Jika melihat kembali ke belakang, sudah berapa lama ya saya menulis di internet (blog). Pada profil blogger saya, di sana saya terdaftar sejak Januari 2006. Yah, untuk seorang narablog, saya masih tergolong muda dan newbie – artinya belum banyak pengalaman. Saya mungkin memang suka menulis sebagaimana saya tulis setahun yang lalu dalam “An Interview Above My Paint of Letters”. Sekarang saya lebih banyak menulis di berbagai blog, dan kesemuanya memang blog personal, seperti Bhyllabus (blog ini), Daily Lhagima (seperti jurnal harian), Cahya’s Stupid Enigma (tentang pemikiran konyol, dengan versi lawas di sini), Our Short Pilgrims (bahasa hati yang terenkripsi dalam kata-kata sejuta makna).
Ya, semua itu sudah tercakup dalam Winter Project yang dikembangkan sejak musim dingin tahun lalu dengan melakukan beberapa penyesuaian terhadap pola penulisan, yang saat ini memasuki tahap penerapan (aplikatif) dan penataan perluasan (ekspansi struktural). Tapi saya sendiri tidak terlalu peduli pada proyek ini, toh hanya sekadar keisengan di dunia maya untuk hobi menulis saya.
Saya mungkin memang menyukai menulis sejak kecil, ah…, coba saya ingat-ingat kembali masa-masa itu.
Ketika masa-masa menjadi anak desa yang nakal berakhir (sementara waktu), saya dipindahkan dari pinggiran desa ke pinggiran kota, ah…, memang nasib jadi anak pinggiran ya seperti ini. Dulu saya paling tidak mau pindah ke kota, di sana tidak ada teman atau anak yang saya kenal. Entah kena bujuk apa waktu itu sampai bersedia diajak pindah, bak kerbau dicocok hidungnya saja.
Ketika saya di pinggiran desa, otak saya di dengkul, habisnya hanya dipakai untuk main ke sana ke mari tanpa tujuan yang jelas. Sesampainya di pinggiran kota, memasuki sekolah dasar yang baru, ternyata saya sadar saya tidak berotak sama sekali, ha ha…, alias jadi yang paling bodoh di sana. Di desa tidak ada guru yang mendikte-kan muridnya sebagai syarat agar bisa pulang sekolah, karena guru di desa juga harus mengurus ternak atau sawah mereka guna menunjang hidup. Tapi ternyata kalau di kota, masih bisa menyempatkan diri tersenyum-senyum melihat wajah murid-muridnya yang bingung mengerjakan soal yang didiktekan sebelum pulang – itu tampak seperti kesadisan dalam wacana yang berbeda.
Tidak perlu ditanyakan lagi, saya termasuk orang yang selalu pulang paling belakang. Dan termasuk yang selalu berkeringat dingin kalau sudah tahu sebentar lagi mendekati jam pulang sekolah, padahal kalau murid-murid biasanya selalu senang kalau sebentar lagi pulang sekolah.
Dan kondisi-kondisi ini membuat saya harus menambah sejumlah besar hal dalam kepala saya, saya mulai membaca lebih banyak – padahal dulu kerjaannya kelayapan, saya mulai menulis lebih banyak – padahal dulu sering buat main layangan. Tapi tetap saja, yang namanya naik sepeda untuk main hingga ke desa sebelah atau lain sebagainya sudah jadi kebiasaan yang tidak bisa hilang walau sudah pindah ke kota.
Ketika itu anak-anak sekolah dasar sedang demam “diary”, sesuatu yang tidak pernah saya jumpai di persawahan desa-desa, atau tegalan-tegalannya. Namun zaman itu, “diary” tidak selalu identik dengan buku harian, tapi lebih pada buku pribadi dan persahabatan. Anak-anak menulis apa yang mereka pikirkan, lalu saling bertukar “diary” dengan teman-teman lainnya yang sekelas, saling mengisi buku satu dengan yang lainnya, baik hanya sekadar biodata atau pun pemikiran anak-anak saat itu. Mungkin kalau para narablog bisa diidentikkan dengan membuat blog dan menerima penulis tamu.
Kalau anak-anak di desa biasanya berbagi opini sambil duduk-duduk di pinggiran sawah atau di bale bengong, maka di kota bisa ditambahkan bertukar opini melalui tulisan.
Mungkin ada yang lain yang memicu sistem ini bisa hidup di tempat baru saya saat itu. Yaitu adanya perpustakaan. Di sekolah desa, perpustakaan tidak terurus, koleksi terbatas, dan bahkan sudah ada yang “dibaca” oleh rayap terlebih dahulu. Namun di tempat saya yang baru, murid-murid bisa membaca banyak koleksi, dan saya menemukan banyak sekali bahan bacaan yang sangat menarik, dan itu sangat mengantusiaskan – seperti menemukan dan membuka peti harta karun di permainan bajak lautnya Spongebob.
Dorongan antusiasme, aliran inspirasi dari berbagai bahan bacaan, mungkin itu yang mendorong saya ketika anak-anak dulu untuk menuliskan pemikiran saya dalam sebuah lembaran-lembaran. Belum lagi di sekolah dasar dulu, berkat seorang guru, para murid berkompetisi secara tak sadar untuk menulis lebih banyak. Kami berlomba untuk menulis dalam susunan huruf-huruf yang rapi dan indah, kalau saya tidak salah, rasanya kami pun dulu punya jam untuk latihan menulis indah.
Anak-anak suka membandingkan tulisan satu dan yang lainnya, dan kami pun berusaha agar tulisannya harus lebih bagus dari yang lain. Biasanya kami memanfaatkan “diary” itu untuk saling bertukar tulisan, dan secara implisit melihat bagaimana tulisan teman-teman yang lain.
Sehingga kami secara tidak sadar telah belajar menulis dengan menempatkan kekuatan ide dan bentuk tulisan ke dalamnya. Kemudian berbagi dengan teman-teman yang lain, apalagi kalau tulisan kita sampai dipuji oleh teman-teman perempuan, wah…, bagaimana gitu, jadi tambah semangat lagi untuk menulis selanjutnya dan selanjutnya.
Adanya kesempatan dan keterbukaan dalam bertukar pendapat merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi anak-anak, walau hanya sekadar membicarakan tentang film kartun yang baru saja tayang. Saya sangat senang, walau pun sering kali berbeda pendapat, setidaknya kami bisa tertawa bersama. Paling bilang, “ya udah, kita lihat saja besok”, dan melihat siapa yang benar prediksinya tentang suatu hal. Dan untungnya kami tidak sampai bertengkar sebagaimana yang ditunjukkan anggota dewan kita yang terhormat karena berbeda kata dan pandang.
Saya juga menyempatkan diri untuk menulis dengan orang-orang yang punya hobi menulis. Dulu kita mengenal apa yang namanya “sahabat pena”, mungkin tidak pernah berjumpa, hanya mengenal lewat tulisan. Rasanya saya punya beberapa sahabat pena, hingga ke berbagai pulau di nusantara. Ha ha…, padahal obrolannya pun hanya obrolan anak-anak, entah apa yang saya tulis waktu itu. Terang saja, dulu tidak ada yang namanya ponsel untuk mengirim pesan singkat atau pun surel untuk berkirim berita via internet. Maka surat pos adalah hal yang paling mudah yang bisa dikerjakan.
Mungkin sekarang, wilayah yang sudah maju (dalam pandangan orang Indonesia), sudah tidak ada lagi yang namanya “sahabat pena”, sekarangnya eranya jejaring sosial seperti facebook dan teman-temannya. Mungkin tidak ada lagi anak-anak SD atau SMP yang tahu asyiknya berkirim surat dengan teman-teman yang tak pernah dilihat langsung, namun berbagi pemikiran yang orisinil. Tidak pernah merasakan bagaimana menyenangkannya menulis surat sambil menggembala itik di persawahan, atau datang pagi-pagi ke sekolah untuk melihat apakah di kotak surat ada balasan untuk surat kita – karena saya terbiasa menggunakan alamat sekolah daripada alamat rumah. Rasanya begitu nostalgia.
Writing I was a kid, was so amazing, like dancing with the wind, so free and feel so nice without boundary.
Sekarang saya sejak memiliki blog dan teknologi internet, saya jarang sekali menulis langsung di buku harian. Saya masih punya satu buku, dan saya hanya menulisnya beberapa bulan sekali, dan buku itu pun saya simpan untuk diri saya sendiri.
Tentu saja sebagai dampaknya, kecepatan saya mengetik di komputer menjadi bertambah, bahkan saya bisa mengetik dengan cukup cepat tanpa melihat papan ketik. Tapi tulisan tangan saya menjadi semakin tidak terbaca. Itu adalah sebuah harga yang cukup mahal karena berhenti menulis dengan tangan ini.
Ah…, saya kangen sekali melihat “diary” tua saya dari zaman SD dulu, entah apa masih selamat atau tidak – maksudnya belum dibuang ke tempat sampah kalau ada pembersihan rumah di Bali. Atau tumpukan surat-surat yang saya dapatkan sejak zaman sekolah dulu, he he…, pingin melihat kembali, adakah surat cinta di dalamnya? Hmm…, mari kita bahas itu di lain kesempatan, tentunya jika saya ingat 😀
p.s: saya mungkin tidak dapat membalas tanggapan untuk tulisan ini dengan segera. Karena jika jadwalnya tepat, maka saat tulisan ini terbit saya dalam perjalanan panjang menuju negeri layang-layang.

Tinggalkan komentar