Ketika Dokter Berdemo

Kemarin saya menonton sekilas dari streaming yang tersendat-sendat di dekat kaki Gunung Rawung, bahwa kelompok dokter dari DIB – Dokter Indonesia Bersatu melakukan demo di ibu kota. Saya pernah membaca dari satu milis dokter di negeri ini tentang kelompok DIB, lebih pada gerakan moral, dibandingkan organisasi. Dan isu demo ini sudah terdengar jauh hari sebelum tibanya hari Kebangkitan Nasional dan hari Bakti Dokter Indonesia tahun ini.

Mereka adalah sejawat, dan apa yang mereka perjuangkan, jika untuk kebaikan masyarakat luas, maka dukungan akan saya berikan. Sayangnya saya tidak bisa memberikan dukungan langsung, kecuali melalui coretan kecil di sini. Pun kemudian saya malah melihat sejumlah “plintiran” di media, sehingga terkesan para dokter berdemo untuk menuntut kenaikan pendapatan.

Masyarakat Indonesia yang tidak melihat ke dalam mungkin tidak tahu apa yang terjadi dengan sistem kesehatan kita saat ini. Bahkan saya sendiri tidak bisa membayangkan, sampai sejauh mana “kerusakan” telah terjadi di idalamnya, karena pembiaran dan pelbagai kepentingan kuasa serta politik segelintir kelompok.

Percayalah, saya senang jika pendapatan saya naik berlipat-lipat, tapi jika sistem tidak berubah memihak kesehatan rakyat semesta, maka semua itu tidak ada gunanya. Banyak pimpinan daerah melompatkan pengobatan gratis untuk menyokong keterpilihan dalam pemilukada, tapi sistemnya tidak disiapkan secara matang, sehingga yang tampaknya memberikan harapan pada masyarakat, justru menjadi senjata makan tuan.

Katakan saja Jakarta saat ini, ada banyak rumah sakit swasta yang berencana mundur dari sistem KJS – Kartu Jakarta Sehat, karena setelah berjalan, dirugikan saat mesti “nombok” biaya pengobatan pasien. Rumah sakit ndak akan mundur jika ada keuntungan sedikit saja, atau merugi sedikit, tapi jika merugi banyak – tidak usah ditanya lagi. Lalu Anda mungkin bisa mulai menerka mengapa rumah sakit pemerintah di daerah sulit maju? Mungkin karena keuntungannya dipakai untuk menombok pasien yang berobat gratisan, mungkin karena sebagian besar keuntungan lainnya diambil untuk dipakai membiayai anggota dewan terhormat, atau mungkin karena pegawainya ogah-ogahan bekerja karena gaji atau honornya sering terlambat dibayarkan akibat gali tutup lubang keuntungan? Ah, siapa yang tahu, Anda mungkin tak akan pernah tahu.

Demo Dokter
Demo Dokter dari DIB dalam spanduk yang menghimbau menghentikan isu kesehatan sebagai komoditas ekonomi dan politik. Sumber: media lokal nasional.

Isu kesehatan kita kompleks, mulai dari minimnya tenaga kesehatan – sehingga tenaga kesehatan bekerja 2 x 8 jam sehari itu adalah sesuatu yang wajar, padahal katanya jam kerja yang baik adalah 8 jam per hari. Ada isu minimnya sarana dan prasana, sehingga pun ada dokter, tidak bisa berbuat banyak.

Di sinilah dokter tidak ingin ada janji layanan kesehatan beraroma politik ekonomi, menjanjikan rakyat berobat gratis tapi tenaga kesehatan kurang, fasilitas tidak lengkap, obat-obatan tidak jelas, bahkan pengganti biaya pun jauh dari nilai realistis. Apa Anda mau berobat gratis, mengantre berjam-jam, diperiksa cuma sebentar, obatnya tidak lengkap, penjelasannya kabur, lalu pulang tidak sembuh? Jika Anda suka, ya tidak salah untuk menentang “unjuk nurani” yang dilakukan para sejawat saya ini.

Lalu bagaimana dengan isu kesejahteraan? Saya pernah menulis sebelumnya, bahwa ada pendapat yang menyatakan 70% dokter di nusantara terutama di pinggiran dan pedalaman, hidup di bawah garis sejahtera – tapi toh nyatanya itu bukan halangan bagi mereka untuk bekerja. Tidak usah melihat dokter-dokter yang memang sudah amat sejahtera bahkan lebih, karena itu jumlahnya tidak banyak dibandingkan yang lain.

Realitasnya sederhana, untuk mengasah kemampuannya tetap tajam dan izin prakteknya tetap terbit, dokter seperti saya memerlukan 20 hingga 50 juta rupiah per 2 tahunnya, kenapa bisa mahal? Ya itu sistemnya memang demikian. Pendapatan dokter seperti saya setahunnya kurang 15 juta rupiah, dibandingkan dengan kebutuhan profesional tentu sangat timpang. Mengapa pendapatan dokter seperti saya cuma sekian, ya itu kembali pada sistem. Siapa yang membuat sistem, mungkin jawabannya adalah Anda rakyat Indonesia, melalui tangan-tangan yang Anda pilih lewat pemilu dan pemilukada, yang notabene belum tentu paham dunia kedokteran dan kesehatan.

Pun dana kesejahteraan dokter seperti saya dinaikan dua atau tiga kali lipatnya, itu hanya selisih tipis guna menutup biaya profesional yang diperlukan. Bagaimana dengan pangan, sandang dan papan? Dan saya kira negara mungkin berpikir dokter adalah dewa yang tidak perlu semua itu. Syukurnya ternyata masyarakat juga memiliki paradigma pandangan serupa, kalau dokter itu memang panggilannya mengabdi.

Saya hanya tersungging senyum kecil ketika membaca apa yang banyak beredar di dunia maya, “ketika buruh tidak digaji, maka itu adalah perbudakan; ketika dokter tidak digaji maka itu adalah pengabdian.”

Kembali ke masalah utama, tanpa adanya perbaikan sistem kesehatan, maka mewujudkan kesehatan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia di segenap tumpah darah Indonesia adalah mimpi semata, atau buruknya hanyalah retorika semata.

Masalah pendapatan dokter, saya percaya rejeki itu sudah ada yang mengatur – tidak akan pergi ke mana-mana. Toh sampai saat ini saya masih survive, kalau nanti jadi dokter tidak survive, ya pindah profesi saja – menolong orang kan tidak harus menjadi dokter kalau ternyata menjadi dokter malah terinjak-injak.

6 tanggapan untuk “Ketika Dokter Berdemo”

  1. Kebetulan belakangan ini saya mengikuti kultwit-kultwit akun @partaisocmed di Twitter yg isinya cenderung mengkritisi (kalau tak mau dibilang menyudutkan oknum dokter dan “mafia obat”). Mungkin mas Cahya juga sudah tahu ya? Apa benar ya ada segelintir oknum dokter atau dari pihak farmasi yang kabarnya terlibat “mafia obat”? Maaf kalau nanyanya rada sensitif 🙂

    Suka

    • Pihak farmasi tentung mencari keuntungan, rumah sakit dan praktek pribadi juga demikian. Saya akan buta dan tuli jika mengatakan tidak ada oknum-oknum yang demikian. Namun itu hanya segelintir. Saya bertemu banyak dokter dan petugas farmasi, banyak dari mereka hanya mengambil keuntungan selayaknya. Dan dari keuntungan finansial itu sendiri tidak sedikit yang dikembalikan ke masyarakat lokal.
      Kalau mau berharap dari pemerintah saja. Maka akan banyak masyarakat yang lebih tidak tertolong jika pihak medis tidak membantu di belakang. Tapi kadang kala keuntungan finansial itu sendiri tidak mencukupi, sehingga sering kali terjadi konflik, di mana institusi seperti rumah sakit (meski tidak semua) mengharapkan adanya jaminan pendanaan untuk perawatan pasien.

      Suka

  2. paragraph terakhir begitu mengena.. intinya ya bersyukur apa yang sudah di dapat.. toh meski kecil kalau kita bersyukur, rejeki bisa datang dari mana saja dan kita tetap bisa berkecukupan

    Suka

    • Hidup berkecukupan itu menyenangkan, walau kadang mepet-mepet. Kita bisa belajar mencari celah untuk tetap dapat bertahan hidup.

      Suka

  3. menolong orang kan tidak harus menjadi dokter kalau ternyata menjadi dokter malah terinjak-injak <<== kalau nantinya semua dokter pindah profesi, bisa repot, pak 😀

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.