Malam ini saya melepas lelah dengan membaca sebuah topik forum tentang “Indonesia & Pembajakan” di salah satu forum resmi penerbitan di negara kita. Inti sebenarnya forum itu adalah mengingatkan betapa tidak baiknya mendukung komik bajakan, termasuk scanlations yang beredar di Internet karena merupakan tindakan yang melanggar hukum. Bahkan (menurut diskusi forum tersebut), pelaku yang sengaja membacanya pun bisa dijerat dengan UU Hak Cipta, UU Informasi dan Transaksi elektronik misalnya.
Namun apakah itu berlaku di Indonesia? Mungkin ya, mungkin tidak. Jangankan kasus scanlations, plagiasi blog pun tidak tertolong di negeri ini. Kita punya hukum, namun semua orang tahu bahwa menanyakan berjalannya hukum sama seperti menanyakan kapan udara langit akan runtuh.
Pengertian
Namun sebelum membahas lebih jauh lagi, mungkin tidak banyak yang tahu apa itu scanlations. Merupakan kependekan dari “scans and translations“, yang intinya memindai/menyalin dan menerjemahkan. Umumnya ditujukan untuk menunjukkan aktivitas menyalin komik dari bahasa aslinya, dan kemudian mengalihbahasakannya sesuai dengan bahasa pelaku. Biasanya dari komik berbahasa Jepang (Manga), Korea (Manhwa) ataupun Cina (Manhua) ke bahasa Internasional, yaitu bahasa Inggris atau ke bahasa lokal lainnya.
Sejarah dan Motif
Saya sendiri tidak tahu bagaimana persisnya sejarah scanlations ini, dan para pelakunya yang disebut scanlators bisa muncul. Namun di tahun 70-an, sudah ada proyek scanlations yang berlangsung di Jepang, meski secara manual mengirim pada “komunitas” dengan menggunakan pos. Namun seiring dengan perkembangan teknologi Internet pada akhir tahun 90-an hingga saat ini, dunia scanlations berganti area kerja ke ranah dunia maya.
Proses scanlations tidak bisa pendek, biasanya bekerja dalam kelompok tertentu, ada yang menyediakan komik mentah (raw) – yang tentu saja dibeli (untuk kemudian dirobek sehingga menjadikan kualitasnya menjadi lebih baik nantinya), ada yang menerjemahkan, ada yang memindai/menyalin ke dalam bentuk berkas elektronik, ada yang menerjemahkannya, ada yang membersihkannya dari tulisan asli, ada yang menambahkan tulisan terjemahan, dan ada yang menilai penggunaan tata bahasanya, dan ada yang menerbitkannya.
Biasanya hasil diterbitkan secara tertutup untuk kalangan sendiri via IRC, pada situs resmi kelompok scanlators, ataupun pada situs agregasi khusus scanlations.
Jadi bisa dikatakan mereka bekerja layaknya sebuah percetakan profesional (meski tidak semuanya demikian). Perbedaan mendasarnya adalah, para scanlations tidak memegang lisensi untuk menghasilkan karya turunan dari karya aslinya (derivative works).
Dari apa yang saya pahami sampai saat ini, alasan kehadiran mereka sederhana, karena ingin menghadirkan komik pada mereka yang tidak bisa menjangkaunya karena satu atau sejumlah halangan. Misalnya halangan area/wilayah/negara, halangan bahasa, bahkan halangan dukungan moneter – alias kantong kering. Alasan lain tentu saja banyak, semisalnya memperkenalkan karya komik menarik pada khalayak ramai, atau karena geregetan bahwa penerjemahan aslinya terlalu lambat. Namun dari semua itu, saya tidak pernah – dalam pengalaman saya – menemukan kelompok scanlators yang melakukannya untuk keuntungan finansial. Bahkan mereka sering kali mengingatkan kelompok pembacanya untuk mendukung pengarang komik dengan membeli komik yang asli begitu tersedia di negara masing-masing.
Penerimaan
Scanlations bisa disebut sebagai sebuah fenomena global dalam penyebaran komik, bahkan tanpa perlu dikalkulasi, sebuah turunan karya asli melalui proses publikasi scanlations jauh lebih banyak dibaca dibandingkan komik aslinya sendiri. Sehingga saya rasa banyak pihak yang mendukung proses ini, baik secara diam-diam ataupun terang-terangan.
Sejumlah pengarang komik tidak berkeberatan karya mereka dipublikasikan melalui proses yang tidak bisa dikatakan legal ini, namun tidak sedikit yang menolak bahkan membenci aktivitas ini. Dan sebagian besar perusahaan penerbitan di negara asli komik tentu sangat berkeberatan sebagai pemegang lisensi penerbitan.
Selalu Muncul
Sejarah pendeknya memperlihatkan bahwa kegiatan scanlations selalu muncul, karena motif di atas yang selalu ada, dan generasi baru pecinta komik akan selalu muncul.
Saya masih ingat di akhir dekade pertama milenium ketiga, ada puluhan situs agregasi karya scanlations yang berkibar terang benderang di dunia maya di atas nama kebebasan berbagi. Dan sebuah situs bernama One Manga adalah salah satu yang teratas – bahkan mungkin yang paling atas. Namun sebuah permintaan resmi (plus sejumlah ancaman) dari kelompok penerbit di Amerika dan Jepang bersama-sama dengan para pengarang meminta para scanlators menghentikan aktivitas mereka, dan situs-situs yang menyediakan agregasi dari derivasi komik asli agar berhenti beroperasi.
Yang menghormati hal ini, segera menutup diri dan aktivitas mereka – One Manga adalah salah satunya yang saya tahu. Namun bagi yang memang ingin mengeruk keuntungan dari scanlations seperti Mangafox, Mangareader, dan Manghere tetap beroperasi, bahkan saat kelompok scanlators melarang hasil kerja mereka diunggah ke situs-situs tersebut.
Ini memperlihatkan bahwa meskipun dalam banyak tekanan, proses scanlations tetap berjalan di luar sana.
Area Abu-Abu
Jika ditanyakan, apakah scanlations, termasuk pembuatannya, penyediaannya, dan penggunaannya melanggar hukum?
Ya, tentu saja. Setidaknya jika kita merujuk pada norma Intenasional yang terkandung pada Konvensi Berne tahun 1886. Anda bisa merujuk pada Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works, meski saya tidak suka aturan yang baru setelah Amerika ikut masuk kemudian.
Namun scanlations sering kali hadir pada wilayah yang tidak terlindungi oleh hukum asal. Misalnya komik A terbit di Jepang dan dibuat lisensi untuk beredar di Jepang, namun jika karya turunannya dibuat oleh kelompok scanlators hadir di Amerika (menggunakan server Amerika), maka tidak ada hukum legal yang melindungi pembajakan dari karya asli di sana.
Namun, jika komik A sudah terbit di Amerika dan dilensensikan oleh penerbit lokal. Maka pihak scanlators pada umumnya akan menghentikan proyek scanlations terhadap komik A, dan menarik karya mereka dari Internet. Dan tidak jarang mereka memberikan pengumuman resmi bahwa proyek mereka tidak diteruskan, dan menyarankan membeli komik asli yang kini sudah terbit di negara mereka untuk mendukung pengarang komik.
Jadi bisa dikatakan mereka memang melakukan derivasi dari karya asli tanpa izin dari pengarang komik, namun itu ketika hukum tidak memiliki kuasa atas tindakan mereka, dan mereka melakukannya tanpa ada itikad buruk atau maksud merugikan pengarang. Jadi, inilah ranah abu-abu sebuah proses scanlations.
Dampak Buruk
Pun demikian, ada dampak buruk fenomena ini – dan ini tentu saja mengurangi penjualan. Bayangkan saja jika orang menemukan tempat di mana komik bisa dibaca secara cuma-cuma, dan sehingga halangan mereka selama ini untuk membaca komik tiba-tiba hilang secara ajaib. Siapa yang akan ke toko buku untuk membeli komik?
Ini mengancam keberlangsungan bisnis komik secara legal yang berlangsung selama ini.
Apalagi di Indonesia, yang diakui sebagai salah satu pasar terbesar dari komik Jepang di dunia. Jika penggemar komik di Indonesia beralih ke versi scanlations daring di Internet, maka bisa-bisa penjualan aslinya akan anjlok.
Dampak Baik
Jika Anda menemukan bahwa saya menuliskan dampak baik ternyata lebih banyak dari dampak buruk, itu bukan berarti saya mendukung fenomena ini.
Tidak sedikit komik yang menjadi populer ke seluruh dunia melalui situs agregasi scanlations, mereka hadir lebih cepat daripada terjemahan asli, bahkan tidak jarang memberikan kualitas gambar dan terjemahan yang lebih baik daripada proyek derivasi yang berlisensi.
Mengampanyekan pada pembacanya untuk menggunakan komik yang diterbitkan secara legal.
Memberikan kesempatan calon pembeli untuk memilih komik mana yang bagus untuk dibeli. Sehingga dapat mengurangi munculnya “tragedi” tertipu oleh sampul dan resensi komik yang tampak bagus, tahu-tahu di dalamnya mengecewakan setelah dibeli.
Bisa dimanfaatkan oleh perusahaan penerbitan untuk melihat komik-komik mana yang cukup populer sehingga bisa diterbitkan di negaranya, dan mana yang tidak begitu populer sehingga mungkin penerbitannya dihentikan. Jadi situs agregasi scanlations bisa menjadi sebuah barometer kepopuleran komik. Mereka menyebarkan kabar komik-komik “berkualitas” sesuai dengan kesukaan masing-masing pembaca jauh lebih cepat dan lebih menjangkiti pembaca ketimbang promosi yang dilakukan oleh pihak penerbit resmi di masing-masing negara, karena mereka tidak memiliki penghalang jika sudah ada akses Internet.
Tentu saja dalam komik elektronik (e-comic), mereka menyelamatkan penggunaan kertas dan berarti menyelamatkan hutan dan lingkungan hidup. Sistem para scanlations tidak jarang diadopsi oleh pihak penerbit dengan menggunakan sistem e-comic berbayar yang sangat pas sebagai modernisasi di era digital ini. Namun sepertinya sistem yang sama belum pernah saya dengar berkembang di Indonesia, apa mungkin pihak penerbit khawatir komiknya dibajak. Hei…, ini Indonesia, apa sih yang tidak dibajak?
Situs agregasi juga berfungsi sebagai pencadangan. Apa Anda penggemar komik yang sering membeli komik ke toko buku? Anda mungkin pernah mengalami yang namanya kehilangan, baik karena dipinjam kemudian tidak dikembalikan (kasus tersering), lupa menaruh di mana saat dibawa jalan-jalan, atau seperti kasusnya Nobi Nobita – koleksi komik dibuang oleh si ibu. Lalu apakah Anda harus membeli lagi komik yang sama berulang kali? Agregasi scanlations oleh banyak pengguna memiliki sifat seperti pencadangan komik mereka, sedemikian hingga berfungsi dua arah, “saya sudah membeli komik aslinya, tapi hilang, jadi ya saya baca cadangan di sini” atau “komik aslinya belum terbit, jadi menunggu terbit saya baca di sini.”
Anda mungkin menemukan sisi baik scanlations itu sendiri.
Penyalahgunaan
Tentu, meskipun para scanlators tidak pernah punya itikad buruk untuk merugikan pihak penerbit dan pengarang komik. Namun ada saja pihak-pihak yang menyalahgunakan apa yang mereka hasilkan.
Sebut saja situs agregasi seperti Mangafox, Mangareader dan Mangahere yang paling dibenci oleh pihak scanlators juga oleh pihak penerbit dan pengarang. Para scanlators banyak yang sudah memperingatkan agar hasil kerja kelompok mereka tidak diunggah ke situs-situs tersebut, karena situs-situs itu hanya meraup keuntungan finansial semata dari upaya non-komersial mereka. Dan para scanlators sudah menyarankan pembaca untuk meninggalkan situs-situs tersebut.
Dan yang cukup parah adalah adanya pihak-pihak yang mengunduh dan memperbanyak/mencetak hasil proses scanlations untuk tujuan komersial, atau diperjualbelikan menjadi komik bajakan komersial. Ini mematikan industri penerbitan komik asli di negara yang bersangkutan.
Ataupun pihak-pihak yang menggunakan layanan hosting untuk mendapatkan uang jika ada yang mengunduh berkas scanlations yang mereka unggah ke sana. Saya lihat sejumlah narablog di dalam negeri juga melakukan aktivitas seperti ini.

Jalan Tengah
Jangankan sebuah jalan keluar bagi fenomena ini, bahkan jalan tengah pun sulit ditemukan. Mengapa? Karena permintaan akan komik berkualitas akan selalu ada selama komik itu ada yang membuat, dan halangan (barrier) antara calon pembaca dan komiknya akan selalu ada – sementara pihak penerbit asli tentu tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi tembok penghalang ini. Dan di sinilah sebuah scanlations muncul.
Para scanlators kini menganjurkan agar pembacanya menggunakan situs resmi mereka langsung, atau situs komunitas bersama seperti Batoto – yang mendukung proyek scanlations dari pelbagai negara dan bahasa. Di sini mereka menyediakan scanlations secara cuma-cuma, namun jika ada keberatan dari pihak yang memiliki lisensi untuk karya yang mereka turunkan (derivasi), maka karya tersebut akan segera ditarik dari situs-situs ini, sehingga tetap menghargai aspek legal.
Situs seperti Batoto juga menyediakan ruang bagi pemilik lisensi atau pengarang komik untuk melakukan publikasi karya mereka secara digital pada situs komunitas tersebut. Hal ini selain memangkas biaya promosi dan biaya membuat digital library sendiri bagi komikus pemula, juga keuntungan yang didatangkan diberikan kembali pada komikus.
Sampai saat ini, sudah menjadi konsensus tidak tertulis bahwa setiap kelompok scanlators tidak akan memberikan hak cipta pada proyek mereka. Karena mereka tidak memerlukan keuntungan finansial (melirik kembali bahwa komersialisasi dan keuntungan finansial bukanlah alasan scanlators hadir). Hasil jerih payah mereka selalu disediakan secara cuma-cuma, dan tidak diizinkan untuk diperdagangkan. Bahkan tidak jarang mereka merogoh kocek sendiri untuk membuat “pondok bersama” di dunia maya, karena anggota kelompok mereka bisa jadi berasal dari pelbagai negara. Meski tentu kadang ada sumbangan dana yang mereka peroleh dari donasi pihak-pihak yang bersimpati.
Fenomena ini mengingatkan saya pada kisah klasik Robin Hood, meskipun tidak sepenuhnya dalam konteks yang sama. Fenomena ini mirip dengan keberadaan Teluk Para Perompak, hanya saja sedikit lebih beretika. Dan saya rasa, belum ada jalan tengah yang bisa mempertemukan dua kepentingan yang berbeda aliran ini, antara pihak scanlators dan pihak pemegang lisensi.
Tinggalkan Balasan