Sindrom Kelelahan Kronis

Di antara banyak masalah kesehatan, kelelahan merupakan salah satu keluhan yang acap disampaikan oleh pasien selain keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman. Dan di antara semua jenis keluhan kelelahan, ada satu yang cukup spesifik, berat dan berlangsung menahun yang dikenal sebagai sindrom kelelahan kronis.

Dunia kedokteran tidak asing dengan istilah sindrom kelelahan kronis, yang dikenal juga sebagai kelelahan pasca infeksi virus, atau myalgik ensefalomielitis (ICD 10: G93.3 ; ICD 11: 8E49). Tapi tidak semua tenaga kesehatan dapat mengenali dan menangani kasus sindrom kelelahan kronis secara baik dikarenakan banyak faktor yang rumit, sedemikian hingga sindrom kelelahan kronis acap menjadi kondisi kesehatan yang terpinggirkan.

Ilustrasi “kelelahan”. Sumber: npr.org.

Bayangkan saja, suatu ketika seseorang menderita penyakit ringan seperti flu atau batuk-pilek, setelah beberapa hari gejala flu membaik namun kelelahan tidak kunjung pergi juga. Orang tersebut mengalami kelelahan yang terus menerus, bahkan dengan aktivitas yang biasanya tidak menyebabkan gangguan, dia menjadi lelah atau teramat lelah, bangun tidur tidak merasa segar, sering mengalami nyeri badan dan sendi (pegal linu), sulit konsentrasi dan mengalami gangguan ingatan (pikun) yang tak kunjung membaik. Refleksi ini cukup mengkhawatirkan dan dapat mengarahkannya pada depresi, bahkan dapat membuat orang-orang di sekitarnya menjadi turut terdampak.

Pada praktiknya, sindrom kelelahan kronis selayaknya dilakukan penapisan terhadap kondisi kesehatan lainnya, termasuk kondisi psikiatris. Sindrom kelelahan kronis lebih banyak menunjukkan gejala oleh penyebab fisik dibandingkan penyebab psikologis menjadi pembedanya dengan gangguan afektif1. Sindrom kelelahan kronis juga selayaknya dibedakan dengan gangguan psikologi, seperti depresi2.

Mereka yang menderita sindrom kelelahan kronis bisa jadi tidak tampak seperti orang yang sedang sakit. Namun ada beberapa hal yang dapat dijumpai, di antaranya:

  • Ketidakmampuan untuk berkegiatan sebagaimana seperti sediakala.
  • Perubahan terhadap kemampuan dalam melakukan kegiatan harian, seperti mandi atau menyiapkan makanan.
  • Sering kali mengalami kesulitan untuk pergi bekerja, bersekolah, atau mengikuti kegiatan keluarga atau kemasyarakatan.
  • Dapat menetap selama bertahun-tahun, terkadang berujung pada disabilitas.
  • Sejumlah pasien mungkin akan “tidak” meninggalkan ranjang atau rumah selama mereka sakit.

Keberadaan sindrom kelelahan kronis merupakan tantangan bagi tenaga kesehatan, termasuk staf medis. Prevalensi sindrom kelelahan kronis di bawah 1%, menjadikan kondisi ini cukup langka. Tantangan lain muncul dari tidak tersedianya acuan penjelasan etiologi/penyebab dan patogenesis sindrom kelelahan kronis sebagai penyakit yang unik dan independen, termasuk juga kriteria diagnosis yang konsisten belum tersedia. Sedemikian hingga dokter harus memberikan pertimbangan terhadap pelbagai diagnosis banding baik dari penyebab organik maupun non-organik yang menyerupai gejala dan tanda pada sindrom kelelahan kronis3.

Penyebab sindrom kelelahan kronis sampai saat ini belum ditemukan. Penyebab yang mungkin, dan masih terus diteliti di antaranya adalah: infeksi, perubahan sistem imunitas, stres fisik dan/atau emosi yang dapat memengaruhi aktivitas kimiawi dalam tubuh, perubahan dalam produksi energi, serta kemungkin keterkaitan genetik.

Guna menegakkan, beberapa model telah diusulkan. Saat ini yang digunakan secara luas adalah terdapat tiga gejala utama dan salah satu dari tanda klinis sebagaimana yang direkomendasikan oleh Akademi Sains Nasional4 (Amerika Serikat). Di antaranya adalah:

Terdapat tiga gejalaberikut:

  1. Pengurangan atau penurunan substansial dalam kemampuan untuk terlibat dalam tingkat pekerjaan, pendidikan, sosial, atau aktivitas pra-sakit yang menetap selama lebih dari 6 (enam) bulan dan disertai dengan kelelahan, yang sering mendalam, berupa onset baru atau dapat dipastikan awalnya ( bukan seumur hidup), bukan hasil dari akibat berkegiatan tenaga berlebihan yang terus menerus dan tidak berkurang secara bermakna dengan istirahat;
  2. Malaise pasca-aktivitas;
  3. Tidur yang tidak mengembalikan kesegaran badan;

Dan terdapat sekurang-kurangnya salah satu dari dua tanda berikut:

  1. Gangguan/kerusakan kognitif;
  2. Intoleransi ortostatik;
Alur Diagnosis ME-CFS
Algoritma Diagnosis Sindrom Kelelahan Kronis.

Staf medis juga perlu mempertimbangkan munculnya kondisi komorbiditas pada penderita Sindrom Kelelahan Kronis, misalnya saja yang sering memiliki gejala saling tumpang tindih, seperti: fibromyalgia, sindrom iritasi usus besar, sindrom metabolik, gangguan tidur, hingga depresi.

Beberapa kondisi kesehatan lain juga perlu diperhatikan oleh klinisi yang mendapati kecurigaan sindrom kelelahan kronis, di antaranya termasuk: fibromyalgia, sindrom nyeri myofasial, sindrom sendi temporomandibular, sindrom iritasi usus, cystitis interstitial, sindrom iritasi kandung kemih, fenomena Raynaud, katup mitral yang mengalami prolaps, depresi, migrain, alergi, kepekaan kimiawi jamak, sindrom Sicca, apnea tidur sentral atau obstruktif, dan depresi atau kecemasan yang reaktif.

Oleh karena penyebab dan patogenesis dari kondisi sindrom kelelahan kronis belum diketahui secara jelas, maka hingga saat ini terapi definitif juga belum tersedia. Terapi dapat bersifat suportif, dan bisa berbeda antar satu pasien dan pasien lainnya sesuai dengan kebutuhan mereka. Beberapa di antaranya yang direkomendasikan adalah pengobatan dengan rintatolimod & rituximab, serta melakukan konseling psikiatri serta terapi rehabilitasi untuk pola hidup, terapi suplemen makanan juga direkomendasikan setidaknya bagi pasien yang terbukti mengalami defiensi terhadap nutrisi tertentu5.

Sebuah tatalaksana yang komprehensif dan tersesuaikan dengan tiap-tiap pasien diperlukan untuk membantu pasien dengan sindrom kelelahan kronis.


  1. Wessely, S., & Powell, R. (1989). Fatigue syndromes: a comparison of chronic” postviral” fatigue with neuromuscular and affective disorders. Journal of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry52(8), 940-948. 
  2. Griffith, J. P., & Zarrouf, F. A. (2008). A systematic review of chronic fatigue syndrome: don’t assume it’s depression. Primary care companion to the Journal of clinical psychiatry10(2), 120. 
  3. Rollnik, J. D. (2017). Das chronische Müdigkeitssyndrom–ein kritischer Diskurs. Fortschritte der Neurologie· Psychiatrie85(02), 79-85. 
  4. Chronic Fatigue Syndrome Advisory Committee. (2015). Recommendations from the HHS Chronic Fatigue Syndrome Advisory Committee following publication of: The Institute of Medicine of the National Academies’ Beyond Myalgic Encephalomyelitis. In Chronic Fatigue Syndrome: Redefining an Illness and National Institutes of Health Pathways to Prevention Workshop: Advancing the Research on Myalgic Encephalomyelitis/Chronic Fatigue Syndrome.[White Paper]
  5. Castro‐Marrero, J., Sáez‐Francàs, N., Santillo, D., & Alegre, J. (2017). Treatment and management of chronic fatigue syndrome/myalgic encephalomyelitis: all roads lead to Rome. British journal of pharmacology174(5), 345-369. 

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.