilan sederhana. Maka bagi mereka akan selalu ada tersedia distribusi ringan yang cukup cocok, bahkan jika mampu ada yang bisa dibangun dari dasar dengan ringan, misalnya Arch Linux-nya Bli Dani Iswara, sehingga penggunaan Linux akan tetap hemat dan murah ;).

      Suka

    • Distro linux yang ringan hanya cocok untuk pengguna mahir. Pengguna baru seperti saya selalu mendapat siksaan untuk selalu update atau men-download, distro lain yang besaran paketnya mencapai angka 1GB-up.

      Suka

    • Pak Aldy, ha ha…, saya tidak jarang merasakan hal yang serupa. Jika masalah mengunduh berkas instalasi yang besar, sampai bergiga-giga? Mengapa tidak membeli saja yang sudah dibakar ke dalam bentuk kepingan digital, misalnya di toko daring Gudang Linux atau Baliwae, 1 keping CD seharga Rp 5.000,00 dan 1 keping DVD sekitar 20.000. Jika satu Linux bisa dipakai selama 2 tahun untuk sebuah mesin komputer, maka setidaknya paling mahal, kita hanya menghabiskan Rp 50.000 per lima tahunnya. Sangat berbeda dengan Windows yang mengabiskan sekitar satu atau dua juta rupiah per lima tahunnya untuk sebuah lisensi. Itu-pun jika diunduh, besar berkas instalasi Windows, juga mencapai ukuran gigabita :).

      Jika masalah update, memang risiko open source yang selalu memiliki pembaruan dengan cepat. Itu tandanya Linux berkembang dengan cepat dan memiliki dukungan yang baik daripada Windows yang terkenal agak lambat memberikan tambalan pada kelemahan-kelemahannya. Yah, ini jika dilihat dari kacamata positifnya menurut saya. Jika memang terbebani, maka disarankan hanya untuk mengaktifkan security update saja yang terperbarui secara otomatis, sehingga ramah pita Internet.

      Misalnya Ubuntu yang saya gunakan, saya setel hanya menggunakan program-program esensial. Dan cukup ramah, update-nya mungkin tidak akan lebih dari 100 MB per bulannya. Program yang tidak perlu diperbarui segera kan bisa menunggu, apalagi Ubuntu rilis setiap enam bulan, dari pada mengejar update si rubah api Firefox misalnya, lha, enam bulan lagi kan sudah ada yang baru 😀 – cuma Rp 5.000,00 di toko daring, tidak terlalu mahal untuk bekerja dengan sebuah sistem dan dukungan piranti lunak yang legal kan? ;).

      Suka

    • Resiko open source, mungkin ada benarnya :D.
      Kadang memang muncul fikiran untuk membeli CD/DVD di Gudang Linux, tetapi kemudian memilih update online saja, walaupun harus korban laptop online semalaman seperti petugas jaga malam.
      Mungkin bisa jadi ini yang disebut sebagian dari tiada kebahagiaan tanpa penderitaan.
      Windows? kayaknya masih terlalu digdaya untuk disandingkan dengan ubuntu. Apalagi untuk pengguna windows sejak awas seperti saya.
      Update window memang terkenal lamban dan sekarang service pack 1 windows7 64bit juga hampir mencapai angka 1GB, tetapi masih bisa diakali dengan mendompleng update-an dari kantor, karena kebetulan update dari kantor diorganisasi melalui Windows Catalog. [merem dan menghayal banyak pengguna ubuntu di tempat saya bekerja].

      Suka

    • Pak ALdy,

      Kalau berkas instalasi yang besar itu setahu saya lebih karena sudah termasuk paket-paket aplikasi siap pakai, khusus bagi pengguna pemula Linux yang tidak mau repot-repot atau pusing lagi setelah memasangnya nanti. Nah, pengembang Linux Mint mungkin ingin membangun brand Mint sebagai distro Linux yang ramah bagi pemula.

      Masalah berjalan di mesin jadul, justru ukuran berkas instalasinya cenderung sengaja diciutkan. Misalnya pada distro Linux berbasis Openbox, LXDE, Xfce, dan sejenisnya (yang memang dirancang agar bisa berjalan dengan lancar pada mesin jadul). Bahkan distro Puppy sangat kecil ukuran berkas instalasinya Pak.

      Kalau Linux Mint, versi Debian adalah pilihan terbaik untuk mesin jadul, misalnya yang menggunakan prosesor 486. Namun berkas instalasinya 1 GB sih. Tapi ukuran berkas instalasi yang besar tidak selalu berarti bahwa ia kurang ramah untuk mesin jadul (meskipun hampir selalu berkorelasi positif).

      Suka

    • Mungkin karena saya selama ini kenyang bermain dengan Windows, sehingga penilaian ini seperti ini sulit dihindari.

      Dalam pandangan saya, distro linux populer justru meninggalkan kesan enteng, tetapi justru meningkatkan kemampuan grafis yang gila-gilaan. Memang masih ada pilihan distro linux lainnya, tetapi penggunaannya sungguh tidak ramah untuk pengguna baru.

      Saat ini saya menggunakan Distro Linux Ubuntu, bayangkan hampir setiap hari selalu notifikasi update. Andai saja saya tidak terkoneksi dengan internet atau koneksinya senin-kamis, tidak terbayangkan sulitnya melakukan update. Mungkin ini sebuah resiko menggunakan barang gratisan? by the way, saya mulai suka dengan linux, tapi dari sisi lain, hitungan nilai ekonomisnya tidak mungkin saya hindari.

      Suka

    • Pak Aldy,
      Kalau mau yang jarang ada notifikasi update-nya, pakai Linux Mint Debian Version saja. Ini berdasarkan pengalaman saya setelah menggunakannya kurang lebih 1 bulan lebih ini. Tapi tetap saja di awal pemakaian, akan muncul notifikasi update yang lumayan besar ukurannya, padahal barusan diinstall. Tapi itu karena ada patch baru (service-pack baru).

      Tapi setelah itu, hampir tidak pernah ada notifikasi lagi. Kalaupun ada, ukurannya tidak besar. Mungkin ini disebabkan karena Linux Mint Debian Edition menganut sistem rolling-release. Jadi, notifikasi update-nya sangat jarang bila dibandingkan dengan Ubuntu. Pokoknya jarang banget deh selama saya menggunakannya.

      Nah, kalau Ubuntu saya akui memang cukup sering mengeluarkan pembaruan sekuritinya. Kalau memang ingin serius menggunakan Ubuntu, memang perlu punya koneksi Internet yang cukup memadai. Tapi ini mungkin seperti kata mas Cahya (sudah resiko menggunakan perangkat lunak berkode sumber terbuka). Apalagi yang berbasis distro populer seperti Ubuntu.

      Suka

    • Saya sudah baca tulisan Mas Is dan seperti Mint cukup menarik. Ntar lain kali akan saya coba. Untuk saat ini saya masih doyan menggunakan Ubuntu dan tentu saja, dengan sangat berat hati mematikan beberapa update yang dirasa kurang penting seperti saran Mas Cahya. [kok kayaknya ada yang kurang…]

      Ketertarikan dengan ubuntu dan mempelajarinya terus terang karena dua putri saya tidak menggunakan windows sebagai OS utama, mereka menggunakan Ubuntu. Tujuan saya agar bisa membantu jika mereka menemui kesulitan, tapi pada prakteknya, justru bapaknya yang banyak bertanya sama sang anak 😉

      Suka

  5. sepertinya VGA card intel saya tidak kuat untuk mengoperasikan GNOME 3 Mint ini 😦 (berharap akan mendapatkan RADEON HD Series) 😛

    Suka

    • Melvin, kalau VGA sudah tidak kuat, ya kembali pakai OS berbasis Open Box atau Chromium OS, seperti halnya Joli OS, atau Windows XP SP 3 lawas – kalau memang punya yang genuine :lol:.

      Suka

    • komputer saya masih bisa di bilang semi jadul. buktinya, masih bisa menampung KDE 4.4 dan GNOME 2.x 😛

      Suka

    • ketahuan belum mencoba 😀 … Gnomeshell/ gnome 3 (bahkan dengan efek) sebenarnya jauh lebih ringan daripada KDE 4 (menggunakan efek default KDE) …

      Suka

    • Mas Rangga, saya kira Gnome Shell tidak berat untuk komputer, pada kondisi normal hanya menghabiskan RAM sekitar 200 MB, dan sedikit bekerja mungkin di atas 400 MB. Jadi jarang menyentuh RAM hingga 1 GB, SWAP pun tampaknya aman-aman saja. Mungkin keperluan akselerasi grafisnya yang lumayan, tapi saya tidak yakin batasan yang diperlukan berapa.

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.