Jawabnya tentu openSUSE Tumbleweed edisi GNOME. Tapi kadang ada saja yang bertanya, “Yang kamu pakai itu seperti apa sih?” – tentunya kemudian saya tahu bahwa pertanyaan itu tidaklah mengherankan, karena lima atau enam tahun ke belakang saya mungkin akan menanyakan hal yang sama.
Apalagi setelah sambil sepotong-potong mendengarkan streaming kuliah kecil tentang open source dari ruang pertemuan PPTIK UGM, jadi saya banyak memikirkan kembali. Memang pada kenyataan masih banyak orang yang skeptis dengan menggunakan desktop Linux dalam kesehariannya; mungkin Linux terkesan dengan sulit dan paradigma yang mengerikan saat menggunakan baris perintah untuk mengoperasikannya. Jadi (banyak) orang lebih rela menjadi penjahat yang melanggar pembukaan UUD 1945 dengan melakukan pembajakan peranti lunak sebagai salah satu bentuk penjajahan dibandingkan menggunakan peranti lunak legal.
Namun saya tidak akan berkata bahwa Linux itu super mudah dan tanpa masalah, meski pada dasarnya untuk pengguna akhir memang didesain demikian. Saya sendiri lebih mengalami kesulitan jika membenahi kerusakan pada Windows dibandingkan pada Linux, karena ketergantungan yang berbeda, sumber yang tertutup, dan sejumlah hal yang kadang tidak logis. Misalnya saja, tadi pagi saya menghabiskan waktu berjam-jam membenahi WiFi adapter yang bermasalah pada Windows, dan pada akhirnya saya tetap tidak tahu bagaimana saya bisa membuatnya bekerja kembali – mungkin itu suatu keajaiban.
Pada Linux, jika semuanya sudah buntu, maka mudah saja, tinggal dipasang ulang. Eh? Bukannya pada Windows juga sama demikian? Ah, bedanya pada Windows, kita hanya punya satu DVD Genuine yang dibeli (kecuali bajakan), verifikasi keabsahan Windows itu menyebalkan, belum lagi verifikasi DRM-nya, saya selalu melakukan itu untuk lagu-lagu yang saya beli sendiri. Dan pasca dipasang, Windows tidak bisa langsung digunakan, mesti memasang juga pengandar ini dan itu, yang tidak jarang jadi masalah jika CD Driver tidak ditemukan. Sedangkan Linux, pasang hanya dalam beberapa belas menit, atau beberapa menit saja jika menggunakan UFD, dan semua bisa langsung digunakan.
Jadi saya merasa lebih nyaman menggunakan Linux, jika saya merusakkan sesuatu, maka saya tidak khawatir akan melalui “birokrasi mengerikan” untuk memulai membenahi dari awal. So the code is freedom!
Saya bukan master, guru, ataupun geek untuk sistem operasi Linux. Saya menemukan banyak masalah, namun semua itu membuat saya belajar lebih banyak lagi. Lalu apa kemudian saya jadi bisa dan pintar, ah, tentu saja tidak. Saya bukan seorang jenius, namun desktop saya memberikan saya kenyamanan dalam menggunakannya.
Jika Anda ingin tahu bagaimana tampilan layar monitor yang sehari-hari saya hadapi dalam berhubungan dengan pekerjaan dan juga dunia maya. Maka inilah gambarannya.
Sederhana bukan? Sistem operasi seperti di atas cukup memberikan saya akses untuk aplikasi perkantoran (menulis, membaca, mengolah data, presentasi), berinternet (bercakap-cakap, menulis blog, menonton video, menggunakan jejaring sosial), ataupun fungsi-fungsi lainnya. Dan kesemuanya tanpa lisensi berbayar!
Video itu menunjukkan bahwa yang saya hadapi bukanlah sistem yang mengerikan, sebagaimana bayangan banyak orang tentang Linux. Namun justru ramah dan menyenangkan. Anda boleh menggunakan video tersebut untuk keperluan lain, misalnya memperkenalkan Linux, untuk berkas aslinya tersedia di sini – menggunakan lisensi kreativitas umum.
Terima kasih untuk Mas Andi Sugandi yang menunjukkan saya teknik perekaman lain pada asali GNOME 3 tanpa menggunakan aplikasi ketiga.
@haridiva sudah coba fitur standar dari GNOME Shell-nya: “Control+Shift+Alt+R” ?live.gnome.org/GnomeShell/Che…
— Andi Sugandi (@andisugandi) Juli 19, 2012
Jika Anda pernah menggunakan Linux dan OS lainnya, Anda pasti tahu kekurangan dan kelebihannya dibandingkan sistem operasi lain. Jangan lupa, menggunakan ponsel cerdas Android juga dihitung menggunakan Linux.
Tinggalkan Balasan