Selamat Datang Indonesia di Gerbang Defensive Medicine

Isu kesehatan di negeri ini sedang memanas, mungkin tidak kalah panas dengan ObamaCare di negeri yang jauh di sana. Ketika Mahkamah Agung sudah mengetuk palu vonis pidana bagi kasus malpraktek dalam pandangan hukum, namun bukan malpraktek dalam pandangan kedokteran, maka kepercayaan dokter sedikit banyaklah telah luntur pada perlindungan hukum kita.

Percikan gelombangnya mulai memperlihatkan alur hukum aksi-reaksi di negeri ini. Saya memerhatikan beberapa hari belakangan ini, bahkan jam belakangan ini, praktek defensive medicine telah mulai berkembang di dalam negeri. Saya tidak bisa menyalahkan sejawat, karena saya mungkin akan mengambil pertimbangan yang serupa jika saya berada di sini mereka.

Dokter harus mempersiapkan diri dari tuntutan hukum dengan lebih berani saat ini, karena ketidakpastian hukum. Karena ketika hukum tidak bisa memberikan rasa aman, maka dokter harus membangun rasa aman mereka sendiri dari dasar.

Saya sudah membaca banyak tulisan dan kabar yang dikirimkan para sejawat, betapa dilema yang mereka hadapi, terutama saat menghadapi kasus-kasus gawat darurat. Mereka tidak berani bergerak dan bertindak pada pasien yang nyawanya diujung tanduk sebelum mendapatkan persetujuan keluarga, yang keluarga pasien entah berada di mana. Siapa yang berani bertindak, jika meskipun yang kamu lakukan benar, maka penjara tetap menunggu.

Sebenarnya terdapat undang-undang yang melindungi, bahkan mewajibkan dokter menolong pada situasi darurat, dan memang dokter sendiri pasti ingin menolong dalam situasi darurat. Tapi rupanya Mahkamah Agung kemarin tidak sependapat dengan hal tersebut. Dan selama keputusan itu tidak berubah, maka selama itu juga akan semakin bertambah kasus-kasus kegawatdaruratan yang tidak tertangani dengan segera.

Defensive Medicine
Apakah harus besok hanya karena jari ini teriris oleh pinggiran kertas yang tajam, lalu harus diperiksa laboratorium lengkap, termasuk tes alergi obat yang harganya jutaan? Sumber gambar: BlogSpot Gallery.

Ada dua kerugian besar defensive medicine, pertama kemungkinan pasien darurat tidak tertolong tepat waktu. Kedua, biaya pengeluaran untuk layanan kesehatan akan membengkak. Dan tentunya terdapat kerugian-kerugian bermakna lainnya, semisalnya terbuangnya waktu petugas kesehatan untuk menganalisa banyak data yang sebenarnya pada praktek klinik bisa dikesampingkan; dengan layanan tenaga kesehatan yang terbatas di negeri ini, maka akan makin banyak tumpukan pasien yang tidak tertangani dengan baik.

Suatu saat, Anda mungkin akan menemukan bukan lagi antrean pasien di poliklinik, tapi juga di UGD, karena kegawatdaruratan tidak lagi pertolongan yang didahulukan, tapi kelengkapan pemeriksaan per pasien yang membuat pelaksana sistem kesehatan tetap aman ketika pun nantinya dituntut oleh hukum yang saat ini tidak memberikan kejelasan.

Defensive medicine: Medical practices designed to avert the future possibility of malpractice suits. In defensive medicine, responses are undertaken primarily to avoid liability rather than to benefit the patient. Doctors may order tests, procedures, or visits, or avoid high-risk patients or procedures primarily (but not necessarily solely) to reduce their exposure to malpractice liability. Defensive medicine is one of the least desirable effects of the rise in medical litigation. Defensive medicine increases the cost of health care and may expose patients to unnecessary risks.

Apakah praktek defensive medicine selalu memberikan jaminan keselematan pasien? Saya rasa itu belum tentu, karena praktek defensive medicine lebih merujuk pada potensi intervensi medis yang berdampak buruk pada pasien daripada yang memiliki manfaat bagi pasien.

Sebagai contoh sederhana, pasien dehidrasi berat (kekurangan cairan yang mengancam jiwa) akibat diare akut yang disertai muntah berulang kali. Standar sederhana yang ada saat ini adalah pemberian cairan melalui jalur intravena (infus) dengan segera guna menggantikan cairan yang hilang, tidak perlu obat-obatan lainnya selama masa observasi. Tapi infus tidak bisa diberikan dengan segera, karena pasien kesadarannya sangat lemah, dan keluarga inti belum ada di ruang gawat darurat untuk memberikan izin tindakan ini, padahal walaupun infus tampak sederhana, tapi di pasien ini mungkin infus biasa tidak akan membantu karena pembuluh darahnya sudah kolaps, sehingga setidaknya paling sederhana dilakukan venaseksi, yaitu operasi kecil untuk mengakses pembuluh vena yang kolaps.

Tindakan tersebut berisiko, termasuk risiko emboli (meskipun sangat kecil), dan risiko lainnya. Kepada siapa dokter bisa menjelaskan risiko ini, jika keluarga tidak ada dan pasien tidak sadar. Jika memang Mahkamah Agung berpendapat bahwa konsen/persetujuan harus diberikan dahulu, maka pertolongan pada pasien ini bisa berpotensi terlambat. Oleh karena itu selama ini dokter bekerja untuk kasus seperti ini tidak menggunakan izin atau konsen, tapi langsung menyelamatkan pasien. Keterlambatan penanganan hanya akan menyebabkan kita menempatkan pasien pada risiko yang sebenarnya bisa diminimalkan.

Oke, katakanlah kemudian keluarga pasien datang dan memberikan pernyataan setuju. Maka pasien dilakukan bedah kecil, dan ditempatkan di sal, ketika kondisinya membaik. Hanya saja di sini ada musuh tersembunyi, yaitu bakteri yang bisa menginfeksi melalui luka operasi, apalagi jika Anda bisa lihat kondisi rumah sakit di daerah-daerah atau pelosok bisa menjadi begitu kumuh. Dokter akan mempertimbangkan perlu tidaknya antibiotik profilaksis sesuai dengan pengalaman kerjanya di sana, jangan sampai pasien diare membaik diarenya tapi meninggal karena sepsis/infeksi.

Dokter harus memeriksa laboratorium darahnya secara berkala, memastikan tidak ada infeksi yang tersembunyi. Tentunya tindakan ini akan menambah biaya. Jika ada tanda infeksi yang muncul, maka dipersiapkan antibiotik, tapi dokter akan mempertimbangkan, apakah antibiotik ini aman atau tidak, jangan-jangan bakterinya sudah kebal; maka dokter akan menyarankan pemeriksaan kultur dan tes sensitivitas untuk melihat obat mana yang masih mempan; dan ketika mendapatkan kelompok obat yang tepat, maka dokter akan menguji kembali apakah obat ini aman atau tidak untuk Anda, sehingga saat diberikan tidak malah muncul reaksi anafilaksis yang berbahaya. Tes-tes ini mahal luar biasa dan memakan waktu lama.

Pasien yang selama ini diakali oleh tim medis sehingga waktu rawat inapnya pendek, dan biaya sedikit, kini dengan mulai munculnya perilaku defensive medicine bisa berkembang menjadi perawatan yang lama dan biaya yang membengkak. Dan bisa jadi biaya ini tidak akan terlindungi oleh asuransi plat merah pemerintah.

Praktek-praktek defensive medicine tidak salah, hanya saja kebanyakan tidak membawa manfaat bagi pasien. Tapi karena ketidakpastian hukum, maka praktek defensive medicine mulai menggeliat di nusantara, walau saya rasa tidak semua dokter melakukannya, tapi pada kasus yang berpotensi menyebabkannya dituntut secara hukum, saya rasa mereka akan berpikir dua kali untuk mencoba tulus menyelematkan pasien seperti yang mereka biasa lakukan.

4 tanggapan untuk “Selamat Datang Indonesia di Gerbang Defensive Medicine”

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.