Kemarin dalam hitungan jam, muncul banyak tulisan dari sejumlah narablog yang mengkritisi tentang sebuah guyonan yang beredar di BlackBerry Messenger seputar topik tragedi jatuhnya pesawat komersial yang melakukan demo flight baru-baru ini. Ketika banyak orang berduka dan bersedih, ada yang membuat lelucon tentang hal tersebut dalam sebuah teknologi yang seharusnya memberikan kebaikan bagi yang menggunakannya.
Di sinilah saya merenung kembali, bahwasanya sebuah belati yang dibawa oleh orang bisa bermanfaat bagi kebaikan, namun kadang juga memberikan yang sebaliknya. Ketika seseorang tidak bisa – setidaknya – membayangkan dirinya berada dalam posisi orang lain, maka dia mungkin tidak akan pernah mengetahui ataupun sadar akan apa yang orang-orang di sekitarnya rasakan.
Saya tidak berkata membuat lelucon adalah hal yang salah, bahkan itu kreativitas yang baik – dan sebaiknya diwujudkan dalam suasana yang tepat.
Manusia katanya mahluk yang berakal dan berbudi, maka saya dan mungkin banyak orang lainnya berharap setidaknya kita dapat menyeimbangkan kedua hal itu dalam masing-masing pribadi. Ini bukanlah harapan yang tinggi, cukup dimulai dengan hal sederhana yang bernama empati.

Saya percaya, bahwa dalam membuat lelucon – kecuali satir – tidak ada sebenarnya maksud menyinggung pihak-pihak tertentu. Namun karena keterbatasan manusia dalam melihat hatinya sendiri, kadang empati tidak muncul dan menjadikan apa yang sebenarnya bertujuan menghibur, justru menyakitkan bagi orang lainnya. Dan kadang kasus-kasus seperti ini tidak semudah menyebut norma-norma etika untuk menyalahkan orang-orang tertentu.
Beberapa orang memang sulit berempati, karena secara genetis mereka memang tidak dirancang untuk mampu berempati dengan baik. Beberapa yang lain justru sangat mampu berempati. Karena hal ini, marilah kita untuk tetap tidak lelah untuk saling mengingatkan agar tetap mampu berempati, dan meluaskannya sebagai sebuah kesadaran global.
Tinggalkan Balasan