Setangkai Tulip dan Secercah Kincir

Jika saya mendengarkan dua kata, “tulip” dan “kincir”, maka saya pun mendapati di mana angan saya berada. Terlepas dari pelbagai kisah masa lalu negeri saya sendiri, ada sebuah dorongan yang kuat akan bayangan itu, sebagaimana jika dua kata seperti “gondola” dan “kanal” menghadirkan saya di kota air tua Venezia; maka “tulip” dan “kincir” akan langsung membawa saya ke dalam aroma negeri seluas lebih dari tiga puluh tujuh ribu kilometer persegi tersebut.

Saya bisa terjatuh di atas blok jalanan tua pedesaan Mersfoot yang tertata rapi dengan udara yang lebih dingin dari negeri asal saya. Maka siapa yang tidak akan mengenal kekhasan negeri Belanda yang beribu kota di Amsterdam ini.

Belanda pastinya bukan negeri asing di telinga saya, karena setangkai tulip-pun bisa membawa angan saya langsung ke sana – di antara dataran rendah yang luas dengan bintik-bintik area peternakan dengan kincir-kincir angginnya yang silih berganti sisi-sisinya diterpa sinar mentari yang begitu rendah di Selatan, yang telah digunakan selama berabad-abad untuk mengaliri tanah-tanah di sana – suatu nostalgia teknologi abadi di antara sentuhan kecanggihan era modern ini. Sebuah inovasi dari tanah Belanda yang kemudian menyediakan air bersih bagi masyarakatnya.

The famous Windmills of Kinderdijk
Kincir-kincir angin di Desa Kinderdijk, dibangun pada tahun 1740 dan bertahan hingga saat ini. Bagian dari daftar Warisan Dunia UNESCO ini telah menjadi saksi kemampuan bangsa Belanda dalam merancang teknologi yang memanfaatkan alam. Hak cipta foto oleh Ben (foto dapat diklik untuk menemukan sumber aslinya).

Saya senang membayangkan semua itu. Namun apa yang lebih menggairahkan saya adalah pendidikannya. Bagaimana negeri kincir tersebut dapat melahirkan pemikiran dan ide yang bisa menjadi sesuatu yang nyata dengan permasalahan-permasalahan nyata yang dihadapi oleh negeri tersebut. Sebut saja proyek delta mereka yang sudah begitu terkenal, membendung laut, menciptakan pantai-pantai baru – setidaknya demikian yang saya dengar dari media masa.

Sejumlah pendidik saya di Kedokteran Gadjah Mada adalah “didikan” di tanah tulip ini, dan mereka menunjukkan dedikasi terhadap dunia pendidikan yang begitu luar biasa, tentunya bukan hanya sekadar dedikasi, namun juga sebuah kompetensi yang memikat yang menjadi sebuah sumbangan besar bagi negeri kita di sini. Dan apa yang menarik dari semua itu adalah adanya sebentuk kesadaran bahwa kemajuan atau inovasi dalam memecahkan persoalan tidak bisa hadir tanpa diskusi, bertanya, mengutarakan pendapat dan “duduk bersama” menemukan ide-ide baru atau memperbarui yang lawas.

Ini terjadi di negeri yang memiliki universitas terbanyak ke-3 di dunia (2012), dengan 5 di antaranya menjadi universitas penelitian yang masuk jajaran 100 besar daftar Times Higher Education.

Saya sendiri sangat tertarik untuk mengambil pendidikan tingkat master  selama dua-tiga tahun atau doctoral selama sekitar empat tahun di negeri Belanda. Oleh karena saya terjun ke dunia pendidikan, maka saya selayaknya membekali diri saya untuk dapat mampu menjadi pembangun generasi selanjutnya yang lebih mapan, lebih kreatif, lebih inovatif dan jauh lebih baik lagi. Dan negeri di mana saya bisa menemukan setangkai tulip dan secercah kincir ini memberikan sebuah potensi besar untuk itu. Saya ingin melihat sendiri kreativitas di negeri Belanda yang hadir dalam dunia pendidikannya, sebagaimana yang ditularkan para pendidik saya di negeri sendiri.

Siapa tahu saya bisa menemukan diri saya di antara sejumlah houseboat di kanal-kanal Amsterdam dengan secangkir kopi di atas meja menikmati pergantian musim yang menenangkan.

Referensi:

  1. Martin, Penny. 2001. Geographica’s Pocket – World Reference. Periplus Edition. Hongkong.
  2. Wikipedia: Netherlands. Available at URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Netherlands.
  3. Nuffic Neso Indonesia. Belanda ranking ke-3 dalam World Reputation Rankings 2012. Available at URL: http://nesoindonesia.or.id/indonesian-students/kompetiblog-2012/resources/pendidikan/5-universitas-riset-belanda-di-100-besar-world-reputation-rankings-2012/.

 

9 tanggapan untuk “Setangkai Tulip dan Secercah Kincir”

  1. Sudah lama saya kenal dan mengikuti blog ini, baru belakangan ini sempat menjelajahi blog pak dokter 🙂 Duh ketinggalan sekali saya ini ya. Banyak sekali tulisan menarik di blog kamu, Cahya 🙂

    Suka

  2. Halow Cahya…wahhhh tulisannya bagus lhooo…mudahan2an bisa masuk..hehehe….struktur tulisannya kayak tulisan sastra lhoo….very nice..sudah adakah khabar dari Unwar?

    Suka

    • Wah, makasih Dokter Pari atas apresiasinya.

      Hmm…, belum ada kabar dari Unwar, tapi yang lebih ditunggu sebenarnya kabar dari kolegium, karena sudah agak lama ini ndak ada kabar.

      Suka

  3. was keren dokter ini… semoga sukses nih dok… seneng lihat tulisan belandanya nih… selamat mengabdi…

    Suka

  4. Salah satu negara impianku melanjutkan study. Sayang, TOEFL-nya nggak nyandak-nyandak. 😀
    Skripsiku dulu adl ttg metode pembelajaran yg dikembangkan di negeri ini, makanya ingin sekali belajar langsung dari negara asalnya. Tapi kalau akhirnya kesasar ke negeri yg juga ada tulipnya, tetap disyukuri. Semoga masih ada kesempatan untuk ke sana. Amiiin.

    Btw, terjun ke dunia pendidikan? Ah, selamat ya Cahya. Balik ke almamater atau ke kampus lain?

    Suka

    • Wah, masa sih Mbak Titik ndak mencukupi TOEFL-nya? Padahal setahu saya kan cerdas. Wah, gimana saya ya nantinya.
      Kalau masalah pengembangan dunia pendidikan, Belanda memang bisa kita jadikan “kiblat”. Setidaknya itu pandangan saya setelah mendengar dan bertemu dengan orang-orang yang menjalani pendidikan di sana.
      Yah, sementara ini saya tidak di almamater, namun ke tempat-tempat yang lebih membutuhkan. Negeri ini luas, semuanya selayaknya mendapatkan pengembangan pendidikan yang layak.

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.