Dokter, Hukum, dan Penjara

Saya percaya, setiap warga negara sama kedudukan di mata hukum, termasuk di dalamnya profesi dokter. Namun kasus baru di Manado yang muncul ke permukaan tentang seorang dokter kandungan & kebidanan yang menjalani vonis Mahkamah Agung berupa kurungan/penjara selama sepuluh bulan menjadi tanda tanya besar atas apa yang saya percayai.

Jika seorang dokter terbukti lalai, dia berhak diberikan sanksi atas kelailaiannya. Jika ia melakukan kejahatan kemanusiaan, seperti aborsi tanpa indikasi medis, maka hukum mesti bertindak dan dijatuhkan hukuman yang nyata. Tapi ketika prosedur berjalan dengan sesuai dengan standar, dan ada kondisi yang tidak dikehendaki terjadi, apa ini merupakan sebuah kesalahan yang mesti berada dalam ranah hukum?

Saya membayangkan, apa yang terjadi pada sejawat dokter kandungan & kebidanan tersebut bisa terjadi pada semua petugas medis dan paramedis di lapangan, termasuk pada diri saya sendiri.

Sebuah gambaran saja, semisalnya saya sedang bertugas di sebuah unit gawat darurat, tiba-tiba datang korban kecelakaan dengan patah tulang terbuka, luka robek dengan perdarahan yang hebat. Dan ketika saya melakukan survei awal, saya tahu kondisi tersebut adalah kondisi kegawatdaruratan medis yang memerlukan tindakan segera untuk menyelamatkan korban yang sudah memasuki kondisi syok.

Adalah hal yang sederhana yang bisa saya sampaikan pada yang mengantarkan, “terima kasih, kami akan menangani mulai di sini, dan mohon menunggu di luar.” Adalah hal yang umum dikenal di dunia kedokteran, ketika pasien dalam kondisi yang mengancam nyawa dan raga, maka pertolongan hendaknya didahulukan melebihi apapun, termasuk melebihi keperluan meminta keluarga mengurus administrasi dan sejenisnya baru kemudian ditangani.

Dalam skenario seperti itu, saya belajar bahwa tidak ada banyak waktu yang bisa diambil untuk menjelaskan pada siapa yang mengantar, kondisi seperti apa, apa yang akan dilakukan dan sebagainya. Tindakan nyata lebih diperlukan. Seandainya saya berhasil melakukan stabilisasi awal, maka saya akan menghubungi senior sejawat yang ahli di bidang orthopaedi (bedah tulang), dan melakukan operasi darurat. Tapi ternyata di tengah jalan terjadi hal yang tidak diinginkan, korban meninggal karena emboli udara – entah yang didapat/terjadi ketika kecelakaan awal, atau ketika operasi.

Di sinilah dilema itu muncul, ketika semua usaha terbaik dikerjakan, namun hal yang di luar “kuasa” manusia bisa terjadi. Tidak ada teknologi kita di negeri ini yang bisa mencegah munculnya hal-hal seperti ini, setidaknya tidak saat ini – entah di masa depan.

Tidak lama kemudian, datanglah keluarga, organisasi non-pemerintah dan kuasa hukum melayangkan gugatan pada tim medis yang bekerja. Karena kelalaian kami telah menyebabkan korban meninggal dunia. Maka apa yang terjadi pada kasus di Manado, bisa terjadi pada kami juga.

Ini seperti Anda pengemudi taksi yang membawa penumpang, naas di tengah jalan ada kendaraan lain yang lepas kendali menabrak taksi Anda dan menyebabkan penumpang Anda meninggal; lalu Anda sebagai supir taksi dituntut karena lalai menyebabkan hilangnya nyawa penumpang Anda.

Tentu saja persaudaraan seprofesi akan bergejolak, siapa yang menerima sejawat mereka diperlakukan demikian? Tapi mungkin protes bukan hanya karena itu saja; banyak hal yang sudah mengendap semenjak dulu. Saya beberapa kali menuliskan hal tersebut di sini.

Menjadi dokter, tidak pernah menguntungkan secara finansial. Saya pernah mengobrol dengan seorang pemilik rumah makan, dia kaget saat saya buka berapa pendapatan selama saya menjadi dokter selama ini, dan itu sangat jauh dari bayangannya. Saya mungkin yang termasuk beruntung, tidak kaya, tapi setidaknya tidak kelaparan, meski cuma maka satu atau dua kali sehari – bukan karena saya tidak ada uang buat makan tiga atau empat kali sehari, tapi saya memilih menginvestasikan biaya makan satu atau dua kali sehari itu ke arah yang lain, seperti pendidikan berkelanjutan atau cadangan dana darurat.

Tapi ketika kemudian kata-kata “malpraktek” yang disalahgunakan, yang mungkin sejumlah orang merasa diuntungkan pun dipuaskan dengan tercapai kondisi penyalahgunaan istilah tersebut. Saya berpikir kembali, menjadi dokter, tenaga medis dan paramedis tidak hanya rawan terinfeksi penyakit yang mematikan karena berdiri di garda depan, tapi juga bisa mati ditikam dari belakang karena hukum yang melindungi ternyata gagal memahami logika ilmu kedokteran.

Ilustrasi Dokter dan Penjara
Ilustrasi: Dokter yang diborgol. Sumber: madison.com

Kini saya melihat di negeri ini, dalam menjalankan profesi saya sebagai dokter, baik apa yang saya lakukan adalah salah ataupun benar dalam pandangan keilmuan saya, maka tangan saya tidak serta merta bisa dipastikan bebas dari jeratan borgol dan tubuh saya tidak bisa dipastikan tidak masuk ke dalam ruang tahanan. Ketika mahkamah agung saja tidak bisa memberikan jaminan tegaknya hukum bagi saya dan rekan-rekan tenaga medis serta paramedis, maka sudahlah, saya secara pribadi mungkin tidak bisa berkata banyak. Namun rekan-rekan di luar sana yang hingga turun ke jalan atau mogok kerja, saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan, dan tidak bisa saya salahkan – kita adalah manusia dengan seklumit kelebihan dan segunung kekurangan.

Ini mungkin kasus pertama yang terjadi di negeri ini, di mana kacamata kedokteran dan hukum saling berbenturan. Kalau seperti ini terus ke depannya, saya bertanya-tanya apa ada yang akan tertarik menjadi dokter. Saya dengar Amerika adalah negara dengan tingkat tuntutan terhadap medis yang cukup tinggi, dan kemudian berkembang menjadi negara dengan penurunan minat generasi mudanya menjadi dokter. Saya sendiri tidak pernah menyarankan adik-adik atau keponakan saya untuk menjadi dokter, setidaknya tidak di negeri ini, karena saya tahu seperti apa kenyataannya.

Pun demikian, dokter adalah dokter, ada nilai yang melebihi harta duniawi ketika kita membawa senyum bagi banyak orang. Saya rasa sejawat memahami itu, di luar bingkai bahwa lemahnya perlindungan terhadap profesi ini di negeri kita, saya rasa yang namanya pengabdian itu sudah ada di sepanjang Sabang hingga Merauke.

24 tanggapan untuk “Dokter, Hukum, dan Penjara”

  1. saya baca postnya berdua dengan suami, dan suami manggut-manggut baca analoginya dokter yang bagus…
    trus saya bilang ke suami “bagus ya tulisannya? dia bukan menyampaikan berita tapi opininya terhadap kasus kriminalisasi dokter itu”
    suami saya jawab, “dokter ya pinter, harus bisa menyampaikan apa yang ada di pikirannya”

    trus percakapan kami berlanjut, suami saya heran siapa sih pihak yang menuntut ini? apa nanti ada dokter yang mau menangani si penuntut ya (bukan jaksa penuntut maksudnya tapi pihak keluarga pasien yang memperkarakan)… soalnya kalo dokter lain tau bahwa orang itu yang menyebabkan kasus kriminalisasi dokter dari tuntutannya, maka dokter itu apa nggak takut mau nangani dia kalo sakit? ya takut bisa-bisa dipenjara kan hehehehe

    Suka

    • Jessmite, kami di pendidikan selalu dibekali dengan kemungkinan seperti ini. Pertama, sudah rahasia umum banyak orang (baca: oknum) yang suka menuntut dokter dan rumah sakit dan mengambil keuntungan finansial di sana, misalnya uang ganti rugi.

      Kedua, dokter biasanya dalam posisi lemah. Karena di lapangan yang di negeri ini serba kekurangan, dokter harus kreatif. Misalnya jika tidak ada jarum jahit luka, maka dibuatnya dari ujung jarum suntik untuk menjahit. Jika ada memperkarakan ini, maka petugas medis dan paramedis pasti bisa kena, padahal itu karena instalasi kesehatan serba kekurangan. Mau minta pada siapa untuk melengkapi, pemerintah? Ah, kami tidak akan berharap bisa seindah itu.

      Kalau menangani orang sakit dan memerlukan, itu memang sudah panggilan kami. Seminggu yang lalu saya bertemu kembali dengan guru-guru saya di civitas akademika. Mereka berpesan, jangan takut menolong orang, karena itu adalah hal yang benar, jika ada penuntutan, mereka siap mendampingi.

      Pun demikian, saya tahu, ketika saya sudah berada di dunia kedokteran, maka yang namanya hidup dan mati dokter itu berbeda tipis. Kalau dokter tidak takut dengan penyakit mematikan saat menolong pasiennya, saya rasa dia tidak akan takut penjara, walau keduanya itu tidak diinginkan siapapun.

      Nah, kalau terkait apakah dokter akan menangani si penuntut. Saya kurang tahu, tergantung dokter yang menerima. Jika dia merasa tidak nyaman, dia “berhak” menolak pasien tersebut, karena dikhawatirkan akan berdampak pada keputusan profesionalismenya. Landasan yang sama juga membuat dokter membawa keluarganya yang sakit berobat ke dokter lain, karena ikatan keluarga dan emosi di dalamnya, bisa memengaruhi dokter membuat keputusan profesional.

      Suka

    • iya, masa-masa emergency dengan sumber daya yang terbatas memang menuntut kita supaya menjadi kreatif ya… salut sama pak dokter ^^

      Suka

  2. saya sebagai orang awam juga tidak setuju dengan kasus yang menimpa dokter di Manado.. kecuali memang ada beberapa kasus maalpraktik yang pernah menimpa pasien dirumah sakit,,,walaupun beritanya tidak terkekspos….

    dalam kerjaan memang ada resiko…. disektor manapun..
    dan saya salut denga solidaritas semua dokter… semoga masalah ini cepat selesai…
    tulisan kamu bagus banget Cahya… 🙂

    Suka

    • Iya Bu, kalau ada dokter malpraktek seperti aborsi ilegal (tidak dengan indikasi medis) pasti ndak akan ada dokter yang membela oknum tersebut.
      Beda kasusnya jika bukan malpraktek disebut malpraktek. Apalagi jika ternyata hukum kita gagal memahami hal ini.

      Jika ada misconduct atau pelanggaran etika, maka itu juga perlu ditindak. Seperti misalnya menghina pasien. Tapi tindakannya bukan ke ranah hukum, namun ke IDI atau MKKI.

      Suka

  3. membawa senyum bagi banyak orang. itu berkah yang tidak didapatkan dari profesi manapun, menurut saya. good luck, bro 🙂

    Suka

    • Kalau menurut saya, jika Tuhan memang memberikan jalan manusia itu adil, maka di manapun jalan kita sebagai manusia – kita bisa berkesempatan membuat orang-orang tersenyum :).

      Suka

  4. Pusing mikir negara tambah ruwet. Kalo anak pejabt nabrak sampe mati orang banyak ga dipenjara. Kita nolong orang malah dipenjara.

    Suka

  5. Saya hanya seorang sutradara. Dan pastinya saya tidak terlalu mengerti soal dunia kedokteran. Tapi saya percaya bahwa masih banyak dokter yang tulus dan jujur dalam mengerjakan dan menjalankan profesinya. Sayangnya, negara ini masih belum terlalu berpihak pada pribadi-pribadi yang jujur dan baik. Pada profesional-profesional yang bekerja sekuat tenaga untuk membantu masyarakat Indonesia.

    Ternyata, dunia kalian di kedokteranpun tidak jauh beda nasibnya dengan dunia saya di perfileman.

    Membantu saja ternyata tidak cukup. Memberi lebihpun tidak akan penah cukup untuk negara ini. Namun jadi bagian dari kaum mayoritas (baca:manusia-manusia sampah) justru akan menyelamatkan nasib anda!

    Tapi percaya deh. Biarkan yang baik tetap menjadi baik. Dan yang tulus tetap terus putih dan tak ternodai.

    Salam
    Eugene panji
    sutradara

    Suka

    • Pak Eugene Panji, kalau negara bisa berpihak pada pribadi yang jujur dengan penuh, maka alangkah indahnya euforia terwujud di negeri ini. Hanya saja kita tidak kemudian (di lapangan) berhadapan dengan satu masalah, mungkin ada banyak masalah.

      Ada ketidakpuasan, ada kesalahpengertian, ada yang mencari kesempatan, dan banyak hal lainnya. Dan Anda benar Pak, realita ini tidak hanya terjadi pada satu atau dua profesi di negeri ini.

      Meski kita tidak bisa memecahkan kompleksitas permasalahan di negeri ini, namun saya rasa kita bisa membantu mengurainya dengan menyelesaikan masalah-masalah sederhana di hadapan kita. Dan jika banyak orang bisa membantu demikian, mungkin kesemrawutan negeri ini bisa tertolong.

      Seperti yang pernah Anda tuangkan dalam “Cita-Citaku Setinggi Tanah” :).

      Salam,
      Cahya.

      Suka

  6. Singkat, padat, jelas. Satu tulisan yang mewakili teriakan hati dokter-dokter di Indonesia atas hukum negara ini yang kurang kuat dan tidak mampu (atau tidak mau-masa bodoh?) melindungi pekerja medisnya. Santet aja diurusin… -.-‘ terima kasih, dok.. ijin share, ya 🙂

    Suka

    • Debora, sebenarnya saya awalnya tidak begitu ingin menulis, karena banyak perwakilan dokter yang sudah dan akan membuat pernyataan sikap. Tapi jika tidak menulis, hati saya juga tidak tenang.
      Terima kasih.

      Suka

    • tulisannya bagus, kok, dok 🙂 ga berbelit-belit, tapi sudah terangkum semua 🙂 terima kasih.

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.