Mungkin berwisata masa kini sudah tidak lagi seperti dulu. Saya sendiri memang tidak terlalu menyukai perjalanan jauh, dan mungkin memang tidak cocok bepergian jauh untuk sekadar berjalan-jalan dan melepas lelah, apalagi saya memang tidak memiliki cukup banyak uang untuk dihabiskan.
Dunia pariwisata sendiri sudah tidak seperti dulu lagi, terlalu banyak pelaku pariwisata yang membuat saya tidak begitu menyukainya – tentu saja ini pandangan pribadi saya. Karena saya tidak menyukai keramaian. Saya rasa saya pernah bercerita mengapa saya sangat suka bertamasya ketika masih kecil dulu bersama keluarga, Bali masih relatif sepi, wisatawan domestik dan mancanegara tidak sebanyak saat ini. Bali relatif lengang.
Kami bisa menyusuri Danau Bratan, Buyan dan Tamblingan, sekadar memancing dengan bebas di antara semak-semak kesunyian. Itu sangat menyenangkan, lalu lintas-pun relatif sepi dan nyaman walau di antara jalanan pegunungan.
Kini, ah ya…, penduduk Bali melonjak tajam (apakah karena program keluarga berencana gagal?), belum lagi kedatangan wisatawan dan memang pendatang yang untuk menetap di Bali. Yah, bisa ditebak pulau kecil ini semakin sesak saja.
Permasalahan lain adalah biaya hidup di Bali, pendatang mungkin tidak banyak merasakannya. Tapi warga asli, hmm…, bisa jadi. Biaya beradat di Bali tidak murah, orang bisa menjual tanah warisan leluhurnya hanya sekadar untuk berupacara adat – dan tentu saja selalu ada investor yang tertarik jadi membeli lahan di pulau seribu pura ini. Belum lagi biaya sekolah untuk anak-anak, saya tidak heran lagi dan tidak kaget lagi jika dikatakan biaya bulanan sekolah anak SMP atau SMA sekarang rata-rata lebih besar daripada biaya SPP saya di FK UGM. Belum lagi biaya hidup lainnya.
Sedangkan sektor mata pencaharian saya rasa sebuah kompleksitas sendiri. Jika pun mau jadi PNS, memang seberapa banyak sih akan ada penyerapan ke sektor pemerintahan? Belum lagi sudah jadi rahasia umum bahwa “jalan belakang” dengan ratusan juta rupiah untuk meloloskan diri jadi PNS, hanya sedikit yang saya tahu orang-orang yang memang benar-benar diterima karena kemampuannya – bukan amplopnya.
Mau jadi petani di Bali? Ah…, yang benar saja, lahan menipis, pembangunan di mana-mana, hutan semakin berkurang, berarti sistem air dan perairan di daratan telah mengalami kerusakan, irigasi sering kali mengalami pelik dan kekacauan. Kecuali Anda memiliki modal cukup baik dari segi finansial, pengalaman dan dukungan, maka pertanian bisa jadi prospek yang baik. Tapi saya dengar kebanyakan petani maju di Bali justru orang asing, mereka bertani kualitas baik untuk diekspor.
Nah di antara himpitan hidup masyarakat Bali, maka dunia pariwisata menjadi lirikan, apalagi memang Bali telah menjadi daerah pariwisata andalan, walau konon untuk itu mesti dibayar dengan darah pembantaian seperlima penduduk Bali di era 65-an dulu – ah, tapi sekarang siapa yang masih ingat sejarah, apalagi sulit diketahui sumber mana yang mesti dipercaya.
Sayangnya justru pariwisata di Bali entah mengapa konon berkiblat ke diskriminasi terhadap wisatawan domestik. Simak saja tulisan Mbak Sanny “Berbahasa Indonesia di Kuta = Minoritas di Negeri Sendiri?” yang merupakan salah satu dari beberapa tulisan yang saya baca tentang bagaimana “kekecewaan” terhadap pelaku pariwisata di Bali yang dinilai lebih menomorsatukan wisman dari pada tamu domestik. Dan mungkin lebih banyak lagi ungkapan kekecewaan yang ada.
Saya pun berpikir, jika suatu saat Bali ditinggalkan wisatawan domestik – sebagaimana banyak pendapat yang berkata bahwa lebih baik liburan ke luar negeri, biayanya bahkan lebih murah jika liburan ke Phuket, ke Singapura, dan perlakuannya jelas tidak akan diskriminatif. Bahkan ada forum wisata internasional lebih menyarankan ke Phuket dibandingkan ke Bali, karena orang-orang di sana lebih ramah katanya. Dan jika pemikiran seperti ini semakin berkembang, saya rasa jelas Bali akan semakin kehilangan potensi-potensi yang mungkin jadi kesempatan meningkatkan dunia pariwisata di Bali.
Jika masih ada oknum-oknum pelaku pariwisata di Bali yang bersikap di luar profesionalisme kepariwisataan, maka Bali akan semakin pasti kehilangan citranya sebagai tempat liburan yang nyaman dan ramah. Ingatlah bahwa diperlukan hanya setetes nila untuk merusak susu sebelanga.
Dan memang bahkan saya sendiri sekarang tidak begitu suka jika berwisata di tanah kelahiran sendiri. Bagaimana tidak, mengunjungi pantai di desa sebelah saja kena restribusi tidak jelas, padahal saat kecil saya dan teman-teman bisa bebas bermain tanpa banyak basa-basi. Saya jadi lebih suka tinggal di rumah atau hanya sekadar berjalan di pematang sawah.


Tinggalkan komentar