Orang Miskin Dilarang Sakit?

Siapa yang tidak pernah dengan slogan kritikan sosial bahwa “orang miskin dilarang sakit?” – Saya rasa kita semua pernah mendengarnya. Tidak dipungkiri lagi bahwa akses kesehatan di negeri ini masih cukup mahal, apalagi bagi mereka yang kurang mampu – karena saya sendiri, jika sedang sakit, merasakan betapa mahalnya akses kesehatan itu. Sedemikian hingga, meskipun di balik tubuh saya yang memang lemah sejak kecil, saya berusaha menjaga kesehatan sebaik mungkin – meskipun kemudian menjadi tidak optimal karena satu dan lain hal.

Orang bilang uang tidak bisa membeli segalanya, namun fakta bahwa uang bisa membuat orang mendapatkan akses kesehatan yang lebih baik tidak bisa dipungkiri. Lalu apakah orang miskin yang mengalami kesulitan finansial tidak bisa mendapatkan akses kesehatan? Jawabannya akan menjadi sangat relatif dan beragam. Hal yang kemudian menjadi bermakna adalah latar belakang lingkungan dan dukungan sistem kesehatan yang ada di sana.

Lebih daripada uang, pengetahuan, kebijaksanaan dan upaya nyata jauh lebih mampu memberikan kemungkinan akses kesehatan yang bermutu bagi masyarakat ekonomi rendah. Permasalahannya adalah, pengetahuan, kebijaksanaan dan upaya nyata juga ternyata menjadi barang mahal. Kurangnya pengetahuan adalah salah satu faktor penguat rendahnya tingkat ekonomi seseorang, hal ini adalah hubungan kausatif saling timbal balik yang sudah sejak lama.

Tidak heran jika kita menemukan kehidupan masyarakat ekonomi rendah dengan derajat pendidikan yang rendah, tidak secara serta merta memahami konsep hidup sehat. Sehingga mereka lebih rentan terkena pelbagai masalah kesehatan yang terkait dengan ketiadaan pola hidup sehat. Tentu saja hal ini juga bisa terjadi pada kaum yang lebih dari sekadar mapan, dikarenakan oleh ketidakacuhan terhadap pengetahuan akan pola hidup sehat itu sendiri.

Untuk permasalahan pengetahuan, maka pendidikan adalah solusi yang paling ideal. Hanya melalui terang kita dapat menyingkirkan kegelapan dalam masyarakat kita.

Kedua adalah masalah kebijaksanaan. Bahkan ketika orang tahu apa yang benar dan salah, ketika orang tahu mana yang sehat dan tidak, namun ketika lentera kebijaksanaan tertutupi kabut ketidakacuhan, semuanya akan menjadi sia-sia. Misalnya orang tahu bahwa makanan pedas, asam dapat memperuburuk kondisi kesehatan lambung bagi mereka yang mengalami gangguan lambung, namun tetap saja mereka bersikeras mencarinya. Orang tahu bahwa rokok merusak kesehatan, namun tetap saja pabrik rokok meraup untung besar setiap tahunnya.

Fakta-fakta yang demikian paradoksal di lapangan memperlihatkan pada kita bahwa kebijaksanaan yang menimbulkan kesadaran pada problematika kesehatan itu masih jauh dari nyata.

The face of AIDS in Africa

Demikian malang pada banyak aspek, sehingga satu-satunya yang menghentikan seseorang adalah ketika dia benar-benar jatuh sakit. Dan baru mulai melirik pada aspek kesehatan.

Pun demikian ada bagian dari kehidupan keseharian kita yang jauh dari aspek pendidikan ataupun kemampuan untuk memahami yang baik dan buruk tentang kesehatan. Bayangkan-lah sebuah kasus di mana seorang bayi ditelantarkan di jalanan, dia cukup beruntung tumbuh besar dalam kehidupan jalanan, tidak memiliki rumah atau yang bisa disebut keluarga sedarah. Pendidikan formal mungkin tak akan pernah menyentuh pintu kehidupan mereka, bahkan aparatur negara yang menurut undang-undang dasar selayaknya memberikan perlindungan dan pengayoman apakah akan pernah melirik mereka? Dan orang-orang ini tersebar di pelbagai tempat di negeri ini.

Ada terlalu banyak sisi kehidupan yang menjadi faktor penentu di mana akses kesehatan, baik preventif maupun medikatif menjadi tidak bisa diakses oleh masyarakat miskin. Mengentaskan kemiskinan mungkin terdengar sebuah solusi yang baik, sayangnya masih terlalu muluk bagi negeri yang mungkin saat merdeka dalam kesemuan.

Pelayanan kesehatan tidak akan berhenti dengan alasan kemiskinan saya rasa, hanya saja beberapa faktor mesti terpenuhi. Pemerintah menggelontorkan sejumlah besar dana untuk memastikan masyarakat miskin pun mendapat jaminan kesehatan melalui pelbagai program jaringan pengaman sosial dan kesehatan. Jamkesmas, Jamkesda hingga SPM-pun bisa digunakan untuk mendapatkan akses kesehatan cuma-cuma bagi masyarakat kurang mampu – selama pelaksanaannya tepat guna.

Sayangnya yang namanya sistem tidak semuanya berjalan sebagaimana mestinya – hanya wacana utopia. Saya pernah bertemu seorang dokter ahli senior yang bekerja di daerah pinggiran, saking tidak tersedianya obat-obatan yang seharusnya ada untuk pasien tidak mampu, maka dia sendiri yang menyediakan obat-obatan itu para pasien secara cuma-cuma. Dia sering mengeluh tentang sistem, yang dalam teori bagus, tapi di lapangan tidak berlaku demikian. Dia pernah berpesan pada saya agar tidak menirunya, karena banyak keputusannya mungkin melangkahi sistem, tapi sepertinya dia tidak memiliki banyak pilihan untuk menyelamatkan jiwa para pasiennya, terutama mereka yang kurang mampu.

Hal lain yang cukup unik adalah, ketika sistem berjalan baik, ada saja yang gemar mengacaukannya. Saya sering mendengar keluhan sejawat bahwa ada saja keluarga pasien, atau LSM yang memprotes RS karena tidak melayani pasien miskin, atau justru pasien miskin dikenakan biaya. Lalu kesalahannya di mana? Entahlah, ada kasus di mana pasien dari golongan miskin dan orang-orang LSM itu berpikir bahwa pasien miskin begitu tinggal masuk, berobat dan pulang dari RS – maka selesai sudah, tidak suka diperpanjang dengan pelbagai administrasi.

Kenyataannya tidak sesederhana itu. RS memerlukan jaminan untuk perawatan dan pengobatan pasien, baik kaya maupun miskin, tentu saja tanpa menghambat jalannya perawatan dan pengobatan itu sendiri. Ada keluarga pasien yang protes diminta mengurus surat keterangan tidak mampu, karena mereka harus kesana dan kesini, repot katanya. Padahal ya sama saja, kalau saya sendiri mengingat pengalaman saya, memang repot untuk mengurus itu, bukan karena seseorang miskin lalu dipersulit –  memang demikianlah alurnya. Jika hal ini tidak dilakukan, maka keuangan sebuah RS bisa kolaps dan bangkrut. Saya bisa beberapa hari bulak-balik kesana-kemari untuk mengurus asuransi kesehatan saya sendiri, meskipun saya seorang dokter, karena itu adalah sebuah kewajiban, dan haknya adalah pelayanan kesehatan.

Karikatur

 

Saya kadang perlu berulang kali menjelaskan tentang sistem asuransi kesehatan, sehingga pasien dan keluarga bisa memaknai secara tepat, dan pelayanan pun dapat berlangsung dengan baik.

Kemudian adanya upaya nyata untuk mewujudkan akses kesehatan bagi semua lapisan masyrakat. Terdengar keren, tapi sulit diwujudkan. Misalnya saja mewujudkan desa siaga sendiri cukup sulit. Karena kita tidak bisa menyangkal, ada orang-orang yang memiliki karakter individualisme yang tinggi, mungkin begitu tinggi sehingga enggan melirik ke bawah. Dunia ini bukan sinetron picisan di mana karakter antagonis begitu bisa mencibir orang-orang tak punya, namun nyatanya karakter seperti itu bisa ada nyata di sekitar kita.

Kesehatan itu adalah salah satu harta yang paling berharga, dengan konotasi yang berbeda – ya, kesehatan itu adalah sesuatu yang mahal. Jaga kesehatan sebaik-baiknya, pastikan Anda memiliki asuransi kesehatan atau jaminan kesehatan, dan tetap bantu orang-orang di sekitar Anda untuk dapat hidup secara sehat.

13 tanggapan untuk “Orang Miskin Dilarang Sakit?”

  1. Saya belum nonton Mbak. Tapi memang, walau-pun kita sudah pegang asuransi kesehatan, menjaga pola hidup sehat tetap menjadi kunci utama agar tidak kesulitan kemudian.

    Suka

  2. Di desa-desa, belum semua masyarakat punya jamkesmas. Pun ada jamkesmas, jarak antara rs dengan rumah mereka sangat jauh. Mereka kembali bingung tentang uang transportasi. Karena peralatan canggih cuma ada di rs besar, kan?
    Tentang asuransi, harus teliti banget banget banget ttg penyakit apa saja yang dijamin dalam asuransi. Aku aja kadang bingung dengan berbagai penjelasan dalam asuransi 😐

    Suka

    • Itu tidak bisa dipungkiri Deva, jangankan desa-desa terpencil di pelosok nusantara, desa-desa terpencil di Pulau Jawa saja masih susah mendapatkan akses kesehatan. Kalau pun ada, semuanya serba terbatas.
      Sehingga jangan salahkan jika ada yang mengeluh saat dipindahkantugaskan ke daerah terpencil mereka tidak bisa berbuat banyak untuk mendapatkan akses kesehatan. Dan menjadi salah satu alasan aparatur negara banyak menolak di tempatkan di daerah terpencil.
      Benar juga Deva, asuransi kesehatan untuk rakyat miskin seperti Jamkesmas tidak merata. Dan dibatasi pada masing-masing wilayah.
      Kita berharap semoga masalah-masalah ini dapat teratasi seiring pembangunan yang memerata. #klise sih memang.

      Suka

    • Kalo gitu…aku nitip pesan sama kamu, Cahya. Sebagai dokter, please jangan jadi dokter yang galak ya ke pasien 🙂

      Suka

    • Hmm….
      Kalau kata yang sangat miskin, untuk bisa makan saja mereka sudah bersyukur, jadi memikirkan bagaimana yang namanya environtment yang sehat itu mungkin jadi urutan kesekian.
      Education mengenai asuransi itu luar biasa berat untuk si miskin, bahkan yang berduit pun banyak yang mikir berkali-kali.
      Edukasi apapun, di negara ini, jelas butuh effort.

      Suka

    • Sebenarnya hidup sehat kan tidak perlu mahal, asal edukasinya tepat. Hanya saja itu sulit diterapkan. Tanya kenapa? Yah, dikembalikan pada kondisi masing-masing.
      Kalau masalah asuransi, kan ada asuransi yang ditanggung pemerintah. Maksud saya, itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kalau mau asuransi tambahan, kenapa tidak. Jika bisa menghabiskan beberapa puntung rokok sehari, kan bisa disisihkan untuk premi asuransi.

      Suka

  3. Sebelum mnceramahi masyarakat tentang prosedur melayani pasien, pastikan mereka bisa baca tulis dulu. Banyak dari kesalahpahaman terjadi karena mereka memang tidak pernah membaca prosedur.

    Suka

    • Benar Vicky, kadang itu terlewatkan, makanya kalau ada yang tampak kebingungan mestinya mendapatkan perhatian lebih dan penjelasan yang lebih panjang dan lebar. Hanya saja sering kali saat dijelaskan mengerti, tak lama kemudian datang dengan pengertian yang berbeda.
      Ujung-ujungnya, kita memang selayaknya mesti ekstra sabar. Tapi ndak sampai marah kok. Memangsih ada sih beberapa petugas kesehatan yang karakternya galak, he he…

      Suka

  4. ya kadang memang disaat mendesak atau ada anggota keluarga yang sakit apalagi dari golongan tidak mampu, mereka kurang mengerti dan memahami prosedur mas.. mungkin kalau udah sembuh dan suasana tenang mereka mau mengurus juga

    Suka

    • Iya, mau bagaimana lagi. Kadang kita juga kekurangan tenaga untuk sosialisasi masalah seperti ini. Sehingga kadang di lapangan sering terjadi misinterpretasi. Yang jelas, sarana dan prasarana kesehatan kita masih kurang banyak, bahkan kadang untuk RS pusat di sebuah kabupaten.

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.