Di era JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) seperti saat ini, masyarakat diharapkan mulai belajar membedakan, mana kasus yang mendesak dan mana kasus yang gawat darurat. Kasus mendesak sifatnya jika tidak segera ditangani, maka akan memburuk, tetapi tidak mengancam nyawa. Namun pada kasus yang gawat darurat, jika tidak ditangani maka bisa berakibat kematian.
Teorinya, kasus gawat darurat adalah kasus-kasus yang mendapatkan penanganan di ruang gawat darurat (emergency room), sedang kasus yang mendesak bisa ditangani di klinik yang melayani urgent care. Tapi di Indonesia, kasus IGD/IRD sering menjadi bulan-bulanan pasien yang malas mengantre.
Di era asuransi nasional, di mana kebanyakan pasien akan berobat dengan menggunakan asuransi. Tentu saja rumah sakit akan semakin mengetatkan pola penerimaan pasien di ruangan IGD mereka. Demikian juga pemberi rujukan dari pelayanan kesehatan pertama (PPK I), akan dibatasi pada kasus-kasus tertentu saja.
Idealnya sebuah rumah sakit memiliki tidak hanya IGD, namun juga poli umum untuk pelaksanaan urgent care. Dan setiap saat berarti minimal ada 2 dokter umum yang bertugas di garis depan, di bagian poli umum dan IGD. Poli umum bisa membantu menangani pasien yang mendesak, sedangkan UGD akan murni menangani pasien yang gawat darurat. Hanya saja, banyak rumah sakit yang belum menyediakan sistem seperti ini, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta. Mungkin menambah tenaga 1 dokter adalah pengeluaran yang bisa dihemat menurut mereka.
Pada akhirnya, pasien pun tetap ditangani di IGD, baik itu darurat ataupun mendesak, atau bahkan kasus yang sebenarnya hanya perlu pengobatan di rumah. Saya rasa ini salah satu budaya yang punya plus minus di Indonesia. Dokter IGD tidak pernah atau jarang menolak pasien yang sebenarnya bisa sembuh sendiri di rumah.
Walau pun Anda tidak memerlukan pelayanan IGD, dokter sering kali akan tetap menerima Anda. Di satu sisi, pelayanan tidak terbengkalai, di sisi lain sering mengancam nyawa pasien yang sebenarnya memerlukan pelayanan darurat. Itulah kondisi di negara kita, susah mencari siapa yang mesti disalahkan jika komplikasi budaya ini sudah muncul.
Tapi jangan harap Anda besok bisa berobat batuk pilek langsung ke IGD atau poli spesialis ketika menggunakan kartu JKN/BPJS Kesehatan. Anda pasti serta merta ditolak, karena rumah sakit tidak akan mendapatkan klaim dari asuransi untuk kasus-kasus seperti itu.
Jika Anda menderita sakit yang hanya ringan atau mendesak, bahkan seperti tersayat pisau dan memerlukan 3-4 jahitan, itu bukan kasus gawat darurat. Peserta BPJS/JKN bisa mendapatkan perawatan untuk kondisi ini di dokter praktek umum, puskesmas atau layanan kesehatan primer lainnya. Jika Anda langsung datang ke IGD rumah sakit, maka jangan heran jika Anda diminta membayar sesuai dengan yang dibayarkan oleh pasien umum (non-asuransi).
Jadi menjadi pasien asuransi saat ini, pastikan Anda cerdas memilih ke mana harus mendapatkan pertolongan medis untuk pertama kalinya.
Tinggalkan Balasan