Berbicara masalah homoseksualitas bukanlah kompetensi yang saya kuasai. Namun tidak jarang saya dibuat ikut berada dalam topik-topik pembicaraan tersebut. Yang sering membuat saya heran adalah, banyak pihak yang sering menggampangkan masalah ini, padahal menurut saya – ini bukanlah masalah yang ringan yang bisa dilakukan justifikasi sebelah mata.
Berbicara masalah homoseksualitas, saya rasa kita harus mulai dari berbicara tentang gender. Kita sering mendengar tentang gender, namun tidak banyak yang paham bahwa identitas gender adalah persepsi di dalam diri seseorang tentang apakah dia seorang pria atau wanita. Mungkin yang ahli psikologi dapat menjelaskan bagaimana psikologi ego telah memantapkan gender ini pada seseorang ketika ia berusia 2,5 tahun.
Dan seorang yang homoseksual sudah memantapkan gender mereka sesuai dengan anatomi mereka yang sebenarnya. Dalam artian, seorang laki-laki homoseksual menyadari bahwa dirinya adalah laki-laki, sama seperti laki-laki heteroseksual. Namun ketika gender tidak terbangun secara tegas, maka seseorang bisa mengalami tekanan psikologis – gender disforia.
Oleh karena itu, dalam dunia psikologi dan kedokteran, homoseksualitas bukanlah suatu penyakit atau kelainan. Dan homoseksualitas sudah lama dikenal ada pada manusia dan hewan.
Seseorang yang ingin membahas tentang homoseksualitas harus membedakannya dengan gangguan identitas gender yang dikenal sebagai transeksualisme, yang merupakan sebuah kondisi menetap di mana seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai gender yang berlainan. Gangguan ini bisa dibaca lagi pada DSM-IV-TR.
Kembali pada homoseksualitas yang kompleks, demikian juga asal muasalnya. Dari semua penelitian, teori mulai faktor genetik, biologis, psikologis hingga faktor lingkungan, pun hingga saat ini apa yang menyebabkan munculnya homoseksualitas sulit disimpulkan. Sehingga jika pun ditanya apa yang menyebabkan homoseksualitas, sebagai bagian dari akedemisi dunia medis, saya masih menjawab bahwa saya tidak tahu – apalagi bagaimana membangun sebuah pencegahan pada sesuatu yang tidak kita tahu dari mana sumbernya atau bagaimana terjadinya.
Meskipun homoseksualitas bukanlah suatu gangguan kejiwaan, namun sering kali seorang yang homoseksual mengalami gangguan kejiwaan lainnya – yang jamak datang dari lingkungan yang tidak dapat memberikan penerimaan terhadap keberadaannya, mulai dari stres akan gunjingan, ataupun hingga penganiyaan dari yang tidak menyukainya. Stigma keberadaan seorang gay atau lesbian – sebagaimana kaum homoseksual lebih suka merujuk diri mereka demikian – tidak jarang menimbulkan isu sosial di lingkungan mereka.
Tekanan sosial kadang muncul dari individu atau kelompok yang memegang ide atau pendapat bahwa homoseksual atau suatu penyimpangan sosial, atau bahkan sebuah bentuk dosa dari pandangan agama.
Di saat homoseksual adalah bentuk orientasi seksual yang tidak berbeda dengan heteroseksual, maka seharusnya tidak ada diskriminasi dalam memandang kaum homoseksual. Bahkan dalam dunia kedokteran dan pelayanan kesehatan, tidak etis jika terdapat perlakukan yang berbeda bagi kaum homoseksual.
Secara sosial, banyak pihak yang dapat menerima keberadaan kamu homoseksual sebagai bagian dari masyarakat, sedangkan tidak sedikit yang menolaknya dengan alasannya masing-masing. Ketika kedua sudut pandang ini begitu kuat di masyarakat, kadang membuat saya enggan untuk ikut serta berdiskusi dengan topik yang sama di dalamnya, saya tidak yakin akan ada titik temu yang positif dari dua sisi yang berlawanan.
Anda bisa membaca lebih banyak tentang homoseksualitas di APA dan Medscape.
Tinggalkan Balasan