openSUSE 13.1 “Bottle” KDE

Saya mempertahankan Ubuntu cukup lama pada netbook ASUS X201E saya, karena memang pasangan pabrikannya adalah distribusi Linux yang satu itu. Tapi saya sudah malas berkilah dengan Unity, meskipun hal lainnya berjalan seperti yang saya harapkan. Saya berpikir bahwa saat ini saya memerlukan sebuah sistem operasi yang cukup asyik dan berdaya guna untuk membuat saya tetap betah bekerja di bawah bendera Linux.

Saya pun kembali melirik openSUSE yang (dulu) biasa menemani saya, dan kali ini “nekat” mencoba berpasangan dengan KDE yang terkenal boros dengan sumber daya. Tapi setelah memasang openSUSE 13.1 Bottle edisi KDE, saya malah menemukan disto ini cukup ringan pada netbook berdaya pacu Intel Celeron dual-core 1,10GHz dengan 4 GB RAM DDR3.

Selalu ada banyak keunggulan openSUSE dibandingkan distribusi lain yang saya suka, salah satunya adalah dukungan Open Build Service yang menyediakan banyak perangkat lunak di satu tempat. Dan tentu saja, jika tidak banyak “dipermak”, openSUSE cukup stabil, dan sangat aman digunakan.

Ada banyak tinjauan yang positif tentang openSUSE 13.1, apalagi jika mengingat edisi ini akan masuk juga di tangan para tim Evergreen, di mana dukungannya akan mencapai 18 bulan, atau sekitar 3 tahun. Cukup lama untuk sebuah distribusi Linux. Jadi saya tidak perlu melakukan peningkatan ketika bisa hanya melakukan pembaruan saja.

Kali ini openSUSE 13.1 dipasang dengan metode dualboot bersama Windows 8 dengan tetap mempertahankan UEFI (dan saat memasang memang dipastikan UEFI aktif untuk kedua sistem operasi). Semuanya berjalan dengan baik, saya baru pertama kali mencoba dualboot memanfaatkan fitur EUFI, dan ini adalah ilmu baru (meskipun sudah lama beredar). Tampaknya openSUSE mengelola sistem boot dengan yang namanya grub-efi.

Setelah selesai memasang, saya menemukan bahwa boot openSUSE agak lama, memang lebih lama dibandingkan Ubuntu dan Windows 8. Cuma ya lamanya bersifat subjektif, alias pakai perasaan. Saya sendiri tidak masalah jika boot lama, yang penting bagaimana nanti saat digunakan.

KDE Default
Desktop KDE pada openSUSE 13.1 tampil dengan gaya asalinya. Tata letaknya masih belum berubah dari versi yang terakhir saya gunakan, tapi yang jelas makin banyak fitur yang ditawarkan.

Yang saya tidak sukai sebenarnya sejak dulu (dan ini memang bersifat pribadi) pada KDE, karena dia punya kecantikan Plasma Desktop yang menggugah sukma, tapi ikon dan fonta yang digunakan bisa benar-benar merusak selera. Jadi menggunakan KDE pada openSUSE sejak dulu terasa seperti makan banana split yang berisi taburan remah kaca.

Tapi sebelum ke isu itu, saya menambahkan sejumlah aplikasi dari OBS (one-click-install atau terminal) yang bisa biasa saya gunakan pada Windows dan Linux seperti:

  1. Mozilla Thunderbird: sebagai klien surat elektronik all-in-one.
  2. Chromium Web Browser, yang merupakan induknya Google Chrome.
  3. Opera Web Browser, yang sama sekali masih bergeming di edisi lawas.
  4. Shutter, pengambil cuplikan layar, sayangnya cuma tersedia buat Linux.
  5. Dropbox, untuk sinkronisasi berkas.
  6. Flash Player, untuk memutar YouTube dan pelbagai video lain secara daring.

Lalu saya menambahkan KDE Codecs dari openSUSE Community yang memanfaatkan repositori tambahan, baru kemudian memasang VLC lewat terminal agar bisa buat nonton video luring dan memutar sejumlah berkas multimedia.

Kembali ke masalah tampilan, saya memang benar-benar tidak bisa mencapai tampilan yang enak untuk dilihat. Berbeda jika menggunakan GNOME, tinggal pasang Elementary OS-like-theme,  maka mata sudah bisa dimanjakan dengan tampilan yang nyaman. Tapi KDE adalah sesuatu yang berbeda dari sananya.

Pertama saya mencoba memasang ikon dari Nitrux SA, seperti Efince-nya untuk KDE. Memang sejumlah ikonnya berbayar, tapi pengembang ikon khusus KDE ini memberikan beberapa secara gratis. Cobalah Nitrux atau Compass, dua itu disediakan secara gratis. Lalu saya mencoba melihat efeknya, dan ah, rupanya masih konyol, walau sedikit menjadi lebih baik.

Libre Office KDE
Tampilan ikon-ikon yang buruk pada Libre Office untuk KDE adalah salah satu sisi yang tidak menyenangkan ketika bersama KDE. Tapi apa boleh buat, sementara diterima, dan berikutnya dicarikan solusi.

Setelah ikon, saya berlari untuk mengubah tampilan ruang kerja (workspace appearance). Dekorasi jendela diubah menjadi FormaN (ada juga sih Elementary Luna), karena saya menggunakan skema warna “openSUSE Dark Alternate”, sehingga lebih cocok yang warna gelap. Saya juga mengubah tema dekstop menjadi “Gnome-Shell-KDE”, tidak jauh beda dengan “Air openSUSE”, yang manapun sepertinya tidak masalah.

Tema kursor menyesuaikan menjadi “Oxygen Zion”, dan malah warna gelap ini menjadi enak digunakan. Hanya saja masalah fonta masih menetap. Katanya openSUSE menggunakan mesin fonta Freetype 2.5, tapi setelah full hinting, tetap saja tidak nyaman. Ada yang menyarankan mengganti ke Infinality Font Rendering.

Desktop Theme
Tampilan KDE openSUSE, setelah sedikit dipermak, memang tidak membaik, tapi secara pribadi menambah kenyamanan, dan itu sudah cukup.

Sementara isu ini ditunda dulu, karena tidak banyak waktu untuk mencari solusinya saat ini. Sistem masih baru, bagi saya tidak perlu buru-buru diselesaikan dalam sehari (alasan lain dari malas).

Saya mencoba mencari kemampuannya bekerja di netbook kecil saya. Karena KDE versi openSUSE biasanya dikatakan lebih berat dari versi lain seperti yang dibawa Kubuntu atau Arch Linux. Rupanya pada mutitasking, sumber daya yang digunakan memang cukup tinggi, sekitar 70-90% CPU (kedua inti), dan 50% RAM. Saya menggunakannya untuk membuka Firefox (dalam 5 tab), Thunderbird, Okular (baca berkas PDF), dan sejumlah aplikasi latar seperti Shutter dan Dropbox.

System Monitor
Penghabisan sumber daya pada netbook ketika saya menggunakan fitur multitasking yang paling banyak yang biasanya saya gunakan.

Sampai saat ini saya belum menemukan kendala dalam menjalankan openSUSE 13.1 KDE pada netbook saya, dan sepertinya cukup stabil untuk digunakan dalam jangka panjang ke depannya. KDE memang bukan favorit saya, tapi pasca dihadirkan oleh openSUSE, saya rasa saya bisa bersahabat baik dengannya.

12 tanggapan untuk “openSUSE 13.1 “Bottle” KDE”

    • Duh, kalau sudah nempel GNOME biasanya memang susah lepas Pak. Apalagi kalau komputernya memang cukup tangguh menjalankan Gnome Shell atau Unity :).

      Saya soalnya agak kesulitan dengan “spesial efek” itu sehingga berpikir juga untuk pindah.

      Suka

    • GNOME sudah sejak beberapa tahun saya ikuti Melvin. Bagi penyuka kesederhanaan, GNOME adalah obat rindu yang tepat.

      Tapi KDE punya sesuatu yang berbeda. Jadi sesekali saya ingin menyelaminya. Karena awalnya saya memang pengguna KDE sebelum beralih ke GNOME, karena KDE memang termasuk berat.

      Suka

    • Jadi ini ceritanya dual boot sama Ubuntu / Win 8. Saya sudah 6 bulan. tidak menjadi pengikut windows

      Suka

    • Ini antara Win8 dan openSUSE :).

      Windows masih saya perlukan, karena aplikasi INA CBGs dan BPJS Kesehatan masih natif di Windows, belum ada porting atau versi Linuxnya.

      Suka

    • KDE lumayan banyak “eyecandy”-nya, sehingga bisa dibilang “WOW”. Saya saja masih bisa ternyata pakai efek “compiz” ringan, padahal netbook lho.

      Hanya saja fonta-nya yang bikin mata lirih. Saya coba pakai setelan ala “elementary OS” di sini, dan lumayan, mengobati tampilan.

      Kalau saya untuk nyaman, memang lebih suka GNOME, masih cukup sederhana.

      Suka

    • Oh ya bli. mungkin belum tau. Kalo KDE itu ngga boros sumber daya banget. KDE itu jadi yang tringan sekarang. Gnome shell, unity, Cinnamon, Mate, KDE, LXDE, XFCE

      Suka

    • Tergantung juga Nathan, kalau base-nya Arch atau Kubuntu, maka memori dasar konsumsinya rendah, kalau KDE di openSUSE lebih berat. Tapi yang jelas ndak seberat Unity :D.

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.