Era nirkertas (paperless) menjadi tuntutan dunia modern, termasuk dunia kedokteran. Salah satunya adalah dalam bidang rekam medis dan penulisan resep. Komite Akreditasi Rumah Sakit sempat mendorong agar rumah sakit menyediakan penulisan resep secara digital – terkomputerisasi, sedemikian hingga tidak ada lagi kejadian salah baca resep dokter.
Hanya saja kendala selalu ada. Penerapan peresepan elektronik (e-prescribing) menjadi sesuatu yang mahal pada investasi awalnya di sebuah fasilitas pelayanan kesehatan. Apalagi ketika kebanyakan pihak tidak melirik pada opsi open source, tapi pada proyek digital yang tersedia.
Belum lagi ditambah di situasi pandemi COVID-19 kali ini, bisa jadi pasien menghindari berkunjung langsung ke tempat praktik dokter dan memilih berkonsultasi jarak jauh, melalui teknologi digital, yang merupakan salah satu praktik paling sederhana dari telemedicine.
Permasalahan kemudian muncul, bagaimana jika dokter hendak meresepkan obat pada pasien?
Resep bisa dibuat dalam bentuk tertulis pada kertas, atau dalam bentuk elektronik sebagai permintaan tertulis oleh dokter kepada apoteker.
Jika seorang dokter tidak memiliki fasilitas penulisan resep secara elektronik, maka penulisan resep pada kertas resep dianjurkan. Karena peraturan perundangan (Permenkes RI Nomor 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek & Permenkes RI Nomor 9 tahun 2017 tentang Apotek) telah menetapkan hanya ada dua bentuk resep tersebut.
Resep yang ditulis manual dapat dipindai dan dipindahkan menjadi bentuk elektronik, ini adalah pilihan yang paling mudah.
Nah, pertanyaan berikutnya. Bagaimana cara mengamankan resep dalam bentuk elektronik ini, sedemikian hingga tidak disalahgunakan?
Kita tahu saat ini teknologi sangat canggih, berkas elektronik sangat mudah dimanipulasi. Sedemikian hingga sebagai penerbit resep, dokter sedikit banyaknya memiliki tanggung jawab dalam melindungi resepnya dari penyalahgunaan.
Dalam pengalaman saya, saya menganjurkan agar resep di atas kertas dipindahkan ke dalam bentuk elektronik berupa dokumen format portable atau PDF. Ini dapat dilakukan dengan menggunakan pelbagai jenis aplikasi pada ponsel pintar. Kata kunci seperti “Scan, Photo, & PDF” dapat membantu menemukan aplikasi yang diperlukan.
Kedua, berkas elektronik resep dalam bentuk PDF ini perlu ditandatangani secara digital oleh dokter yang menerbitkan. Yang menandakan, bahwa dokter tersebut memang menyetujui resep itu, dan menandakan bahwa tidak ada perubahan dibuat pada resep setelah ditandatangani oleh dokter.
Tanda tangan digital ada banyak metode yang bisa dilakukan, dan dokter bisa memilih layanan yang ia sukai.

Tentu saja, jika suatu saat terjadi penyalahgunaan resep dokter. Tanda tangan digital bisa melindungi dokter secara hukum, jika terbukti bahwa resep elektronik tersebut telah dimanipulasi pasca diresepkan dan ditandatangani secara digital oleh dokter.
Pasien dapat membawa resep yang ditandatangani secara digital oleh dokter ke apotek untuk menebus obat. Tentu saja, tidak setiap apotek menerima resep elektronik, ini terkait dengan kesiapan apotek tersebut dalam melakukan transaksi elektronik sebagaimana yang diatur oleh UU ITE.
Misalnya saja, tidak banyak yang tahu bahwa resep elektronik tidak untuk dicetak. Tapi diverifikasi secara elektronik/digital, karena tanda tangan melekat secara elektronik/digital. Resep yang tercetak di kertas hanya resep yang ditulis tangan langsung oleh dokter, bukan resep elektronik.
Sebagai penutup, ada sejumlah obat yang tidak dapat (entah diatur secara legal atau tidak) diresepkan secara elektronik, dan dokter sebaiknya menghindari meresepkan obat tersebut secara elektronik. Misalnya adalah golongan narkotika, psikotropika/antipsikotik, stimulan, dan sedatif. Sementara itu di beberapa negara yang melegalkan mariyuana (ganja), dokter juga tidak boleh meresepkannya secara elektronik.
Tinggalkan Balasan