Laptop Acer TravelMate 6293 sudah menemani saya sejak 5 tahun belakangan ini, aslinya terpasang Windows Vista Business; dan saya rasa Windows ini tidak buruk, bahkan berjalan dengan baik via sistem 32-bit yang dimilikinya. Tidak pernah punya masalah serius dengan infeksi virus komputer, bahkan tidak pernah mungkin merasa terancam oleh virus komputer. Jarang macet, bahkan blue screen hanya terjadi kurang dari 10 kali dalam 5 tahun ini.
Hanya saja dukungan dari Microsoft semakin memudar, ibaratnya anak yang tertinggalkan. Dan mengingat juga kemampuan penuhnya tidak bisa dilepaskan dengan Windows Vista yang saya gunakan, karena sejatinya, laptop lawas ini menggunakan arsitektur 64-bit. Mungkin dulu pihak Acer berpendapat, peranti lunak 64-bit belum begitu berkembang, sehingga tidak diperlukan.
Laptop lawas yang dulu saya beli seharga $1,300 ini memang saya rencanakan untuk digunakan dalam jangka panjang, setidaknya sampai 10 tahun, berarti target saya adalah tahun 2018. Sementara Windows Vista sendiri berusia hingga 2017. Dan saya pun berpikir tidak ada salahnya melakukan peremajaan sistem operasi di tengah jalan.
Saya mendapatkan penawaran bahwa harga Windows 8 Pro dengan lisensi untuk satu mesin di bawah $70 di salah satu toko daring lokal. Saya pun melakukan pemesanan sebelum harganya naik lagi menjadi $100 atau malah kembali harga pasar sekitar $200.

Saya kira itu adalah harga yang relatif terjangkau, bahkan mungkin termasuk murah untuk kisaran sistem operasi yang bisa digunakan selama bertahun-tahun. Anggap saja jika ini untuk lima tahun, maka setidaknya saya menghabiskan Rp 100.000,00 per tahunnya untuk lisensi sistem operasi genuine. Itu cukup murah dibandingkan biaya yang harus saya keluarkan untuk berinternet, telepon, sms, atau menonton bioskop sepanjang tahunnya – sayang belakangan ini saya jauh dari bioskop.
Dalam paket yang saya terima, setidaknya ada tiga benda penting di dalamnya. Dua keping DVD instalasi Windows 8 Pro yang 32-bit dan 64-bit, dan satu buah tanda kunci lisensi yang hanya bisa digunakan pada satu komputer.
Instalasinya pun sederhana, saya pada akhirnya memilih Windows 8 Pro 64-bit. Karena paling cocok dengan laptop lawas saya, adalah arsitektur tersebut. Pengandarnya saya unduhkan dari situs resmi yang digunakan untuk Windows 7 versi 64-bit. Dan setelah melakukan pembaruan Windows, hanya tersisa satu peranti keras yang tidak terdeteksi tampak pada jendela manajer perangkat sebagai “unknown device“, saya tidak tahu sama sekali apa itu, dan tidak punya ide. Karena semua sistem sudah berjalan dengan baik maka saya biarkan saja.
Dengan basis Intel Core 2 Duo medium-end, maka laptop Acer TM 6293 ini terasa begitu ringan setelah dipasang Windows 8 Pro. Ya beban kerja untuk sistem 64-bit terasa lebih ringan, tapi tidak berarti lebih kencang dibandingkan saat terpasang Windows Vista.
Tentu saja, hobi saya melakukan pelokalan sistem operasi tidak bisa ditawar lagi. Saya membiasakan diri dari dulu menggunakan antarmuka dengan bahasa Indonesia.
Ketika dulu orang mengatakan Windows Vista dikatakan bermasalah atau produk gagal, saya menggunakannya bertahun-tahun tanpa ada masalah ataupun pengurangan produktivitas, jadi saya berpikir – jika memiliki keahlian cukup dengan komputer dan mau belajar, maka Windows edisi anyar seperti apapun tidak masalah. Maka sekarang saya akan mencoba Windows 8 yang tidak begitu disukai banyak orang.
Bagian pertama yang saya temukan menarik adalah Windows 8 bisa dijalankan dengan menggunakan 2 jenis akun, dan tidak bisa berjalan keduanya sekaligus, hanya salah satu saja (berbeda konsep dengan JoliOS). Ada akun lokal sebagaimana yang digunakan pada banyak sistem operasi, seperti Windows pendahulunya, dan akun ini sangat terbatas fungsinya.
Lalu ada akun yang terintegrasi dengan akun Microsoft – saya menggunakan yang ini – untuk mengakses aplikasi penuh, dan melakukan sinkronisasi. Tapi bagi mereka yang tidak memerlukan aplikasi metro, tidak memiliki layar sentuh, hanya punya satu laptop dan tidak ingin repot dengan proses sinkronisasi, maka lokal akun yang akan dipilih. Tapi mengingat koneksi Internet di Indonesia, dan masalah galat yang sering muncul di pihak Microsoft – saya sarankan demi kenyamanan menggunakan akun lokal, atau dipasang keduanya sekaligus.
Lalu bagaimana dengan layar mulai (start screen) ala metro yang fenomenal itu? Menurut saya: Tidak Berguna! – Saya menunggu edisi Windows 8.1 yang akan – katanya – memiliki fitur mem-bypass layar mulai yang membosankan ini. Jika saya memiliki layar sentuh, saya mungkin mempertahankannya sambil main cut the rope atau sejenisnya dari aplikasi metro yang berserakan. Maaf, saya sudah punya semua itu pada ponsel cerdas saya, jadi membuatnya tersedia di laptop mungkin akan jarang tersentuh.
Lalu apakah layar mulai ala Metro ini menyusahkan? Saya rasa tidak, jika Anda terbiasa dengan Gnome Shell pada Linux, layar seperti ini hanyalah mainan yang mudah. Tapi saya jauh lebih suka Gnome Shell atau mungkin Unity milik Ubuntu karena layar mulai Metro ala Windows 8 benar-benar sanggup memangkas produktivitas.

Windows 8 adalah Windows yang sangat mumpuni, bahkan menurut saya lebih baik dibandingkan dengan Windows 7. Hanya saja tampilan awal yang menyebalkan yang disebut sebagai Start Screen itu adalah sesuatu yang “terlalu”. Jika Anda cukup lihai, maka apa yang tersedia akan malah membuat Anda asyik menggunakan Windows 8.
Jika Anda berencana untuk mengganti sistem operasi laptop lawas Anda, baik yang menggunakan Windows XP maupun Vista dengan Windows 8, maka Windows ini sangat direkomendasikan sambil menunggu pembaruannya (secara gratis) ke Windows 8.1 (sebelumnya dikenal dengan nama Windows Blue). Jangan lupa bagi yang tidak memiliki layar sentuh, gunakanlah tetikus yang memiliki DPI tinggi, jika tidak, Anda akan stres dengan gerakan kursor yang tidak akuran di antara tampilan lantai (tile) si jendela.
Update: Tulisan ini sudah lawas dan kedaluwarsa! Mohon tidak digunakan sebaga rujukan.
Tinggalkan Balasan