
I. Pendahuluan: Mengurai Sikap Teguh Indonesia
Dukungan Indonesia yang tak tergoyahkan dan konsisten terhadap kemerdekaan Palestina merupakan landasan utama kebijakan luar negerinya, yang dipertahankan secara teguh oleh setiap pemerintahan sejak para pendiri bangsa hingga saat ini.1 Komitmen yang abadi ini tidak hanya bersifat retoris, melainkan termanifestasi melalui spektrum tindakan konkret yang luas, mencakup advokasi diplomatik yang kuat, solidaritas politik strategis, dan bantuan kemanusiaan yang substansial, baik secara bilateral maupun dalam kerangka multilateral internasional.4 Komitmen yang mendalam ini juga ditandai dengan penolakan berprinsip untuk mengakui Negara Israel hingga tercapai kesepakatan damai yang membentuk negara Palestina yang berdaulat dan merdeka.10
Penekanan yang konsisten pada dukungan yang “tak tergoyahkan,” “konsisten,” dan “tidak pernah berubah” 2 menunjukkan bahwa sikap pro-Palestina Indonesia lebih dari sekadar pilihan kebijakan; ia telah menjadi komponen yang sangat mengakar dan fundamental dari identitas nasional Indonesia serta persepsinya di panggung global. Konsistensi yang mendalam ini, yang dipertahankan meskipun terjadi pergeseran signifikan dalam geopolitik global dan kepemimpinan domestik selama beberapa dekade, menyiratkan komitmen yang mendalam, bahkan sakral. Komitmen ini melampaui perhitungan politik jangka pendek dan berfungsi sebagai kompas moral bagi kebijakan luar negeri Indonesia. Hal ini secara kausal memengaruhi posisi strategis Indonesia, memungkinkannya untuk menegaskan kepemimpinannya di dalam “Global South” dan memproyeksikan otoritas moral dalam isu-isu penentuan nasib sendiri dan keadilan. Penanaman kebijakan yang begitu mendalam ini berarti bahwa setiap penyimpangan signifikan dari sikap pro-Palestina kemungkinan besar akan menimbulkan biaya politik domestik yang besar bagi setiap pemerintah Indonesia. Ini memperkuat stabilitas jangka panjang dan prediktabilitas pilar kebijakan luar negeri ini, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai advokat yang dapat diandalkan dan berprinsip untuk solidaritas pasca-kolonial dan hukum internasional.
Laporan tingkat ahli ini bertujuan untuk memberikan pemeriksaan komprehensif dan analitis mengenai berbagai alasan yang mendasari dukungan teguh dan penuh Indonesia terhadap penentuan nasib sendiri dan kenegaraan Palestina. Laporan ini akan secara cermat mengeksplorasi genesis historis dari sikap ini, mendalami mandat konstitusionalnya yang mendasar, menjelaskan landasan ideologis intinya, dan merinci manifestasi praktis dari kebijakan ini. Analisis ini akan menelusuri evolusi dan konsistensi luar biasa dari komitmen ini di berbagai era kepresidenan, menempatkannya dalam konteks yang lebih luas dari prinsip-prinsip kebijakan luar negeri “Bebas Aktif” Indonesia dan aspirasinya untuk kepemimpinan global dalam hak asasi manusia.
II. Fondasi Historis: Anti-Kolonialisme dan Solidaritas Awal
Era Sukarno: Anti-Imperialisme dan Konferensi Asia-Afrika (KAA)
Sejak awal kemerdekaannya, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno secara tegas menolak untuk mengakui proklamasi unilateral Israel pada 14 Mei 1948. Tindakan ini secara fundamental dipandang sebagai perampasan tanah rakyat Palestina yang tidak sah.1 Catatan sejarah menunjukkan bahwa telegram ucapan selamat dari Presiden Israel Chaim Weizmann dan Perdana Menteri David Ben-Gurion hanya dibalas dengan ucapan terima kasih formal dari Mohammad Hatta, tanpa tawaran timbal balik berupa pengakuan diplomatik.1 Ini membentuk kebijakan non-pengakuan yang mendasar yang telah bertahan dengan teguh hingga saat ini.10
Sikap anti-kolonialisme Sukarno yang gigih berakar kuat pada keyakinan universal bahwa “tiap bangsa punya hak menentukan nasibnya sendiri tanpa melalui pengaturan dan campur tangan negara lain”.1 Prinsip penentuan nasib sendiri yang universal ini menjadi inti dari kebijakan luar negeri Indonesia, yang secara langsung dan konsisten diterapkan pada perjuangan Palestina untuk kemerdekaan.1 Pengalaman pahit Indonesia sendiri dalam perjuangan kemerdekaan melawan kolonialisme Belanda 1 sangat membentuk pandangan dunia Sukarno. Pernyataannya bahwa “kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya” dan penerapannya langsung pada situasi Palestina 1 menunjukkan universalisasi mendalam dari pengalaman sejarah nasional Indonesia. Ini bukan sekadar tindakan empati; ini adalah proyeksi strategis narasi sejarah Indonesia sendiri ke panggung global. Dengan membingkai perjuangan Palestina sebagai kelanjutan langsung dari gerakan anti-kolonial, Indonesia mengangkat perjuangan historisnya sendiri menjadi masalah keadilan universal. Hal ini secara kausal melegitimasi sikap kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Palestina dan secara strategis menempatkan Indonesia sebagai juara terkemuka di Global South dan otoritas moral dalam isu-isu penentuan nasib sendiri. Pembingkaian sejarah yang mendalam ini memberikan justifikasi moral yang sangat kuat dan konsisten untuk non-pengakuan Indonesia terhadap Israel dan dukungan aktifnya terhadap Palestina. Ini menanamkan kebijakan begitu dalam ke dalam jiwa nasional sehingga sebagian besar kebal terhadap perubahan kebijakan yang signifikan, terlepas dari perubahan kepemimpinan politik.
Pada tahun 1953, selama diskusi awal untuk Konferensi Asia-Afrika (KAA), Indonesia, bersama dengan Pakistan, dengan keras menentang keikutsertaan Israel. Penolakan ini didasarkan pada persepsi Israel sebagai entitas imperialis, yang partisipasinya pasti akan menyinggung perasaan negara-negara Arab yang pada saat itu masih berjuang untuk kemerdekaan mereka sendiri.1 KAA, yang akhirnya diadakan di Bandung pada tahun 1955, mengukuhkan front anti-kolonial yang bersatu ini di antara negara-negara Asia dan Afrika.1 Penolakan Sukarno untuk mengakui Israel, bahkan meluas ke isyarat simbolis seperti acara olahraga 1, bukan sekadar tindakan simbolis. Itu adalah manuver yang disengaja dan strategis yang bertujuan untuk delegitimasi dan isolasi internasional Israel. Dengan secara aktif mengecualikan Israel dari forum internasional penting seperti KAA dan acara olahraga besar, Indonesia berusaha untuk menyelaraskan Israel dengan “Old Established Forces” 1 yang mewakili masa lalu kolonial. Ini menunjukkan pemahaman awal dan canggih tentang kekuatan lunak dan politik pengakuan internasional. Ini menyoroti bahwa Indonesia tidak secara pasif bereaksi terhadap peristiwa geopolitik tetapi secara proaktif membentuk narasi internasional, terutama di antara negara-negara yang baru merdeka, dengan menarik garis ideologis yang jelas antara “penindas” dan “yang tertindas.” Pendekatan strategis awal ini menetapkan preseden fundamental untuk postur diplomatik jangka panjang Indonesia: non-pengakuan dipandang bukan hanya sebagai ketiadaan hubungan, tetapi sebagai alat aktif tekanan politik dan moral. Ini menyiratkan bahwa Indonesia memandang sikapnya sebagai kontribusi vital bagi front anti-kolonial internasional yang lebih luas, memengaruhi persepsi dan kebijakan negara lain.
Sukarno memperluas sikap politik ini ke ranah olahraga internasional. Sebuah contoh penting terjadi pada tahun 1958 ketika ia secara terkenal melarang tim nasional sepak bola Indonesia bermain melawan Israel dalam kualifikasi Piala Dunia, dengan tegas menyatakan, “Itu sama saja mengakui Israel”.1 Keputusan ini, meskipun mengorbankan tempat Indonesia di Piala Dunia, menggarisbawahi kedalaman komitmen politiknya. Demikian pula, ketika Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games IV pada tahun 1962, pemerintah Indonesia menolak memberikan visa kepada kontingen Israel dan Taiwan. Meskipun alasan resmi yang dikeluarkan adalah Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan kedua negara tersebut, alasan politik anti-imperialisme Sukarno mendasari kebijakan tersebut, yang membingkai situasi sebagai perjuangan antara “Old Established Forces (Oldefos)” dan “New Emerging Forces (Nefos)”.1 Deklarasi kuatnya dan banyak dikutip dari tahun 1966, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang pendudukan Israel,” merangkum sifat komitmen Indonesia yang mendalam, jangka panjang, dan tak tergoyahkan terhadap perjuangan Palestina.3
Dukungan Awal Palestina untuk Kemerdekaan Indonesia (1945)
Permusuhan awal dan abadi Indonesia terhadap hubungan dengan Israel secara signifikan dipengaruhi oleh rasa “terima kasih terhadap Palestina”.10 Catatan sejarah mengkredit Grand Mufti Yerusalem dan Pemimpin Tertinggi Dewan Palestina, Sheikh Muhammad Amin al-Husaini, dengan memainkan peran penting dalam menggalang pengakuan internasional awal untuk kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 dari negara-negara Arab lainnya, khususnya melalui pengaruhnya di dalam Liga Arab.10 Selanjutnya, ia secara aktif menekan Inggris, yang pasukannya telah tiba di Indonesia sebelum Belanda, untuk tidak mendukung upaya re-kolonisasi Belanda.10 Tindakan timbal balik historis ini membentuk ikatan yang kuat dan abadi antara kedua negara.10 Penekanan eksplisit pada dukungan awal Palestina yang krusial untuk kemerdekaan Indonesia, terutama melalui upaya Grand Mufti 10, menyoroti prinsip dasar timbal balik diplomatik. Ini menunjukkan bahwa hubungan antara Indonesia dan Palestina tidak hanya didasarkan pada prinsip-prinsip abstrak anti-kolonialisme tetapi juga pada utang budi yang konkret dan historis. Ini mempersonalisasi hubungan dan memberinya dimensi emosional dan moral yang kuat yang melampaui keselarasan politik belaka. Hubungan kausal antara dukungan masa lalu dan solidaritas saat ini memperdalam komitmen. Utang sejarah ini sangat memperkuat konsistensi dan sifat dukungan Indonesia yang tak tergoyahkan. Ini mengubah kebijakan menjadi masalah kehormatan nasional dan kesetiaan sejarah, sehingga sangat sulit bagi pemerintahan di masa depan untuk menyimpang dari jalur ini tanpa dianggap mengkhianati hubungan yang mendasar dan sangat dihargai.
Tabel 1: Tonggak Penting Dukungan Indonesia untuk Palestina (1945-Sekarang)
| Tahun/Periode | Peristiwa/Kebijakan Kunci | Tokoh/Pemerintahan Kunci | Signifikansi |
| 1945 | Pengakuan Awal Kemerdekaan Indonesia oleh Palestina | Grand Mufti Amin al-Husaini | Membentuk dasar rasa terima kasih dan ikatan awal, memengaruhi sikap anti-Israel Indonesia sejak awal.10 |
| 1948 | Penolakan Pengakuan Israel | Presiden Sukarno | Menetapkan kebijakan non-pengakuan Israel karena dianggap merampas tanah Palestina, sebuah prinsip yang bertahan hingga kini.1 |
| 1953 | Penolakan Keikutsertaan Israel dalam KAA | Presiden Sukarno | Mengukuhkan posisi anti-imperialis Indonesia dan solidaritas dengan negara-negara Arab yang berjuang untuk kemerdekaan.1 |
| 1955 | Konferensi Asia-Afrika (KAA) | Presiden Sukarno | Menggalang front anti-kolonial global, menyoroti Palestina sebagai korban neokolonialisme, dan memperkuat solidaritas Asia-Afrika.1 |
| 1958 | Larangan Pertandingan Sepak Bola Melawan Israel | Presiden Sukarno | Menunjukkan komitmen politik yang mendalam dan menolak segala bentuk pengakuan terhadap Israel, bahkan dalam olahraga.1 |
| 1962 | Penolakan Visa Kontingen Israel (Asian Games) | Presiden Sukarno | Memperkuat sikap anti-imperialis dan solidaritas dengan negara-negara yang dianggap tertindas oleh “Old Established Forces”.1 |
| 1966 | Pernyataan Tegas Sukarno tentang Kemerdekaan Palestina | Presiden Sukarno | Menegaskan komitmen jangka panjang Indonesia: “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang pendudukan Israel”.3 |
| 1984, 1993, 2000 | Kunjungan Yasser Arafat ke Indonesia | Presiden Suharto, Abdurrahman Wahid | Menandai kelanjutan dukungan lintas rezim dan pengakuan hubungan diplomatik resmi dengan Palestina pada tahun 1988.10 |
| 2007 | Kunjungan Presiden Mahmoud Abbas ke Indonesia | Presiden Susilo Bambang Yudhoyono | Penandatanganan perjanjian kerja sama di bidang komunikasi dan pendidikan, memperluas dimensi hubungan.10 |
| 2008, 2014 | Kecaman atas Agresi Militer Israel di Gaza | Presiden Susilo Bambang Yudhoyono | Menunjukkan konsistensi dalam mengutuk kekerasan Israel dan menyerukan intervensi PBB.10 |
| 2016 | Tuan Rumah KTT Luar Biasa OKI tentang Palestina | Presiden Joko Widodo | Menunjukkan kepemimpinan Indonesia dalam menggalang dukungan kolektif di antara negara-negara Muslim.3 |
| 2023-Sekarang | Komitmen Solusi Dua Negara, Bantuan Kemanusiaan & Pertanian | Presiden Joko Widodo, Prabowo Subianto | Penegasan kembali komitmen terhadap solusi dua negara, peningkatan bantuan kemanusiaan, dan inisiatif pertanian jangka panjang untuk ketahanan pangan Palestina.2 |
| 2025 | Dukungan atas Pendapat ICJ & Kecaman Pendudukan Ilegal | Wakil Menteri HAM Mugiyanto | Menunjukkan komitmen Indonesia pada hukum internasional dan hak asasi manusia dalam konteks pendudukan Israel.14 |
III. Pilar Konstitusional dan Ideologis Kebijakan Luar Negeri
Pancasila sebagai Landasan Idiil
Pancasila, ideologi dasar negara Indonesia, berfungsi sebagai “landasan Idiil” bagi kebijakan luar negerinya.11 Ini mengamanatkan bahwa hubungan eksternal Indonesia harus secara konsisten mencerminkan prinsip-prinsip inti Pancasila, yang secara inheren mempromosikan keadilan universal, kemanusiaan, dan perdamaian.11 Landasan ideologis ini memberikan kompas moral untuk semua upaya diplomatik.
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
Pembukaan UUD 1945 secara eksplisit mengartikulasikan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapus karena tidak sesuai perikemanusiaan dan perikeadilan”.3 Klausul konstitusional fundamental ini secara langsung dan tegas mengamanatkan sikap anti-kolonial Indonesia, sehingga menjadikan dukungan kuat untuk kemerdekaan Palestina sebagai keharusan konstitusional dan bukan sekadar pilihan kebijakan.3 Penyebutan eksplisit dan referensi yang konsisten terhadap Pembukaan UUD 1945 serta pasal-pasalnya 3 mengangkat dukungan Indonesia untuk Palestina dari sekadar preferensi kebijakan menjadi kewajiban konstitusional yang fundamental. Ini menyiratkan bahwa setiap pemerintah, terlepas dari kecenderungan politik spesifik atau mandat elektoralnya, secara hukum terikat untuk menjunjung tinggi sikap ini. Landasan konstitusional yang mendalam ini memberikan tingkat stabilitas dan kesinambungan yang tak tertandingi pada kebijakan Palestina Indonesia. Hal ini secara kausal membuatnya sangat sulit bagi pemerintahan di masa depan untuk membalikkan atau secara signifikan mengubah posisi ini tanpa melakukan amandemen konstitusi yang fundamental, yang secara politis tidak mungkin dan akan menantang prinsip-prinsip dasar bangsa itu sendiri. Selain itu, ini berfungsi sebagai legitimasi domestik yang kuat untuk tindakan pemerintah terhadap Palestina, secara intrinsik menyelaraskannya dengan nilai-nilai inti nasional. Penanaman konstitusional yang mendalam ini menunjukkan bahwa dukungan Indonesia untuk Palestina bukanlah pilihan politik yang sementara tetapi bagian integral dan permanen dari identitas nasional dan kerangka hukumnya. Ini menandakan bahwa kebijakan ini adalah pilar kebijakan luar negeri Indonesia yang tidak dapat dinegosiasikan, yang berakar kuat dalam keberadaannya sebagai sebuah bangsa.
Pasal 11 dan 13 UUD 1945 selanjutnya menetapkan dasar konstitusional bagi kebijakan luar negeri Indonesia. Pasal-pasal ini menekankan komitmen bangsa untuk berpartisipasi dalam pembentukan tatanan dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.11
Prinsip “Bebas Aktif”
Kebijakan luar negeri Indonesia secara ketat menganut prinsip “Bebas Aktif,” yang secara formal diabadikan dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, khususnya dalam Pasal 3.11 Prinsip ini menandakan bahwa Indonesia tidak secara formal bersekutu dengan blok kekuatan besar mana pun (“bebas” – bebas dari aliansi yang mengikat) tetapi secara bersamaan berkomitmen untuk secara aktif berkontribusi pada perdamaian dunia, kemerdekaan, dan keadilan sosial (“aktif” – aktif dalam mempromosikan nilai-nilai ini).11 Prinsip ini memberi Indonesia otonomi untuk secara independen menentukan arah kebijakan luar negerinya, memprioritaskan “kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial”.11 Meskipun menunjukkan non-blok, secara bersamaan ia mendorong Indonesia untuk secara aktif mendukung penentuan nasib sendiri bangsa-bangsa seperti Palestina, yang dianggap mewujudkan nilai-nilai inti ini.5
Meskipun “Bebas Aktif” secara inheren menyiratkan non-blok dengan blok kekuatan besar 11, komponen “aktif” sangat penting. Ini menunjukkan bukan netralitas pasif tetapi komitmen aktif dan berprinsip terhadap nilai-nilai universal seperti kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial.11 Dimensi aktif ini mengamanatkan keterlibatan Indonesia atas dasar moral, melampaui perhitungan yang murni strategis. Prinsip ini secara kausal mengubah Indonesia dari sekadar pengamat menjadi peserta yang aktif dan vokal dalam isu-isu keadilan global. Ini memberdayakan Indonesia untuk mengkritik tindakan yang melanggar hukum internasional dan hak asasi manusia, bahkan ketika dilakukan oleh negara-negara kuat (misalnya, mereka yang diam terhadap pelanggaran di Gaza 14), sambil secara bersamaan mempertahankan sikap independennya. Ini juga menjelaskan mengapa Indonesia, meskipun non-blok, mengambil sikap tegas dalam isu Palestina: ia memandangnya sebagai masalah hak asasi manusia universal dan anti-kolonialisme yang jelas, yang merupakan pusat dari peran “aktif”-nya dalam urusan dunia. “Bebas Aktif” memberikan kerangka filosofis dan operasional yang penting untuk keterlibatan Indonesia yang konsisten dan proaktif dalam isu Palestina, memungkinkannya untuk menavigasi hubungan internasional yang kompleks sambil dengan teguh menjunjung tinggi nilai-nilai intinya. Ini merupakan prinsip strategis yang memungkinkan pelaksanaan kepemimpinan moral tanpa batasan aliansi formal.
Solidaritas Islam dan Identitas Bersama sebagai Negara Berkembang
Indonesia, sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, memiliki rasa solidaritas Islam yang mendalam dengan rakyat Palestina.5 Kesamaan agama ini berfungsi sebagai pendorong yang signifikan dan kuat bagi dukungan publik dan pemerintah, menumbuhkan hubungan emosional yang mendalam.5
Di luar ikatan agama, Indonesia sangat mengidentifikasi diri dengan Palestina sebagai sesama negara berkembang, bagian dari “Global South” yang lebih luas.4 Pengalaman sejarah bersama dalam pembangunan bangsa pasca-kolonial, perjuangan melawan dominasi eksternal, dan pengejaran hubungan internasional yang adil menumbuhkan persahabatan dan dukungan timbal balik yang mendalam, memperkuat sikap Indonesia.4 Penelitian yang diberikan menyoroti solidaritas Islam 5 dan identitas bersama sebagai negara berkembang/Global South 4 sebagai pendorong signifikan dukungan Indonesia untuk Palestina. Kedua motivasi ini tidak saling eksklusif tetapi saling memperkuat. Solidaritas Islam memberikan hubungan emosional, budaya, dan spiritual yang mendalam, yang secara efektif memobilisasi opini publik dan melibatkan institusi keagamaan dalam mendukung Palestina. Secara bersamaan, identitas Global South menawarkan kerangka politik dan strategis yang kuat, memungkinkan Indonesia untuk membangun koalisi luas dengan negara-negara berkembang lainnya. Ini memungkinkan Indonesia untuk menegaskan kepemimpinannya dalam isu-isu penentuan nasib sendiri, anti-kolonialisme, dan hak asasi manusia, melampaui garis-garis yang murni agama. Hubungan kausalnya adalah saling memperkuat, di mana setiap dimensi memperkuat yang lain. Motivasi berlapis-lapis ini secara mendalam menjelaskan luas dan dalamnya dukungan Indonesia, mulai dari aktivisme akar rumput yang meluas dan demonstrasi publik hingga inisiatif diplomatik tingkat tinggi. Ini menunjukkan bahwa sikap Indonesia terhadap Palestina sangat tertanam dalam struktur budaya dan agamanya serta aspirasi geopolitiknya yang lebih luas sebagai suara terkemuka bagi negara-negara berkembang.
IV. Konsistensi Lintas Pemerintahan: Kebijakan Nasional yang Terpadu
Dari Sukarno hingga Suharto: Keteguhan yang Berlanjut
Bahkan setelah transisi politik dramatis dari Presiden Sukarno ke rezim Orde Baru Jenderal Suharto, komitmen Indonesia terhadap perjuangan Palestina tetap sangat konsisten. Sumber-sumber secara eksplisit menyatakan bahwa Indonesia “sangat mendukung perjuangan rakyat Palestina” sepanjang periode ini.10 Kontinuitas ini melintasi pergeseran ideologis dan politik yang signifikan menunjukkan bahwa sikap pro-Palestina telah melampaui kepemimpinan individu dan menjadi sangat terlembaga dalam negara Indonesia. Fakta bahwa dukungan Indonesia untuk Palestina berlanjut “bahkan setelah jatuhnya Sukarno dan naiknya kekuasaan Jenderal Suharto” 10, yang mewakili keretakan politik dan ideologis besar dalam sejarah Indonesia, dan bahwa upaya Abdurrahman Wahid untuk menormalisasi hubungan dengan Israel tidak berlanjut 10, secara mendalam menunjukkan bahwa kebijakan ini sangat terlembaga dalam aparat negara Indonesia dan kesadaran publik. Ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut bukan hanya cerminan pandangan dunia pribadi seorang presiden tertentu atau agenda politik sementara. Sebaliknya, ini adalah konsensus nasional yang sangat tertanam, yang secara kausal diperkuat oleh inersia birokrasi, opini publik yang luar biasa, dan mandat konstitusional yang mendasar. Ini menyiratkan adanya komitmen “negara dalam” terhadap perjuangan Palestina yang melampaui siklus politik. Institusionalisasi yang mendalam ini membuat kebijakan sangat tangguh terhadap perubahan kepemimpinan politik, memastikan konsistensi dan prediktabilitas jangka panjang yang luar biasa dalam kebijakan luar negeri Indonesia mengenai masalah ini. Ini juga menyoroti kekuatan dan pengaruh signifikan dari faktor-faktor domestik dalam membentuk dan mempertahankan pilar kebijakan luar negeri khusus ini.
Era Pasca-Orde Baru: Upaya Wahid dan Penegasan Kembali Selanjutnya
Setelah jatuhnya Orde Baru, Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) secara khusus “berusaha meningkatkan hubungan dengan Israel”.10 Namun, inisiatif ini menghadapi oposisi domestik yang cukup besar, dan setelah ia diberhentikan dari jabatannya pada Juli 2001, “tidak ada upaya yang dipertahankan untuk meningkatkan hubungan antara Indonesia dan Israel”.10 Episode ini menggarisbawahi resistensi domestik yang signifikan dan biaya politik yang tinggi yang terkait dengan setiap penyimpangan dari kebijakan pro-Palestina yang telah ditetapkan. Upaya Presiden Wahid yang gagal untuk meningkatkan hubungan dengan Israel 10 dan kurangnya upaya berkelanjutan untuk mengejar hubungan semacam itu, terutama jika dilihat dalam konteks pemberhentian politiknya (meskipun tidak semata-mata disebabkan oleh masalah ini), sangat menyiratkan biaya politik yang signifikan bagi setiap pemimpin Indonesia yang mencoba menyimpang dari sikap pro-Palestina yang telah ditetapkan. Ini menunjukkan bahwa konstituen domestik yang kuat, termasuk kelompok-kelompok Islam yang berpengaruh dan elemen-elemen nasionalis, memberikan pengaruh yang cukup besar dan konsisten terhadap kebijakan luar negeri Indonesia. Dukungan “tak tergoyahkan” untuk Palestina dengan demikian bukan hanya arahan pemerintah dari atas ke bawah tetapi juga tuntutan kuat dari bawah ke atas dari masyarakat. Hubungan kausalnya adalah bahwa sentimen publik bertindak sebagai batasan yang kuat terhadap divergensi kebijakan. Ini memperkuat gagasan bahwa kebijakan Palestina Indonesia sangat terkait dengan politik domestik dan identitas nasionalnya. Ini adalah masalah yang sangat sensitif yang tidak dapat dengan mudah diabaikan atau diubah secara fundamental oleh pemimpin Indonesia mana pun tanpa mempertaruhkan reaksi politik yang signifikan dan merusak legitimasi mereka.
Di bawah kepresidenan selanjutnya, termasuk Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia terus secara aktif mempromosikan dialog dan pendekatan diplomatik terhadap konflik Timur Tengah, secara khusus menangani masalah Israel-Palestina.5 Presiden SBY, misalnya, bahkan memainkan peran fasilitator dalam negosiasi antara faksi-faksi Palestina internal, seperti Hamas dan Fatah.5
Pemerintahan Jokowi dan Prabowo: Manifestasi Modern Dukungan
Dukungan Indonesia untuk Palestina secara eksplisit digambarkan sebagai “konsisten sejak awal kemerdekaan hingga pemerintahan Jokowi”.4 Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara konsisten menegaskan kembali komitmen Indonesia yang tak tergoyahkan terhadap solusi dua negara dan secara aktif mendesak solidaritas global melawan pendudukan dan kekerasan Israel.2 Ia dengan kuat mengartikulasikan sikap Indonesia, menyatakan bahwa “Indonesia tidak akan tinggal diam menyaksikan korban sipil terus berjatuhan, melihat ketidakadilan besar terhadap rakyat Palestina yang terus terjadi”.10
Presiden saat ini, Prabowo Subianto, juga secara tegas menegaskan kembali dukungan Indonesia untuk Palestina dan terus mengadvokasi solusi dua negara.14 Pemerintahannya telah mempertahankan dan memperluas upaya bantuan kemanusiaan dan inisiatif diplomatik yang signifikan, termasuk rencana inovatif untuk kerja sama pertanian yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan Palestina.6
V. Diplomasi Multilateral dan Keterlibatan Internasional
Peran di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Mahkamah Internasional (ICJ)
Indonesia secara konsisten dan aktif mengadvokasi hak-hak Palestina yang tidak dapat dicabut dan penegakan hukum internasional yang ketat dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa.2 Indonesia secara tegas menyerukan Israel untuk segera mengakhiri pendudukan ilegalnya dan sepenuhnya menarik diri dari semua wilayah Palestina, secara eksplisit menyelaraskan sikapnya dengan opini penasihat terbaru yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional (ICJ).14
Indonesia telah secara resmi mengajukan pernyataan tertulis terperinci kepada ICJ mengenai kebijakan pendudukan Israel, dengan cermat menguraikan kewajiban Israel sebagai negara anggota PBB dan sebagai kekuatan pendudukan untuk secara ketat mematuhi hukum internasional, termasuk Konvensi Jenewa Keempat.2 Indonesia juga menyoroti serangan Israel terhadap rumah sakit Indonesia di Gaza sebagai pelanggaran yang jelas.15 Di Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC), Indonesia secara vokal mengangkat kekhawatiran atas pelanggaran kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat, khususnya yang menargetkan pembela hak asasi manusia Palestina. Indonesia telah menekankan bahwa solidaritas global dengan Palestina harus didasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia universal, bukan kepentingan selektif.14 Indonesia juga secara konsisten mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mengadakan pertemuan formal dan mengeluarkan resolusi untuk memaksa penghentian agresi Israel.10
Indonesia, yang menganut prinsip “Bebas Aktif,” secara sadar menghindari keselarasan militer atau politik formal dengan kekuatan global utama. Namun, keterlibatannya yang sangat aktif dan konsisten dalam forum multilateral seperti PBB, OKI, dan NAM 2 menunjukkan pemanfaatan platform ini yang sangat strategis dan efektif. Bagi negara yang memilih untuk tidak bersekutu dengan blok kekuatan besar, platform multilateral menyediakan jalan yang krusial dan tak tergantikan untuk memperkuat suaranya, membangun konsensus internasional, dan memberikan pengaruh signifikan pada isu-isu global yang mendesak seperti Palestina. Keterlibatan ini secara kausal memungkinkan Indonesia untuk “beraksi di atas bobotnya” dengan mengoordinasikan upayanya dengan sejumlah besar negara yang memiliki pandangan serupa (misalnya, negara-negara Global South, anggota OKI) untuk secara kolektif mendorong prinsip-prinsipnya. Ini merupakan penerapan pragmatis dan canggih dari komponen “aktif” dalam “Bebas Aktif.” Keterlibatan multilateral Indonesia yang konsisten dan proaktif terhadap Palestina mencerminkan pemahaman yang canggih tentang diplomasi internasional kontemporer, di mana tindakan kolektif dan kekuatan normatif dapat secara efektif mengkompensasi kurangnya keselarasan kekuatan keras. Ini mengukuhkan citra Indonesia sebagai aktor global yang bertanggung jawab dan juara berprinsip hukum dan keadilan internasional.
Kepemimpinan dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Indonesia memainkan peran yang sangat aktif dan berpengaruh dalam OKI, secara strategis menggunakan platform ini untuk menggalang dan mengoordinasikan dukungan yang lebih luas untuk Palestina di antara negara-negara mayoritas Muslim.4 Contoh penting dari kepemimpinan ini adalah Indonesia menjadi tuan rumah KTT Luar Biasa OKI tentang Palestina pada Maret 2016, yang mengadopsi resolusi penting yang bertujuan untuk meningkatkan tekanan internasional terhadap Israel mengenai masa depan Negara Palestina.3 Presiden Jokowi, berkoordinasi dengan OKI, secara konsisten menyampaikan pesan kuat kepada komunitas internasional, mendesak de-eskalasi serangan segera, penghentian kekerasan, dan fokus terkonsentrasi pada penanganan masalah kemanusiaan dan akar penyebab konflik: pendudukan Israel atas Palestina.10 Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi telah melakukan misi diplomatik, sebagai bagian dari delegasi OKI, ke Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB seperti Tiongkok dan Rusia, secara khusus untuk menggalang dukungan untuk gencatan senjata di Gaza.10
Meskipun Indonesia secara konsisten bekerja “bersama dengan OKI” 10 untuk menampilkan front yang bersatu dalam isu Palestina, satu bagian secara kritis mencatat bahwa “beberapa negara Arab/anggota OKI (Qatar, Bahrain, Maroko, dan UEA) yang seharusnya mendukung penyelidikan kekerasan bersenjata Israel, malah mempertahankan hubungan diplomatik mereka”.4 Ini menyoroti ketegangan internal yang halus namun signifikan dan perbedaan pendapat di dalam OKI mengenai hubungan dengan Israel. Sikap keras Indonesia yang konsisten (non-pengakuan sampai solusi dua negara terwujud) sangat kontras dengan tindakan beberapa anggota OKI yang telah menormalisasi hubungan. Ini menyiratkan bahwa kepemimpinan dan advokasi Indonesia di dalam OKI mengenai Palestina tidak selalu mudah dan seringkali melibatkan navigasi dan pengaruh terhadap kepentingan yang berbeda di antara negara-negara anggota. Hubungan sebab-akibatnya adalah bahwa sikap teguh Indonesia bertindak sebagai jangkar bagi posisi kolektif OKI. Posisi Indonesia yang tak tergoyahkan, terlepas dari perpecahan internal OKI ini, secara mendalam menggarisbawahi kedalaman komitmennya dan berpotensi menempatkannya sebagai suara yang lebih berprinsip dan konsisten di dunia Islam, terutama bagi negara-negara dan populasi yang tetap teguh menentang normalisasi dengan Israel.
Pengaruh dalam Gerakan Non-Blok (GNB)
Gerakan Non-Blok (GNB), yang konsep fundamentalnya berasal dari Konferensi Bandung 1955 yang diselenggarakan oleh Indonesia, secara konsisten memperjuangkan gerakan kemerdekaan nasional dan dengan keras menentang imperialisme dan neokolonialisme.5 Sebagai anggota pendiri dan pendukung utama prinsip-prinsip GNB, Indonesia memanfaatkan platform berpengaruh ini untuk mengadvokasi dengan gigih penentuan nasib sendiri Palestina. Ini sangat selaras dengan prinsip-prinsip inti GNB tentang penilaian independen dan perjuangan kolektif melawan segala bentuk dominasi asing.17 Penekanan GNB pada multilateralisme, kesetaraan, dan non-agresi timbal balik menempatkannya sebagai suara kolektif yang kuat untuk Global South, semakin memperkuat advokasi Indonesia untuk Palestina.17
Inisiatif Diplomatik Bilateral dan Regional
Indonesia terlibat dalam kunjungan tingkat tinggi dan konsultasi reguler dengan para pemimpin Palestina, termasuk kunjungan bersejarah oleh Yasser Arafat (1984, 1992, 1993, 2000) dan kunjungan yang lebih baru oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas (2007) dan Perdana Menteri Palestina kepada Presiden Jokowi.2 Indonesia juga secara aktif berkolaborasi dengan negara-negara lain dalam isu Palestina, dicontohkan oleh deklarasi bersama dengan Prancis. Deklarasi ini mengutuk perang di Gaza, menyerukan gencatan senjata segera dan pembebasan sandera, dan menegaskan kembali dukungan kuat untuk solusi dua negara dan inisiatif Arab untuk rekonstruksi Gaza.16 Menteri Luar Negeri Indonesia secara konsisten terlibat dengan para pemimpin dari Arab Saudi dan berpartisipasi dalam forum seperti KTT ASEAN-GCC untuk menyuarakan dukungan kuat bagi Palestina.10
VI. Manifestasi Konkret Dukungan: Diplomasi, Politik, dan Bantuan Kemanusiaan
Advokasi Diplomatik
Indonesia secara konsisten dan kuat mengutuk kekerasan pemukim ekstremis yang sedang berlangsung di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, serta keputusan pemerintah Israel untuk memperluas permukiman dan melegalkan pos-pos pemukim di seluruh wilayah pendudukan.16 Indonesia juga dengan tegas menentang rencana apa pun yang akan secara paksa memindahkan penduduk Palestina dari tanah air mereka dan aneksasi wilayah mereka, menganggap tindakan tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional dan ancaman bagi keamanan regional.6
Indonesia secara konsisten mengadvokasi “solusi dua negara” sebagai parameter yang adil, layak, dan disepakati secara internasional untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina.2 Solusi yang diusulkan ini membayangkan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat yang hidup berdampingan secara damai dengan Israel.4 Solusi dua negara seringkali disajikan sebagai “parameter Internasional yang disepakati” 10 dan “jalan keluar yang adil dari konflik”.4 Ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia menganut prinsip-prinsip ideologis yang kuat, ia juga beroperasi secara pragmatis dalam kerangka konsensus internasional yang ada untuk resolusi yang praktis dan dapat dicapai. Ini mewakili keseimbangan yang cermat antara cita-cita yang dipegang teguh dan realitas geopolitik diplomasi internasional. Ini juga secara implisit mengakui keberadaan
de facto Israel, meskipun tidak de jure diakui, demi mencapai hasil yang layak dan damai. Ini menyoroti pendekatan pragmatis Indonesia terhadap resolusi konflik: mengejar cita-citanya dalam ranah apa yang dianggap dapat dicapai dan diterima secara luas secara internasional, bertujuan untuk hasil yang damai, meskipun berpotensi tidak sempurna. Ini menunjukkan pemahaman yang canggih tentang bagaimana menerjemahkan posisi berprinsip menjadi strategi diplomatik yang dapat ditindaklanjuti.
Presiden dan menteri luar negeri Indonesia secara teratur terlibat dalam kunjungan dan konsultasi tingkat tinggi dengan pejabat Palestina dan pemimpin dunia lainnya untuk membahas isu Palestina dan mengoordinasikan upaya internasional.2 Contoh terbaru termasuk kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke berbagai negara Timur Tengah yang secara khusus bertujuan untuk merumuskan langkah-langkah konkret dan kolektif untuk mendukung perjuangan Palestina.6
Bantuan Kemanusiaan
Indonesia secara konsisten memberikan bantuan kemanusiaan yang substansial, termasuk pasokan vital seperti makanan dan obat-obatan, ke Palestina.4 Selama periode konflik yang meningkat, seperti Perang Gaza, Indonesia tidak hanya mengutuk tindakan Israel tetapi juga secara aktif menyerukan akses bantuan kemanusiaan tanpa hambatan ke daerah-daerah yang terkena dampak.10
Inisiatif signifikan dan inovatif baru-baru ini melibatkan rencana untuk mengelola bersama 10.000 hingga 20.000 hektar lahan di Sumatera dan Kalimantan dengan Palestina. Tujuannya adalah untuk menanam padi dan tanaman hortikultura, dengan sebagian besar hasilnya dimaksudkan untuk pengiriman langsung ke Palestina. Proyek ambisius ini bertujuan untuk memberikan dukungan pangan jangka panjang dan berkontribusi langsung pada kedaulatan pangan Palestina.8 Kolaborasi ini juga mencakup transfer pengetahuan yang krusial, khususnya dalam teknologi irigasi canggih, di mana Palestina memiliki keahlian.8 Meskipun Indonesia secara historis memberikan bantuan kemanusiaan tradisional seperti makanan dan obat-obatan 4, inisiatif baru yang melibatkan pengelolaan bersama lahan pertanian untuk produksi pangan 8 merupakan evolusi yang signifikan dan strategis dalam pendekatannya. Pergeseran dari bantuan langsung ke kerja sama pertanian jangka panjang ini menandakan pendekatan yang lebih strategis dan berkelanjutan terhadap dukungan kemanusiaan. Ini bukan hanya tentang memberikan bantuan tetapi tentang memberdayakan Palestina untuk mencapai kemandirian dan kedaulatan pangan (“membantu mereka meraih kemerdekaan melalui pangan” – 9). Ini secara kausal menyelaraskan dukungan Indonesia dengan tujuan kebijakan luar negeri yang berorientasi pembangunan yang lebih luas dan menunjukkan komitmen yang lebih dalam dan lebih abadi terhadap kelangsungan hidup jangka panjang negara Palestina di masa depan. Bentuk bantuan yang proaktif dan membangun kapasitas ini mencerminkan kematangan dukungan Indonesia, bergerak melampaui respons krisis semata untuk mengatasi kerentanan sistemik yang mendasar dan berkontribusi langsung pada kelangsungan hidup dan ketahanan jangka panjang rakyat Palestina dan calon negara mereka.
Indonesia telah menyatakan kesiapannya untuk memfasilitasi evakuasi sementara korban luka, anak yatim piatu, dan pelajar dari Palestina, dengan syarat ketat bahwa langkah-langkah tersebut sepenuhnya sukarela dan berdasarkan kesepakatan bersama antara semua pihak yang terlibat.6
Solidaritas Politik
Masyarakat sipil Indonesia memainkan peran yang dinamis dan aktif dalam mendukung Palestina melalui demonstrasi publik yang meluas, kampanye penggalangan dana nasional, dan berbagai inisiatif kesadaran.4 Ekspresi solidaritas publik yang kuat ini berfungsi untuk memperkuat dan melegitimasi sikap resmi pemerintah. Penyebutan demonstrasi publik yang meluas dan keterlibatan aktif masyarakat sipil 4 di samping tindakan resmi pemerintah, ditambah dengan pandangan yang secara konsisten sangat tidak menguntungkan terhadap Israel di kalangan penduduk Indonesia 20, menunjukkan bahwa sentimen publik adalah faktor penguat yang kuat dan dinamis bagi kebijakan pro-Palestina pemerintah. Ini menunjukkan hubungan simbiosis dan saling memperkuat antara kebijakan pemerintah dan kehendak rakyat. Sikap konsisten pemerintah sangat beresonansi dengan populasi, memberinya legitimasi domestik yang kuat dan membuat setiap perubahan signifikan secara politis berisiko. Sebaliknya, aktivisme publik yang berkelanjutan dan sentimen yang kuat memberikan pemerintah mandat yang jelas dan dukungan populer untuk tindakannya di panggung internasional, memperkuat tekadnya. Dukungan publik yang kuat memastikan umur panjang dan konsistensi kebijakan Palestina Indonesia, mengubahnya dari sekadar arahan pemerintah menjadi upaya nasional yang benar-benar menarik kekuatan dari konsensus masyarakat yang luas. Ini menjadikannya aspek yang tangguh dan abadi dari hubungan luar negeri Indonesia.
Indonesia mempertahankan kebijakan teguh untuk tidak mengakui Negara Israel sampai tercapai kesepakatan damai yang adil dan komprehensif, yang mengarah pada pembentukan negara Palestina yang merdeka.10 Non-pengakuan ini adalah sikap politik inti yang secara mendalam menggarisbawahi solidaritasnya yang tak tergoyahkan dengan Palestina. Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi secara eksplisit menyatakan bahwa setiap pertimbangan normalisasi secara ketat bergantung pada terwujudnya solusi dua negara dan kemerdekaan Palestina.4
VII. Motivasi Mendasar dan Menavigasi Kompleksitas
Tanggung Jawab Moral dan Keamanan Manusia
Indonesia secara eksplisit memandang “tugas moral” yang mendalam untuk mendukung Palestina.3 Tugas ini berakar kuat pada prinsip-prinsip kemanusiaan universal dan keyakinan teguh akan “hak-hak yang tidak dapat dicabut” rakyat Palestina untuk hidup damai dan bermartabat di tanah air mereka sendiri.15 Tujuan utama dan menyeluruh dari upaya ekstensif Indonesia untuk Palestina adalah “mempromosikan dan mengamankan keamanan manusia bagi rakyat Palestina”.4 Konseptualisasi keamanan ini melampaui gagasan tradisional yang berpusat pada negara (misalnya, integritas teritorial) untuk mencakup kesejahteraan fundamental, keselamatan, dan hak-hak individu dan komunitas.4 Penyebutan eksplisit “keamanan manusia” sebagai tujuan utama upaya Indonesia untuk Palestina 4 merupakan perkembangan yang krusial dan mendalam. Ini menandakan pergeseran melampaui masalah kebijakan luar negeri tradisional yang berpusat pada negara (misalnya, integritas teritorial, kepentingan nasional) ke fokus yang lebih komprehensif pada kesejahteraan, keselamatan, dan hak-hak fundamental individu dan komunitas. Ini mencerminkan aspek progresif dari kebijakan luar negeri Indonesia, menyelaraskannya dengan norma-norma internasional kontemporer dan wacana kemanusiaan global yang berkembang. Dengan menekankan keamanan manusia, Indonesia secara kausal dapat menarik audiens internasional yang lebih luas dan beragam, termasuk aktor non-negara, organisasi masyarakat sipil, dan advokat hak asasi manusia, sehingga memposisikan dukungannya untuk Palestina sebagai masalah kemanusiaan universal daripada semata-mata masalah politik atau agama. Ini juga memberikan landasan moral yang kuat terhadap mereka yang memprioritaskan keamanan negara di atas penderitaan manusia yang meluas. Adopsi lensa “keamanan manusia” memberikan kerangka kerja yang kuat, adaptif, dan secara moral menarik untuk keterlibatan berkelanjutan Indonesia dalam isu Palestina, memungkinkannya untuk mengatasi sifat konflik yang berkembang dan kompleks serta penderitaan mendalam yang ditimbulkannya. Ini meningkatkan kekuatan lunak dan kepemimpinan moral Indonesia secara global.
Aspirasi Indonesia untuk Kepemimpinan Global dalam Hak Asasi Manusia
Indonesia secara aktif berusaha untuk menegaskan dirinya sebagai “pemimpin global dalam hak asasi manusia”.4 Advokasi yang konsisten dan vokal untuk Palestina, khususnya dalam forum internasional yang berpengaruh seperti Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC) dan Mahkamah Internasional (ICJ), berfungsi sebagai jalan utama untuk mewujudkan aspirasi ini.4 Dukungan berkelanjutan untuk Palestina, bahkan dalam keadaan yang menantang, secara demonstratif telah berkontribusi pada keberanian Indonesia dalam “menantang status quo” dan telah berperan penting dalam memperkuat posisi diplomatik dan identitasnya dalam politik internasional.4
Tantangan dan Tekanan
Indonesia menghadapi “banyak tekanan… untuk mulai menormalisasi hubungan dengan Israel” dari berbagai pihak eksternal.4 Tekanan ini seringkali berasal dari negara-negara yang memperjuangkan demokrasi, hak asasi manusia, dan liberalisme internasional, terutama termasuk Amerika Serikat, yang terus memberikan bantuan militer kepada Israel.4 Selanjutnya, dicatat bahwa beberapa negara Arab, meskipun menjadi anggota OKI, juga telah menormalisasi hubungan dengan Israel.4
Meskipun prinsip “Bebas Aktif” memungkinkan peran aktif dalam urusan global, ia juga secara implisit “membatasi Indonesia untuk memihak, menjaga hubungan baik dengan pihak-pihak yang terlibat”.5 Ketegangan yang melekat ini dapat membuat “sulit untuk secara aktif berpartisipasi dalam resolusi konflik di wilayah tersebut” sebagai mediator langsung, seringkali menyebabkan Indonesia mengadopsi peran yang lebih pasif sebagai fasilitator atau peserta dalam upaya perdamaian.5 Laporan ini menyoroti tekanan eksternal yang terus-menerus terhadap Indonesia untuk menormalisasi hubungan dengan Israel 4 dan tantangan yang melekat dalam “menjaga hubungan positif dengan pihak-pihak yang berkonflik sambil menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebijakan luar negeri”.5 Selanjutnya, prinsip “Bebas Aktif” itu sendiri, meskipun memungkinkan kemerdekaan, secara paradoks dapat membatasi kemampuan Indonesia untuk bertindak sebagai mediator langsung dan aktif dalam konteks tertentu.5 Ini mengungkapkan ketegangan yang konstan dan dinamis dalam kebijakan luar negeri Indonesia: keinginan kuat untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip moral yang dipegang teguh (anti-kolonialisme, hak asasi manusia, keadilan) versus keharusan pragmatis untuk menavigasi realitas geopolitik yang kompleks dan mempertahankan fleksibilitas diplomatik dengan berbagai aktor internasional. Kontroversi seputar Tony Blair Institute 21 berfungsi sebagai contoh konkret dari ketegangan ini, di mana keterlibatan praktis atau manfaat strategis yang dirasakan dapat berisiko mengkompromikan posisi moral Indonesia. Hubungan kausalnya adalah bahwa tekanan eksternal dan batasan “Bebas Aktif” memaksa tindakan penyeimbang yang berkelanjutan. Kebijakan luar negeri Indonesia tidak monolitik atau statis; ia melibatkan negosiasi dan adaptasi berkelanjutan antara cita-cita yang dipegang teguh dan tuntutan praktis hubungan internasional. Sikap konsistennya terhadap Palestina, oleh karena itu, merupakan bukti kekuatan dan ketahanan abadi dari prinsip-prinsip intinya dalam menghadapi tekanan yang melekat dan seringkali bertentangan ini.
Komitmen Indonesia yang tak tergoyahkan terhadap Palestina kadang-kadang menghadapi pengawasan dan kritik. Contohnya adalah kontroversi seputar kolaborasinya dengan Tony Blair Institute for Global Change (TBI), sebuah organisasi yang terkait dengan rencana pasca-perang untuk Gaza yang secara kontroversial mencakup proposal untuk “relokasi sukarela” warga Palestina. Para kritikus berpendapat bahwa kemitraan semacam itu merusak sikap berprinsip dan kredibilitas moral Indonesia dalam isu Palestina.21
Meskipun secara umum sangat mendukung Palestina, ada nuansa dalam opini publik Indonesia. Beberapa sumber menunjukkan bahwa gerakan-gerakan Islamis yang berkembang, yang berpotensi didanai dari Teluk, mungkin secara bertahap memengaruhi orientasi politik Indonesia, yang mengarah pada dukungan yang lebih lugas untuk kelompok-kelompok tertentu seperti Hamas.19 Potensi pergeseran ini, kadang-kadang, dapat menciptakan ketegangan halus dengan penekanan tradisional Indonesia pada solusi dua negara sebagai jalur diplomatik utama.19 Sementara solidaritas Islam secara jelas diidentifikasi sebagai pendorong dukungan yang signifikan 5, penyebutan “gerakan Islamis yang berkembang, yang didanai dari Teluk, mungkin secara bertahap mengubah orientasi politik negara” 19 dan berpotensi mengarah pada “dukungan yang lebih lugas untuk Hamas” 19 memperkenalkan nuansa yang kritis dan kompleks. Ini berpotensi kontras dengan penekanan tradisional Indonesia pada “solusi dua negara” yang pragmatis.19 Ini menunjukkan bahwa “solidaritas Islam” bukanlah konsep monolitik atau ditafsirkan secara seragam di Indonesia. Mungkin ada perbedaan ideologis internal dan dinamika yang berkembang dalam gerakan pro-Palestina yang lebih luas, dengan beberapa elemen mengadvokasi pendekatan yang lebih keras dan didorong oleh ideologi (misalnya, dukungan langsung untuk faksi-faksi tertentu seperti Hamas) yang berpotensi menyimpang dari kebijakan pemerintah yang lebih pragmatis, selaras secara internasional, dan berorientasi solusi dua negara. Ini menyiratkan dinamika politik domestik yang kompleks yang harus terus-menerus dikelola dan diseimbangkan oleh pemerintah. Ini menunjukkan bahwa meskipun dukungan keseluruhan untuk Palestina tak tergoyahkan dan berakar dalam, sifat, intensitas, dan ekspresi spesifik dari dukungan itu mungkin tunduk pada debat internal dan kekuatan politik domestik yang berkembang. Ini dapat memengaruhi strategi diplomatik dan politik spesifik yang digunakan oleh Indonesia, terutama mengenai keterlibatannya dengan berbagai faksi Palestina dan pendekatan yang lebih luas terhadap proses perdamaian.
VIII. Kesimpulan: Komitmen Abadi terhadap Keadilan dan Penentuan Nasib Sendiri
Dukungan Indonesia yang mendalam dan tak tergoyahkan untuk kemerdekaan Palestina adalah komitmen berlapis-lapis yang sangat mengakar, yang secara fundamental berasal dari pengalaman sejarahnya sendiri sebagai bangsa yang terjajah dan prinsip-prinsip konstitusionalnya yang mendasar tentang anti-kolonialisme dan hak universal untuk menentukan nasib sendiri.1 Komitmen ini selanjutnya diperkuat oleh pilar-pilar ideologis yang kuat, termasuk filosofi negara Pancasila dan doktrin kebijakan luar negeri “Bebas Aktif,” yang secara kolektif mengamanatkan peran aktif dan berprinsip dalam mempromosikan perdamaian global, keadilan, dan hak asasi manusia.4 Rasa solidaritas Islam yang kuat, ditambah dengan identitas bersama sebagai negara berkembang di Global South, memberikan dorongan moral dan politik tambahan, menumbuhkan rasa persahabatan yang mendalam dan abadi dengan rakyat Palestina.4 Yang terpenting, kebijakan yang konsisten ini telah dipertahankan di semua pemerintahan Indonesia berturut-turut, dari para pendiri bangsa hingga saat ini, secara tegas menunjukkan institusionalisasi yang mendalam dan dukungan publik yang luas.4
Melalui diplomasi multilateral yang kuat dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Kerja Sama Islam, dan Gerakan Non-Blok, ditambah dengan tindakan bilateral konkret seperti bantuan kemanusiaan dan kerja sama pertanian yang inovatif, Indonesia terus memperjuangkan hak-hak Palestina, mengadvokasi solusi dua negara yang komprehensif, dan dengan keras mengutuk semua pelanggaran hukum internasional.2 Meskipun menghadapi tekanan eksternal untuk perubahan kebijakan dan menavigasi kompleksitas internal, Indonesia tetap teguh dalam tugas moralnya untuk memastikan kemerdekaan, kedaulatan, dan keamanan manusia rakyat Palestina, sehingga menegaskan perannya sebagai suara yang berprinsip dan berpengaruh di panggung internasional.4
Penerapan konsisten prinsip-prinsip anti-kolonial pada situasi Palestina sejak era Sukarno 1 dan penanamannya yang mendalam dalam konstitusi Indonesia 3 sangat menunjukkan bahwa Indonesia bertindak sebagai “pengusaha norma.” Indonesia tidak hanya mematuhi norma-norma internasional yang ada tetapi secara aktif mempromosikan, membentuk, dan memperkuatnya, khususnya mengenai hak universal untuk menentukan nasib sendiri dan keharusan untuk menghapus segala bentuk kolonialisme. Postur strategis ini menempatkan Indonesia sebagai pemimpin dalam mengadvokasi interpretasi khusus hukum dan keadilan internasional—salah satu yang berakar kuat dalam pengalaman sejarah negara-negara pasca-kolonial. Ini adalah bentuk kepemimpinan yang halus namun kuat yang bergantung pada otoritas moral dan konsistensi yang tak tergoyahkan daripada semata-mata pada kekuatan militer atau ekonomi. Hubungan kausalnya adalah bahwa advokasi konsisten Indonesia berkontribusi pada penguatan dan universalisasi norma-norma ini. Peran Indonesia sebagai pengusaha norma berarti bahwa sikapnya yang tak tergoyahkan terhadap Palestina memiliki implikasi signifikan di luar hubungan bilateral langsung. Ini berpotensi memengaruhi kebijakan luar negeri negara-negara Global South lainnya, menginspirasi gerakan solidaritas, dan berkontribusi pada wacana global yang berkembang tentang keadilan internasional, hak asasi manusia, dan warisan kolonialisme.
Bagian-bagian yang diberikan secara konsisten menyoroti bahwa dukungan Indonesia telah dipertahankan “sejak awal kemerdekaan hingga pemerintahan Jokowi” 4 dan bahwa ia “tidak akan pernah berubah”.3 Inisiatif terbaru untuk kerja sama pertanian jangka panjang 8 selanjutnya berbicara tentang visi yang berkelanjutan dan berorientasi ke depan. Kontinuitas yang luar biasa ini menunjukkan bahwa komitmen telah berhasil ditransmisikan dan dianut oleh berbagai generasi pemimpin politik dan masyarakat luas. Ini bukan kebijakan yang cepat berlalu atau respons terhadap peristiwa langsung tetapi proyek nasional yang sangat tertanam, menunjukkan tingkat konsensus masyarakat yang tinggi dan visi strategis jangka panjang untuk berkontribusi pada perdamaian dan keadilan di Timur Tengah. Hubungan kausalnya adalah bahwa konsensus antar-generasi ini memperkuat ketahanan kebijakan. Komitmen antar-generasi yang abadi ini menempatkan Indonesia sebagai aktor yang sangat andal dan dapat diprediksi dalam isu Palestina, menumbuhkan kepercayaan yang mendalam di antara Palestina dan para pendukung internasional mereka. Secara bersamaan, ini mengirimkan sinyal yang jelas dan konsisten kepada lawan dan aktor internasional lainnya mengenai sikap tak tergoyahkan Indonesia, sehingga memengaruhi dinamika regional dan global yang terkait dengan konflik tersebut.
Karya yang dikutip
- Sukarno dan Palestina – Historia.ID, diakses Juli 13, 2025, https://www.historia.id/article/sukarno-dan-palestina-Dw5OP
- Warisan KAA dan Konsistensi Dukungan Indonesia dalam Membela Palestina, diakses Juli 13, 2025, https://adararelief.com/warisan-kaa-dan-konsistensi-dukungan-indonesia-dalam-membela-palestina/
- The League of Parliamentarians for Al Quds (LP4Q) – Why Indonesia Can’t Normalize Relations with Israel?, diakses Juli 13, 2025, https://berkas.dpr.go.id/akd/dokumen/BKSAP-2-aaaeb5b5449930f3a82d3f2760d4ece0.pdf
- (PDF) Indonesia’s View: Eradicating Colonialism and Supporting Palestine – ResearchGate, diakses Juli 13, 2025, https://www.researchgate.net/publication/393057784_Indonesia’s_View_Eradicating_Colonialism_and_Supporting_Palestine
- The role of Indonesian government in middle east conflict resolution: consistent diplomacy or strategic shifts? – Frontiers, diakses Juli 13, 2025, https://www.frontiersin.org/journals/political-science/articles/10.3389/fpos.2024.1304108/full
- Indonesia Intensifkan Diplomasi Kemanusiaan Untuk Palestina, Presiden Prabowo Kunjungi Timur Tengah – YouTube, diakses Juli 13, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=U-qd1CusJOw
- Indonesia Konsisten Dukung Palestina Pada Ptm Acd Ke 19, diakses Juli 13, 2025, https://arsipportal.kemlu.go.id/portal/id/list/berita/83/indonesia-konsisten-dukung-palestina-pada-ptm-acd-ke-19
- Indonesia prepares 20,000 ha land to grow rice for Palestine, diakses Juli 13, 2025, https://en.antaranews.com/news/364685/indonesia-prepares-20000-ha-land-to-grow-rice-for-palestine
- Indonesia readies 10,000 tons rice aid for Palestine, diakses Juli 13, 2025, https://en.antaranews.com/news/364561/indonesia-readies-10000-tons-rice-aid-for-palestine
- Indonesia–Palestine relations – Wikipedia, diakses Juli 13, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Indonesia%E2%80%93Palestine_relations
- Analisis Politik Luar Negeri Indonesia: Promosi ‘Keamanan Manusia’ di Palestina, diakses Juli 13, 2025, https://jurnal.kemlu.go.id/jurnal-hublu/article/download/28/17/210
- Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam Mendukung Palestina sebagai Negara Merdeka pada Masa Pemerintahan Joko Widodo, diakses Juli 13, 2025, https://journal.iaincurup.ac.id/index.php/JF/article/download/601/pdf/2898
- A Return to First Principles: The ‘Day After’ and Palestinian Self-Determination, diakses Juli 13, 2025, https://arabcenterdc.org/resource/a-return-to-first-principles-the-day-after-and-palestinian-self-determination/
- Indonesia urges Israel to end occupation, backs ICJ ruling – ANTARA News, diakses Juli 13, 2025, https://en.antaranews.com/news/361781/indonesia-urges-israel-to-end-occupation-backs-icj-ruling
- Portal Kemlu, diakses Juli 13, 2025, https://kemlu.go.id/publikasi/pidato/pidato-menteri/pidato-menteri/statement-by-he-sugiono-at-the-public-hearings-of-the-icj-on-the-obligations-of-israel-in-relation-to-the-presence–activities-of-the-un-other-international-organizations-and-third-states-in-and-in-relation-to-the-occupied-palestinian-territory?type=publication
- France-Indonesia Joint Declaration on the peaceful resolution of the question of Palestine and the implementation of the two-State solution | Élysée, diakses Juli 13, 2025, https://www.elysee.fr/en/emmanuel-macron/2025/05/28/france-indonesia-joint-declaration-on-the-peaceful-resolution-of-the-question-of-palestine-and-the-implementation-of-the-two-state-solution
- Non-Aligned Movement – Wikipedia, diakses Juli 13, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Non-Aligned_Movement
- Non-Aligned Movement (NAM), diakses Juli 13, 2025, https://www.nti.org/education-center/treaties-and-regimes/non-aligned-movement-nam/
- The Gaza War as Seen from Southeast Asia – The Jerusalem Strategic Tribune, diakses Juli 13, 2025, http://static.jstribune.com/rubenstein-shannon-the-gaza-war-as-seen-from-southeast-asia/
- Most people across 24 surveyed countries have negative views of Israel and Netanyahu, diakses Juli 13, 2025, https://www.pewresearch.org/short-reads/2025/06/03/most-people-across-24-surveyed-countries-have-negative-views-of-israel-and-netanyahu/
- To stand with Palestine, Indonesia must cut ties with the Tony Blair Institute – Middle East Monitor, diakses Juli 13, 2025, https://www.middleeastmonitor.com/20250711-to-stand-with-palestine-indonesia-must-cut-ties-with-the-tony-blair-institute/

Tinggalkan komentar