Melasti Dalam Hikayat

Pagi tadi saya mengikuti rangkaian Upacara Melasti bersama warga Desa Beringkit, sudah cukup lama saya tidak mengikuti kegiatan seperti ini. Melasti merupakan salah satu rangkaian Hari Raya Nyepi, di Bali dilakukan biasanya dua hari menjelang Nyepi, namun di tempat lain menyesuaikan, karena biasanya tidak libur khusus untuk kegiatan ini.

Secara ritual, Upacara Melasti melibatkan para umat yang mengiring benda-benda yang disucikan di Pura masing-masing (disebut Pratima) menuju laut (baca: segara) untuk dibersihkan kembali. Namun karena saya tidak terlalu memiliki ketertarikan, jadi detil ritualnya tidak pernah saya ketahui.

Secara filsafat, Melasti bermakna membersihkan segala sesuatu yang sifatnya niskala (tak kasat mata), termasuk batin manusia. Mungkin memang dalam tradisi dan sejarah panjang perdaban manusia, air adalah elemen alam yang paling banyak membantu manusia dalam membersihkan segala sesuatunya – dan sumber air terbesar adalah lautan – bagaikan daya pembersih Ilahi, yang tak akan pernah habis.

Melasti

Saya sering diceritakan, bahwa orang-orang dulu akan berangkat ke pantai dengan berjalan kaki saat transportasi tidak seperti saat ini. Bahkan mungkin yang tinggal jauh di pantai sudah mulai berangkat sejak dini hari dengan membawa serta obor. Mungkin pemandangan seperti itu tidak akan tampak lagi di Bali.

Dan dulu tidak ada yang namanya makanan dan minuman instan, tidak ada air mineral botolan. Mereka yang berjalan kaki, dan bahkan sering kali tanpa alas kaki, tidak jarang harus menahan haus dan lapar di sepanjang jalan. Jika pun ada sumber kesegaran, mungkin dari padagang tebu yang dulu katanya cukup sering dijumpai di sepanjang jalur Melasti. Pun yang tidak punya uang, mungkin terpaksa meneguk air dari persawahan yang terhampar di sepanjang perjalanan.

Melasti Ceremony 2008

Namun saat ini semuanya sudah berbeda. Jalanan sudah dibangun dengan baik, kendaraan dan transportasi tersedia, rumah makan dan tempat peristirahatan di perjalanan ada di mana-mana. Meski tentu saja tidak melupakan juga kemacetan lalu lintas yang semakin menjadi dari hari ke hari.

Saya ingat Melasti 20 tahun yang lalu saat berbeda dengan hari ini, dan kisah Melasti 20 atau 40 tahun sebelumnya juga sangat berbeda dengan yang saat itu saya bisa kenang. Dan saya tidak akan tahu bagaimana akan jadinya 20 tahun mendatang.

Wujud bisa berubah, karena pada hakikatnya tiada yang abadi di muka bumi ini. Namun yang menjiwainya akan tetap sama.

Ada kemurnian yang tak dapat tampak dalam kelimpahan cahaya. Ada kesejukan yang tak dapat hadir di antara tumpukan kerimbunan. Ada pertanyaan yang tak dapat terjawab di sekitar hamparan petunjuk.

Kita menyebutnya dengan banyak nama, katakan saja kebenaran yang agung, kedamaian sejati, keilahian, kemurnian yang utama, keseimbangan yang murni, keabadian, ataupun Tuhan.

Banyak dari kita selalu mencari-Nya, apakah untuk meminta meringankan beban kehidupan kita, mencari jawaban. Banyak dari kita yang berpikir mengetahui-Nya, mengucapkan nama-Nya dan merasa benar di antara kekeliruan banyak orang lainnya. Banyak dari kita yang telah menunjukkan suatu ketaatan yang konon untuk-Nya.

Saya tidak tahu, namun mungkin Melasti bukan untuk semua itu. Namun Melasti adalah sebuah perjalanan bagi kita menemukan diri kita sendiri.

Jika taman Anda terlalu penuh dan rimbun, mungkin kesejukkan tidak akan tiba, rapikan taman Anda, seperti merapikan sebuah ruangan dan membuka jendelanya. Jika Anda berjodoh, angin akan datang menghantarkan serta kesejukan.

Kita tidak akan pernah menemukan kebenaran, jika yang kita usung hanyalah pembenaran. Kita tidak akan pernah berjumpa keseimbangan, jika kita hanya berkutat pada menyeimbangkan. Dan mungkin kita tidak akan pernah bertemu dengan keilahian, jika kita tahu terlalu banyak tentang sang Ilahi.

Ada sebuah kisah unik yang diceritakan pada saya dulu sekali tentang sosok raksasa maha sakti yang berusaha mencari persembunyian Wisnu.

Sang raksasa yang maha sakti, mungkin karena anugerah salah satu Tri Murti seperti Siwa, memimpin bala tentaranya menyerang Surga di mana Indra dan para dewata lainnya menjalankan pusat pemerintahan alam kita. Karena kesaktiaan yang tiada tara, Indra dan para dewa tak mampu membendung serangan sang raksasa dan akhirnya terusir dari surga.

Tidak banyak ada raksasa yang tercatat pernah berhasil menyerang dan menguasai surga, salah satu yang terkenal mungkin adalah Rahwana dalam kisah Ramayana. Dan sang raksasa ini merasa begitu hebat, seakan mungkin tiada satupun yang lain di alam semesta ini yang dapat menentang kuasanya.

Setelah menaklukan surga, ia pun segera menjalankan niat barunya untuk mengalahkan Wisnu – Sang pelindung seluruh alam semesta. Namun begitu ia melabrak kediamanan Wisnu, ternyata Sang Ilahi tidak ada di sana. Dia pun marah sekaligus girang, senang karena merasa Tuhan pun pada akhirnya kabur dari dirinya, marah karena tidak berhasil mengalahkan Wisnu dengan tangannya sendiri.

Si raksasa meneruskan kampanyenya untuk mencari dan menemukan Wisnu, di manapun Sang Bijak itu bersembunyi. Namun meski telah mencari ke segenap pelosok jagat raya dan berjaga di mana saja Wisnu sering dikatakan muncul, sang raksasa tidak dapat menemukan Wisnu.

Suatu ketika Narada bertemu dengan Wisnu, dan pendeta itu pun bertanya heran pada junjungannya, “Yang Mulia, di manakah Engkau bersembunyi ketika tempat-Mu diserang?

Wisnu tersenyum dan berkata, “Aku tidak bersembunyi di manapun, seandainya dia mau menengok ke dalam hatinya, mungkin dia akan segera menemukan-Ku saat itu juga.

Kisah ini mengingatkan saya pada diri kita sendiri. Kita melekat pada sesuatu yang menurut kita benar, dan bahkan harus dilakukan tanpa adanya kesadaran yang mendalam akan semua itu. Tidak sedikit dari kita berpikir, bahwa kebenaran kitalah yang benar dan yang lain keliru, bahkan harus dimusnahkan; tidak jarang kita bertindak bahwa Tuhan kita-lah yang harus dibela, dan yang lain dimusnahkan. Kita tak pernah sadar bahwa kita terjerat sebuah idelisme, kita sedang terperangkap jejaring cahaya.

Jika kita bersedia menengok ke dalam sanubari kita sesaat, mungkin kita akan menemukan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang menyengat, sesuatu yang mengejutkan. Namun tidak banyak dari kita yang mau menengok hatinya sendiri, dan dari yang sempat menengok sebagian besar mungkin kaget dan kembali berlari ke arah gemerlap idealisme di luar sana dengan rasa aman yang dibangunnya.

Pun kita ingin melongok ke dalam hati kita, maka kita sebaiknya membersihkan semua yang menghalangi, apapun itu, ide, prasangka, stigma, kepercayaan, dan bahkan saya sendiri tidak jarang berkata pada diri saya sendiri, “jika pun yang menghalangimu melihat hatimu sendiri adalah kitab sucimu, maka buang saja itu kitab suci, kamu tak memerlukannya di sana“.

Jika ruangan kita sudah rapi, maka sinar matahari dapat masuk, angin sepoi-sepoi pun bisa masuk, menghilangkan kepenatan, kesumpekan, hingga kuman-kuman penyakit, dan saat kita masuk ke dalamnya, sebuah tempat yang nyaman dan sehat tersedia bagi kita.

Jika segala sesuatu yang menyesakkan sanubari kita sudah dilepaskan, maka kita bisa melihatnya secara utuh, menembus ke relung terdalam. Jika seseorang bisa melihat dan hidup di hatinya sendiri, maka egonya akan luruh dengan sendirinya.

Ndas buto

Di Bali khususnya, setelah Melasti akan ada Pangrupukan (Tawur Kasanga) yang cukup terkenal dengan pawai/festival ogoh-ogohnya. Orang asing sering berkata ini sebagai sebuah “exorcism ceremony” yang khas di Bali. Mungkin karena memang pandangan umum bahwa ritual ini digunakan untuk mengusir kekuatan/elemen jahat di sekitar lingkungan tempat tinggal manusia, sehingga tidak menganggu perayaan Nyepi esok harinya.

Ogoh-ogoh adalah simbolisme/perlambang elemen jahat tersebut, dan pada akhirnya dibakar pada akhir ritual pengarakan keliling desa. Meski mungkin ada beberapa yang membiarkan ogoh-ogohnya tetap utuh untuk dipajang, dan hanya membakar bagian yang esensial saja untuk ritual. Karen memang banyak yang menyayangkan bagian dari apresiasi seni ini ang bisa memakanan dana puluhan juta rupiah meski hangus setelah digunakan semalam.

Pada akhirnya Melasti dan Tawur Kesanga adalah rangkaian untuk mempersiapkan Nyepi.

Jika hati seseorang sudah dibersihkan, maka dengan sendirinya tidak akan ada sesuatu yang jahat muncul dari dalamnya. Namun jika egoisme masih muncul, maka kita bisa bertanya kembali, apa yang masih ada di dalam benak, pikiran, pun hati kita?

Dan yang terakhir adalah Nyepi, keheningan yang total. Sebuah nama diberikan pada keilahian oleh masyarakat Bali kuno, sebagai Sang Hyang Embang, yang bermakna Sang Hening, Sang Kosong, Sang Kehampaan, yang merupakan salah satu sebutan bagi Tuhan.

Nama Sang Hyang Embang mungkin digunakan oleh orang yang tidak ingin terjebak dalam konsep Tuhan, tidak ingin terjebak dalam perdebatan panjang tentang Tuhan. Jika semuanya telang kosong dan hening, maka tidak ada lagi yang dipuja, tidak ada lagi yang disembang, diagungkan, pun tidak ada lagi yang perlu di bela. Karena di sana tidak ada lagi apa-apa.

Saat orang memiliki hati yang murni, bersih, berhadapan dengan sebuah keheningan yang total. Apakah yang terjadi di sana?

Hati manusia ibarat sebuah mangkuk dengan air, jika airnya tenang dan jernih, dan mangkuk itu dihadapkan dengan rembulan, apakah yang tampak di sana?

Pertanyaan itu selalu sama, namun tidak pernah memiliki jawaban. Mungkin karena apa yang ada di sana, tidak bisa dirangkaikan menjadi sebuah jawaban, tidak bisa dirangkaikan ke dalam kata-kata. Mengapa? Mungkin karena tidak ada kata yang memang dapat mewakili-Nya, tidak ada ungakapan yang cukup jelas dapat menggambarkan Itu yang ada di sana.

Jika ada orang yang bersedia mengisahkannya kembali, mungkin akan akan menjadi sebuah kitab suci yang baru, dan kitab suci pun pada akhirnya bukanlah Itu.

Demikianlah, saya sudahi saja tulisan ini sebelum melantur kemana-mana. Bagi sahabat yang merayakan Hari Raya Nyepi, saya ucapkan selamat merayakan.

Dan saya rasa juga banyak yang tidak merayakan pun akan ada dan hadir di Bali saat Nyepi. Karena sebuah pulau yang biasanya ramai akan menjadi sangat sunyi pada satu hari ini. Meskipun seluruh bandara dan pelabuhan ditutup di Bali selama Nyepi, namun ada di Bali pada saat Nyepi tidak dilarang.

Saya hanya berharap tidak ada lagi insiden tahun ini, termasuk juga di dunia maya dan jejaring sosial pada tahun sebelumnya. Pemeluk agama lain (non-Hindu) tidak dipermasalahkan melaksanakan ibadahnya pada hari Raya Nyepi di Bali; demikian juga untuk aktivitas rumah sakit dan layanan gawat dararut akan tetap beraktivitas dengan tetap menjaga nuansa perayaan Nyepi.

Langit malam Bali saat Nyepi mungkin yang paling banyak dicari para pelancong, karena pada waktu yang cerah, Bima Sakti bisa tampak dengan indah di atas pulau yang hening dari polusi cahaya dan suara. Walau mungkin tahun ini sepertinya akan mendung, karena beberapa malam ini langit tak pernah cerah sempurna. Pun demikian, suara jangkrik dan harmoni malam akan tetap memikat.

16 tanggapan untuk “Melasti Dalam Hikayat”

  1. Very impressive writing!. Penterjemahan atas sebuah pemahaman dan kedalaman pemikiran akan ketuhanan dan semesta.
    Salam kenal. 

    Suka

  2. Saya terpukau membaca tulisan ini, pemahaman makna yang hanya bisa ditemukan dengan perenungan mendalam dan kecerdasan spiritual.

    Tapi, sebagai seorang muslim saya kurang setuju pada:

    1. “….merasa benar di antara kekeliruan banyak orang lainnya.”Saya pikir, merasa paling benar (dalam perspektif percaya pada Tuhan) memang harus ada didalam diri setiap manusia agar keyakinan pada Tuhan tidak mudah luntur.

    2. “Tidak sedikit dari kita berpikir, bahwa kebenaran kitalah yang benar dan
    yang lain keliru, bahkan harus dimusnahkan; tidak jarang kita bertindak
    bahwa Tuhan kita-lah yang harus dibela, dan yang lain dimusnahkan.”

    Setiap keyakinan (baca: agama) memiliki dogma dan tak sepengikutpun yang
    boleh melanggarnya. Pemeluk Islam yakin pada kalimat ‘Tiada Tuhan
    Selain Allah’ dan itu dogma dengan harga mati. Jadi wajarlah jika Islam
    terkesan begitu keras dalam mempertahankan dogma ini.

    Namun dalam konteks ‘yang lain harus dimusnahkan’, Islam tidak pernah menghalalkan itu. Jangankan memusnahkan, sedikit mengganggu pemeluk agama lain aja tidak boleh, Islam melarang perbuatan itu dengan keras.

    Namun pastinya akan menentang siapa saja yang mengatakan “jika pun yang menghalangimu melihat hatimu sendiri adalah kitab
    sucimu, maka buang saja itu kitab suci, kamu tak memerlukannya di sana“.

    Mengapa? Karena kitab suci adalah penerang, bukan penghalang dan itu juga harga mati. Bukan kitab sucinya yang salah, tapi manusia yang merasa terhalang oleh kitab suci itulah yang salah.

    Walaupun begitu, saya salut dengan tulisan ini dan mohon maaf jika saya menanggapinya dari perspektif seorang muslim.

    Nais pos bli, kau menyentuh hatiku dari sisi yang berbeda. Seandainya saja kita bisa bertemu dan berbincang di ruangan yang bersih dimana cahaya dan angin sepoi melengkapi kebahagiaan yang tercipta.

    Suka

    • Monggo Mas Surya, silakan, persepsi berbeda tentu tidak masalah. Karena landasan berpikir yang digunakan memang beda :).

      Suka

  3. dan saya hanya bisa mengatakan, selamat menyambut hari raya nyepi,bli cahya dan bagi semua umat hindu yang merayakannya.

    Suka

  4. Nice one! Like it so much…,,, Slama hidup di Bali rasanya mles bgt hrus melasti or sembahyang ke pura, skrg hidup jauh d negara orang malah kangen berat pingin pake kebaya trus ke pura,,,

    Suka

    • Mungkin sedang rindu kampung halaman, siapa tahu nanti saat pulang bisa kembali berkebaya beramai-ramai seperti dulu :).

      Suka

  5. Jadi pingin saat Nyepi berada di Bali. Mumpung saya libur 3 hari. Dan mumpung sudah lama sekali saya tidak pernah pergi ke Bali lagi. 

    Oh, ya saya mengucapkan selamat merayakan Nyepi, Mas Cahya dan semua umat Hindu yang merayakannya.

    Suka

  6. Saya suka. Selamat Hari Raya Nyepi, Cahya. Baca tulisan ini saya jadi kangen menikmati suasana sepi saat libur Hari Raya Nyepi.

    Suka

    • Terima kasih Mas Pushandaka, silakan kapan-kapan jika bisa senggang dari tugas mengabdi pada negara kan bisa balik ke Bali lagi :).

      Suka

  7. Adem banget baca bagian ini:  “Kita tidak akan pernah menemukan kebenaran, jika yang kita usung hanyalah pembenaran. Kita tidak akan pernah berjumpa keseimbangan, jika kita hanya berkutat pada menyeimbangkan. Dan mungkin kita tidak akan pernah bertemu dengan keilahian, jika kita tahu terlalu banyak tentang sang Ilahi.” 🙂

    Fotonya tajam banget Cahya, bagus. Terutama awan di foto kedua. 🙂
    .

    Suka

    • Oala…! Aku ndak ngeh euy 😀

      Ya udahlah ya, yang penting tulisannya bagus kok. Aku baru tahu prosesi Melasti ini malahan hehehe…

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.