Salah Siapa

Meski sedang jauh dari pusat hiruk pikuk dunia pendidikan kedokteran. Sesekali saya masih mendengar ada keluh kesah para sejawat.

Seperti sebuah tweet siang ini. Sejawat saya yang “orthoped wanna be” mengutip bahwa ada pasien kondisi kritis, dan mungkin memang akan sulit tertolong.

Katakan saja Mr. X. Mengalami cedera (baca: luka dan patah tulang) dan ditangani oleh “traditional healer” (baca: dukun). Mr. X dijahit lukanya dan diolesi ramuan tradisional (mungkin sejenis herbal).
Lalu Mr. X ini jatuh sakit dan dibawa ke rumah sakit. Dinilai bahwa luka Mr. X mengalami infeksi parah dan mengalami tetanus (yang kemungkinan besar luka itu adalah sumber masuknya bakteri penyebab tetanus).

Masuk rumah sakit, kondisi Mr. X justru tidak membaik. Malah mengalami gejala apneu (baca: henti napas), yang lagi-lagi (bisa nyaris dipastikan) penyebabnya adalah infeksi tetanus yang melumpuhkan otot-otot pernapasan.

Jika kasus ini terjadi di pusat kesehatan yang memadai dari segi peralatan resusitasi dan rawat intensif, mungkin ada kesempatan bagi Mr. X untuk selamat meski terbilang kecil. Tapi jika terjadi di daerah pinggiran yang fasilitasnya lebih minim, anggap saja sudah direlakan.

Permasalahannya adalah kasus-kasus serupa cukup sering terjadi. Ada dilema yang saya lihat di lapangan.

Pertama, dari dunia kesehatan yangs tentu tidak menyukai praktik tidak bertanggung jawab seperti ini. Kedokteran menggunakan “evidence based medicine”, maknanya segala sesuatu harus terbukti secara medis bermanfaat bagi pasien, lebih besar manfaat dibandingkan risiko atau efek samping. Panduannya jelas, level kepercayaan setiap tindakan jelas, efek samping dan risikonya jelas, harapan terapinya juga jelas. Meskipun jelas tidak selalu bermakna bisa dipastikan.

Kedua dari pihak masyarakat. Pengobatan medis sering tidak terjangkau dari segi ekonomi dan akomodasi. Rumah sakit terlalu jauh, tenaga kesehatan terbatas, atau biaya berobat yang terlampau tinggi (secara subjektif). Alternatif lain adalah pengobatan tradisional.

Lalu pada kasus ini, siapakah yang salah? Apakah ketidakterjangkauan pengobatan medis di awal? Apakah pengobatan tradisional yang tidak bisa dipertanggungjawabkan? Ataukah ada faktor lain seperti ketidaktahuan masyarakat akan kesehatan yang baik?

Ini adalah kasus yang kompleks di masyarakat. Dahulu, pengajar saya selalu menyampaikan untuk menghargai pengobatan tradisional di negeri ini, karena mungkin mereka telah melihat bagaimana pengobatan tradisional telah membantu menyangga kesehatan warga negara kita. Namun perjalanan waktu menunjukkan terlalu banyak pengobatan tradisional atau alternatif yang berkembang, tidak tahu lagi mana yang memiliki kompetensi sesungguhnya dan mana yang tidak. Terlalu banyak praktisi tradisional yang menangani kasus di luar kemampuan mereka (dan masing-masing memiliki alasan dan tujuannya). Bahkan mungkin ada yang sekadar mengaku penyembuh untuk menyambung perut.

Saya sendiri selalu serba salah jika pasien meminta rekomendasi pengobatan tradisional. Beberapa bisa direkomendasikan sesuai dengan level kepercayaan dan data penelitian empiris yang tersedia, beberapa lagi mungkin saya tidak bisa mengatakan apakah akan membantu atau tidak.

Sehingga untuk kasus-kasus seperti ini, maka harapan saya adalah masyarakat negeri ini dapat tumbuh cerdas. Karena merekalah yang kemudian akan memilah ke mana arah dunia kesehatan di negeri ini akan bergerak.

Posted from WordPress for Android on Samsung Galaxy Note II

10 tanggapan untuk “Salah Siapa”

  1. Mas cahya, dulu dan mungkin sekarang masih ada program dokter masuk desa/ wilayah terpencil untuk mengabdi di sana, Kalau menurut mas bagaimana?

    Maksud saya begini, terkadang penempatan dokter untuk membantu tempat-tempat terpencil memang ide bagus, bisa jadi penempatan dokter di sana akan membantu. Namun kalau dokter-dokter kita tidak didukung sarana dan prasarana kalau menurut saya juga ngga afektif dan menyusahkan.

    Suka

    • Dokter di tempat terpencil itu bagus. Tapi kalau tempat terpencil ndak dibangun juga ya akan tetap tidak membawa kemajuan yang bermakna. Kalau daerah terpencil dibangun, kesejahteraan tenaga kesehatan terjamin, saya rasa tidak akan perlu penempatan dokter dan semua tenaga ahli pasti akan menempatkan diri masing-masing.

      Suka

  2. Wah bener bgt. Niat pgn sehat dgn biaya ekonomis, malah bikin komplikasi makin parah.
    Jadi semangat buat jadi spesialis di public health nih. Biar bisa megedukasi masyarakat.

    Suka

    • Tentu saja, negara kita memerlukan banyak magistra dan doktoral di bidang “public health”. Tidak sebatas mengedukasi pasien, namun mampu menciptakan dan mengejawantahkan kebijakan tersistematis untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat Indonesia yang sehat, tentu saja dengan tetap menjaga keseimbangan antara masyarakat, pelaku dunia kesehatan dan penyokong sistem kesehatan (pemerintah); sedemikian hingga semuanya dapat bekerja secara sinergis :).

      Suka

  3. salah satu alasan mengapa masyarakat kita seperti itu adalah mayoritas tidak memiliki asuransi kesehatan. kalau di luar negeri, apa-apa langsung ke dokter. kita di sini ingin murah dan terjangkau. tahu lah Bli bagaimana ‘alur’ dari “evidence based medicine” itu kan tidak bisa dibilang singkat.

    1. datang ke RS

    2. Daftar dan sering sekali di introgasi mengenai kesanggupannya membayar biaya pengobatan

    3. periksa dan konsul dulu ke dokter untuk menuju tahap selanjutnya, bisa dikirim ke dokter yang spesialis lain kalau ternyata dibutuhkan

    4. pemeriksaan medis (scan, MRI, dll)

    5. kembali ke doktor untuk di observasi melalui hasil pemeriksaan medis, dll

    6. putusan prosedur selanjutnya

    7. operasi kalau disarankan

    8. pemulihan

    9. kembali di scan/MRI

    10. observasi

    11. Bayar biaya rumah rawat inap dll LOL

    Mau gimana lagi, karena mayoritas warga Indonesia banyak yang tidak mampu melewati tahap diatas dan telat ditangani oleh Dokter membuat dokter jadi “tumbal”.

    Ini cerita nyata tetangga saya tahun 2009 lalu yang Ibunya Meninggal karena kanker payudara. Semenjak awal menggangap biaya ke dokter mahal dia lebih cenderung Alternatif, ternyata malah semakin parah. Mungkin itu sudah suratan takdir, seandainya saja sedari awal ditanggani oleh Dokter, kata dokternya penyakitnya bisa sembuh (melalui operasi pengangkatan payudara dan kemo, karena tante saya pun survivor kanker payudara), sayangnya dia datang disaat sudah parah. Dan kalau dihitung-hitung selama bertahun-tahun berobat di Alternatif jumlah nominalnya jauh lebih mahal dari perhitungan pengobatan di RS.

    Mau gimana lagi …

    Suka

    • Alternatif memang terkesan murah, meski tidak jarang banyak yang lebih mahal daripada terapi medis. Beberapa kasus yang saya jumpai bahkan sampai habis dana berobat di alternatif, lalu kembali sebagai masyarakat miskin berobat ke rumah sakit.
      Disayangkan atau bagaimana, sepertinya memang ada banyak yang harus diperbaiki. Baik manajemen dunia kesehatan, pun juga dengan pola pikir masyarakat kita saat ini.

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.