Beberapa hari ini saya menyelesaikan satu lagi membaca rentetan sebuah novel pendek, Wu Dong Qian Kun (Earth-Shattering Martial Arts) yang merupakan bagian dari – bisa dikatakan – triologi, dengan awalannya adalah novel “Battle Through the Heavens” dan dilanjutkan dengan “The Great Rules”.
Sebenarnya tidak bisa dibilang pendek, karena novel ini terdiri dari lebih dari seribu tiga ratus bab. Dan cukup melelahkan membacanya.
Sinopsis pendeknya (dalam terjemahan asli),
The Great Yan Empire exists in a world where respect can only be earned through strength. Within this Great Yan Empire, the four great clans have always stood above the rest. Among them, a particular incident in the Lin Clan resulted in the banishment of a certain individual who went on to start his own family, in hopes of one day being recognized again by the Lin Clan, and rejoining them…
Hailing from a banished family of the Great Lin Clan, when Lin Dong was very young, he watched, powerless, as his talented father was easily crushed and crippled by the overwhelming genius of the great Lin Clan, Lin Langtian. With a despairing father, a heartbroken grandfather, and a suffering family, ever since that fateful day, Lin Dong has been driven by a deep purpose; to take revenge on the man who had taken everything and more from his family.
Armed with nothing but willpower and determination, join Lin Dong as he unknowingly discovers a destiny greater than he could ever hope to imagine when he stumbles upon a mysterious stone talisman…
Novel ini mengisahkan tentang tokoh utama “Lin Dong” dari bagian keluarga ranting Lin. Keluarga ranting seperti bagian dari keluarga buangan dari keluarga utama. Si kecil Lin Dong tumbuh dengan tekad ingin membalas perbuatan kejam seseorang di keluarga utama yang membuat keluarga mereka terbuang dan ayahnya putus asa serta menderita luka dalam yang serius.
Petualangan si kecil Lin Dong sangat menarik, dan nyaris selalu dipenuhi dengan pertarungan hidup dan mati. Serta menjadi kuat secara bertahap, sampai pada akhirnya berada di puncak kejayaannya.
Tentu saja jenis cerita seperti ini tidak mudah dibuat, sehingga kadang kita bisa mencium sejumlah aroma ‘plot armor’ di dalamnya. Tapi tetap saja tidak mengurangi daya tariknya.
Romantisme tidak banyak, tidak seperti trilogi pendekar rajawali, di novel ini romans sangat terselebung, dan lebih banyak tersirat dibandingkan tersurat. Saya akui, ceritanya sedih di bagian mendekati akhir, namun tragedi yang terjadi akan menjadi jembatan bagi terhubungnya ketiga trilogi.
Bahkan ada komik juga yang dibuat berdasarkan novel ini, serta ada juga yang sudah menterjemahkannya ke bahasa Indonesia.
Tinggalkan Balasan